Sabtu, 20 November 2010

Jadilah Pemburu Surga

Islam tidak akan dapat tegak, kecuali dengan perjuangan para penganutnya. Islam tidak akan tertanam, kecuali dengan siraman darah. Oleh karena itu, guru kita, Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa salam, gagah berani – dalam semua arti yang dikandung kata – ‘berani’. Para sahabat beliau juga orang-orang yang pemberani. Abu Bakar seorang siddiq, Umar terbunuh, Utsman juga tewas, Ali mandi darah. Delapan puluh persen sahabat beliau terbunuh.

Sehari sebelum perang Uhud, Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam bersabda diatas mimbar :

“Demi Allah yang menggenggam jiwaku, setiap orang yang terbunuh di jalan Allah pasti datang pada hari Kiamat seperti keadaannya ketika terbunuh didunia. Warnanya warna darah, tapi baunya bau minyak kesturi”.

Dalam hadist lainnya Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam bersabda :

“Sesungguhnya Allah berfirman kepada para syuhada pada hari Kiamat. Siapa yang membunuh kalian?” Mereka menjawab, “Musuh-musuh-Mu”. Dia berfirman lagi, “Mengapa kalian dibunuh?” Mereka menjawab, ”Kami terbunuh karena perjuangan di jalan-Mu. ‘Dia berfirman, “Aku telah mengampuni kalian”.

Kita perlu menengok perang Uhud agar kita bisa melihat, bagaimana para leluhur kita dahulu, bagaimana keadaan kita sekarang, an apa yang kita berikan kepada Islam?
Mana para syuhada hari ini?
Mana para pahlawan Islam hari ini?
Mana peran kita dalam menyebarkan Islam hari ini?
Mana darah? Mana harta? Mana waktu? Mana pengorbanan?
Semuanya kosong.

Sehari sebelum pecah perang Uhud, Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam bermusyawarah dengan para sahab at. Beliau mengumumkan hendak memerangi Abu Sufyan dan kaum musyrikin. Beliau bertanya kepada para sahabat, “Bagaimana pendapat kalian? Apakah kita memerangi mereka di lorong-lorong kota atau kita cegat mereka di gunung Uhud”.

Orang-orang tua menjawab, “Wahai Rasulullah, lebih baik kia tetap di tempat, bertahan di lorong-lorong dan rumah-rumah kita. Kalau mereka malsuk kota.klta perangi mereka”. Beliau pun setuju. Tetapi, baru selesai ucapan itu, para sahabat yang berusia muda, yan g berjumlah delapan puluh orang, keluar, lalu menghunus pedang dan memasang besi pelindung di kepala.

Kemudian mereka melantunkan nasyid di luar masjjid dengan suara lantang.”Kami adalah orang-orang yang membaiat Muhammad untuk berjihad selamakami hidup”, tandas mereka.

Kemudian, seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh tahun berkata nyaring,”Wahai Rasulullah, pimpinlah kami ke Uhud. Jangan halangi kami masuk surga! Demi Allah, saya pasti masuk surga”. Mendengar gelora penuh semangat itu, Rasulullah bangkit. Setiap bulu di tubuh beliau berdiri. Setiap tetes darah beilaiu bergejolak. Beliau lalu berdiri. Beliau mengumumkan bahwa pintu-pintu surga telah dibuka dan Allah telah menempatkan diri kepada hamba-hamba-Nya. “Dengan apa kamu masuk surga?”, tanya beliau kepada para pemuda itu?

Para pemuda itu menjawab, “Dengan dua hal. Pertama, saya mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan saya tidak lari dari medan pertempuran”. Kemudian air mata Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam mengalir. Dengan mengangkat kedua tangan beliau bersabda, “Kalau kamu jujur kepada Allah, Dia pasti akan membalas kejujuranmu”.

Allah berfirman :

“Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS : al-Ankanbut : 69)

Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, tak lama, berangkat menuju medan perang. Beberapa saat sebelum perang berkecamuk, beliau mencabut pedangnya dan bertanya, “Siapa yang mau memegang pedang ini?”. “Kami semua ingin memegangnya”, jawab para sahabat. Abu Dujanah bertanya, “Apa hak pedang ini, wahai Rasulullah?”, tanyanya. “Haknya adalah menebaskannya kepada kaum kafir hingga ia bengkok”, tegas Rasulullah.

Pernah anda mendengar ada pedang yang bengkok, karena digunakan membunuh musuh? Ya, ada .. dengan telapak tangan sahabat-sahabat Muhammad Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam. Kemudian Abu Dujanah mengambil pedang itu, sambi bersyair.

Akulah yuang berjanlji kepada kekasihku,
Tatkala kami befrada di gunung diantara rumpun kurma ..
Untuk selamanya tidak berdiri di barisan belakang
Aku membunuh dengan pedang Allah dan Rasul ..

Kemudian Abu Dujanah menggunakan pedang untuk berperang dan membunuh orang-orang kafir, hingga pedang itu bengkok. Lalu, dia mengembalikan pedang bengkok kepada Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam. Para pahlawan lahir bermunculan.

Pintu-pintu surga dibuka. Para malaikat ikut meramaikan pertempuran. Pintu-pintu langit dibuka, menurunkan tentara yang dikomandani Jibril as. Dan turun diatas gunung Uhud. Agama ini lenyap dari muka bumi atau kebenaran ini yang menang.

Tentu, kemenangan islam yang akan datang. Tak akan berhasil mereka yang menodai dan menggunakan agama hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat dengan melakukan kerjasama dengan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya. Wallahu’alam.

Tujuh Kiat Tinggalkan Maksiat

Meninggalkan maksiat adalah pekerjaan yang tidak ringan. Ia lebih berat daripada mengerjakan taat (menjalankan yang diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya), karena mengerjakan taat disukai oleh setiap orang, tetapi meninggalkan syahwat (maksiat) hanya dapat dilaksanakan oleh para siddiqin (orang-orang yang benar, orang-orang yang terbimbing hatinya).

Terkait dengan hal tersebut Rasulullah Sallallahu aalaihi wa sallam. bersabda: "Orang yang berhijrah dengan sebenarnya ialah orang yang berhijrah dari kejahatan. Dan mujahid yang sebenarnya ialah orang yang memerangi hawa nafsunya."

Apabila seseorang menjalankan sesuatu tindak maksiat, maka sebenarnya ia melakukan maksiat itu dengan menggunakan anggota badannya. Orang yang seperti ini sejatinya telah menyalahgunakan nikmat anggota tubuh yang telah dianugerahkan Allah pada dirinya. Dalam bahasa lain dapat dikatakan, ia telah berkhianat atas amanah yang telah diberikan kepadanya.

Setiap kita berkuasa penuh atas anggota tubuh kita, pikiran dan jiwa kita. Akan tetapi, terkadang, kita begitu susah menggendalikan apa yang menjadi ‘milik kita’ itu. Tangan, mata, kaki dan anggota tubuh yang lain, kerap bergerak diluar kendali diri, yang tak jarang bertentangan dengan idealisme atau nilai-nilai keyakinan yang kita anut dan kita yakini. Padahal, rekuk relung kalbu kita bersaksi bahwa semua anggota tubuh itu, kelak akan menjadi saksi atas segala perbuatan kita di Padang Mahsyar.

Firman Allah SWT : "Pada hari ini (Kiamat) Kami tutup mulut-mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian lah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka lakukan (di dunia dahulu)." (Yassin: 65).

Bagaimana agar kita selamat dari maksiat?

Di bawah ini beberapa ikhtiar, yang bila dijalankan secara sungguh-sungguh, insya Allah membawa faedah.

1. Menjaga Mata

Peliharalah mata dari menyaksikan pemandangan yang diharamkan oleh Allah SWT seperti melihat perempuan yang bukan mahram. Hindari, atau minimal kurangi-- untuk pelan-pelan tinggalkan sejauh-jauhnya-- melihat gambar-gambar yang dapat membangkitkan hawa nafsu. Termasuk menjaga mata, janganlah memandang orang lain dengan pandangan yang rendah(sebelah mata/menghina) dan melihat keaiban orang lain.

2. Menjaga Telinga

Menjaga telinga dari mendengar perkataan yang tidak berguna seperti: ungkapan-ungkapan mesum/kotor/jahat. Poin kesatu dan kedua ini menjadi tidak mudah di saat di mana gosip telah menjadi komuditas ekonomi. Gosip telah menjadi kejahatan berjamaah yang dianggap hal yang lumrah dilakukan, dan wajib ditonton dan disimak. Kehadirannya disokong dana yang tidak sedikit, dimanajeri, ada penulis skenarionya, ada kepala produksinya, ada reporternya dan seterusnya.

Rasulullah S.A.W. bersabda: "Sesungguhnya orang yang mendengar (seseorang yang mengumpat orang lain) adalah bersekutu (di dalam dosa)dengan orang yang berkata itu. Dan dia juga dikira salah seorang daripada dua orang yang mengumpat."

Oleh karenanya, menjaga mata-telinga adalah pekerjaan yang memerlukan energi dan kesungguhan yang kuat dan gigih.

3.Menjaga Lidah

Lidah adalah anggota tubuh tanpa tulang yang kerap mengantarkan pada perkara-perkara besar. Kehancuran rumah tangga, pertengkaran sahabat karib, hingga peperangan antar negara, dapat dipicu dari sepotong daging kecil di celah mulut kita ini.

Rasulullah Saw. bersabda : “Kebanyakan dosa anak Adam karena lidahnya.” (Riwayat Athabrani dan Al Baihaqi)

Jagalah lidah dari perkara-perkara seperti berbohong, ingkar janji, mengumpat, bertengkar / berdebat / membantah perkataan orang lain, memuji diri sendiri, melaknat(mncela) makhluk Allah, mendoakan celaka bagi orang lain dan bergurau( yang mengandung memperolok atau mengejek) orang lain.

4. Menjaga Perut

Yang hendaknya selalu di ingat: perut kita bukan tong sampah! Input yang masuk ke dalam perut akan berpengaruh langsung/tidak langsung terhadap tingkah laku/sikap/tindakan kita. Karenanya, peliharalah perut dari makanan yang haram atau yang syubahat. Sekalipun halal, hindari memakannya secara berlebihan. Sebab hal itu akan menumpulkan pikiran dan hati nurani. Obesitas (kelebihan berat badan) adalah penyakit modern sebagai akibat lain dari tidak terkontrolnya urusan perut.

5. Menjaga Kemaluan

Kendalikan sekuat daya dorongan melakukan apa-apa yang diharam kan oleh Allah SWT. Firman Allah-Nya:"Dan mereka yang selalu menjaga kemaluan mereka, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau apa-apa yang mereka miliki (daripada hamba jariah) maka mereka tidak tercela." (Al Mukminun: 5-6)

6.Menjaga Dua Tangan

Kendalikan kedua tangan dari melukai seseorang (kecuali dengan cara hak seperti berperang, atau melakukan balasan yang setimpal). Katakan “stop”, pada tangan, ketika akan bertindak sesuatu yang diharamkan, atau menyakiti makhluk Allah, atau menulis sesuatu yang diharamkan atau menyakiti perasaan orang lain.

7.Menjaga Dua Kaki

Memelihara kedua kaki dari berjalan ke tempat yang diharamkan atau berjalan menuju kelompok orang atau penguasa yang zalim tanpa ada alasan darurat karena sikap dan tindakan itu dianggap menghormati kezaliman mereka, sedangkan Allah menyuruh kita berpaling dari orang yang zalim.

Firman Allah SWT: "Dan jangan kamu cenderung hati kepada orang yang zalim, nanti kamu akan disentuh oleh api neraka." (Hud: 113)

Pintu-pintu bagi masuknya maksiat terbuka lebar pada ketujuh anggota tubuh di atas. Pun kunci-kuncinya ada dalam genggaman tangan kita untuk membendungnya. Jadi, semua kembali kepada manusianya. Tentu hamba Allah yang cerdik, adalah mereka yang mempergunakan amanah tubuh untuk senantiasa berjalan di atas rel keridhaan-Nya.

Akhirul kalam, ada sebuah hadits Nabi mengatakan, “Barangsiapa meninggalkan maksiat terhadap Allah karena takut kepada Allah, maka ia akan mendapatkan keridhaan-Nya.” (Riwayat Abu Ya’li)

Tujuh Kelebihan dari Bersabar

Tidaklah suatu kejadian dialami manusia, kecuali semuanya sudah ditentukan Sang Maha Menakdirkan (QS al-Hadid [57]: 22).

Sungguh, takdir Allah adalah takdir Allah. Kita tidak mungkin bisa menolaknya. Hanya kita memohon kepada-Nya, semoga diberi kekuatan dan kecerdasan dalam menyibak hikmah di balik bahasa takdir-Nya.

Semoga kita termasuk golongan hamba-Nya yang bersabar dengan semua takdir-Nya. Bersabar dengan semua keadaan dan berbagai deret peristiwa mahapahit lainnya. Ketahuilah, inilah yang akan didapat oleh hamba-Nya yang mau bersabar.

Pertama, mendapatkan pahala surga dari Allah (baca: QS ar-Ra'd, [13]: 23 - 24). Anas bin Malik RA mendengar Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah berfirman, 'Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan kedua matanya, kemudian dia bersabar, maka aku gantikan surga baginya'." (HR Bukhari).

Kedua, sabar merupakan dhiya (cahaya yang amat terang). Dengan kesabaran inilah, seseorang akan mampu menyingkap kegelapan. Rasulullah SAW mengungkapkan, "… dan kesabaran merupakan cahaya yang terang." (HR Muslim).

Ketiga, kesabaran merupakan anugerah Allah yang paling baik.. "… dan tidaklah seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran." (Muttafaqun Alaih).

Keempat, kesabaran merupakan salah satu sifat sekaligus ciri orang Mukmin. "Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman karena segala perkaranya adalah baik. Jika ia mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur karena (mengetahui) bahwa hal itu memang baik baginya. Jika tertimpa musibah atau kesulitan, ia bersabar karena (mengetahui) bahwa hal itu baik baginya." (HR Muslim).

Kelima, sabar merupakan sifat para nabi.

Keenam, kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah menggambarkannya dalam sebuah hadis, "Tidaklah seorang Muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, marabahaya, dan juga kesusahan hingga duri menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut." (HR Bukhari dan Muslim).

Ketujuh, kesabaran merupakan sebuah keniscayaan. Seseorang tak boleh putus asa hingga ia menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah sangat terpaksa, hendaklah ia berdoa kepada-Nya agar memberikan yang terbaik baginya: apakah kehidupan atau kematian.

"Janganlah salah seorang di antara kalian mengangan-angankan datangnya kematian karena musibah yang menimpanya. Sekiranya, ia memang harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, 'Ya, Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih baik untukku. Wafatkanlah aku sekiranya itu lebih baik bagiku'." (HR Bukhari Muslim).

Demikianlah keutamaan bagi orang-orang yang sabar. Wallahu a'lam.

Menjadi Manusia Mulia

Allah swt. menciptakan manusia dan memuliakannya atas makhluk ciptaan-Nya yang lain. Manusia diciptakan dari unsur bumi berupa tanah sebagai lambang materi, dengan ditiupkan unsur langit berupa ruh sebagai lambang immateri. Manusia dibekali akal, pendengeran, penglihatan dan hati. Pemuliaan manusia itu ditegaskan Allah swt. dalam berfirman-Nya:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا

“Dan sungguh Kami telah muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” QS. Al-Isra:70

Bahkan pemuliaan itu dikuatkan dengan dua kata penguat “Huruf Lam dan Kata Qad”, yang berarti menunjukkan makna yang sangat kuat. Secara fisik, manusia diciptakan sebaik-baik bentuk. Allah swt. berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” At-Tin:4.

Manusia berdiri tegak, manusia berjalan dengan kedua kaki, tidak merangkak seperti binatang melata. Manusia makan dengan tangan, bukan menjilat dengan lidah atau dengan mulutnya langsung (Tafsir Ibnu Katsir). Dan manusia dibekali akal fikiran, untuk membedakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang halal dan yang haram.

أَفَمَنْ يَمْشِي مُكِبًّا عَلَى وَجْهِهِ أَهْدَى أَمْ مَنْ يَمْشِي سَوِيًّا عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (22) قُلْ هُوَ الَّذِي أَنْشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ (23

“Maka Apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?. Katakanlah: “Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati”. (tetapi) Amat sedikit kamu bersyukur.” Al-Mulk:22-23



Kelemahan Manusia

Di samping penegasan kemuliaan manusia, Allah juga menjelaskan bahwa manusia mempunyai sifat dasar kelemahan. Penjelasan ini agar manusia menyadarinya dan berusaha untuk bisa mengendalikannya. Di antara kelemahan dasar manusia itu adalah:

Sifat lupa, manusia dikatakan insan karena memiliki sifat dasar pelupa, dalam bahasa Arab disebutkan:

سمي الإنسان إنسانا لنسيته

Manusia memiliki sifat tergesa-gesa, Allah swt. berfirman:

وَكَانَ الإنْسَانُ عَجُولا

“Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” Al-Isra’:11

وَكَانَ الإنْسَانُ قَتُورًا

“Dan adalah manusia itu sangat kikir.” Al-Isra’:100

إِنَّ الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (19) إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا (20) وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” Al-Ma’arij:19-21

إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا 36

”Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” An-Nisa’:36

إِنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ 9

“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah Dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” QS. Hud:9

إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan amat bodoh.” Al-Ahzab: 70

“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya. Dan Sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya. Dan Sesungguhnya Dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” Al-‘Aadiyat:6-8

Di atas adalah sebagian kelemahan manusia yang Allah informasikan dalam Al-Qur’an.





Bekalan Manusia

Sifat dasar kelemahan manusia; lupa, tergesa-gesa, kikir, keluh kesah, putus asa, kufur, zalim, ingkar dan bodoh itu ada dalam setiap diri manusia, karena manusia memiliki nafsu syahwat dan selagi setan terus menggoda manusia setiap saat.

قال أبو هريرة: يا رسول الله، إذا رأيناك رقَّت قلوبُنا، وكنا من أهل الآخرة، وإذا فارقناك أعجبتنا الدنيا وشَمِمْنا النساء والأولاد، فقال لَوْ أَنَّكُمْ تَكُونُونَ عَلَى كُلِّ حَالٍ ، عَلَى الْحَالِ الَّتِي أَنْتُمْ عَلَيْهَا عِنْدِي، لَصَافَحَتْكُمْ الْمَلائِكَةُ بِأَكُفِّهِمْ ، وَلَزَارَتْكُمْ فِي بُيُوتِكُمْ، وَلَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَجَاءَ اللَّهُ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ كَيْ يُغْفَرَ لَهُمْ

Dari Abu Hurairah berkata, “Ya Rasulallah, jika kami melihat Engkau, hati kami luluh, kami menjadi –seakan- penduduk akhirat, tapi jika kami berpisah dari Engkau, dunia menakjubkan kami dan kami disibukkan dengan istri-istri dan anak-anak (kami). Maka Rasulullah saw. menjawab: “Jika kalian ada dalam satu kondisi saja, yaitu kondisi di mana kalian bersama saya, maka Malaikat pasti akan menjabat tangan kalian, dan pasti mereka akan singgah di rumah-rumah kalian. Jika kalian tidak melakukan dosa, pasti Allah mendatangkan suatu kaum, mereka melakukan dosa, agar Allah mengampuni mereka.” HR. Imam Ahmad

Namun demikian, Allah swt.telah menyiapkan terminal ruhani, stasiun penghapusan dosa, dan upaya terus menerus agar manusia mampu mengendalikan sifat dasar kelemahan tersebut.

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” Asy-Syam:8-10

Terminal ruhani dan stasiun penghapusan dosa itu ada yang sifatnya harian, pekanan, bulanan dan tahunan.

Untuk yang tahunan di antaranya adalah Ramadhan. Ramadhan adalah akademi dan universitas yang mampu melahirkan manusia yang bisa mengendalikan kelemahan dasar dirinya, sekaligus sebagai terminal ruhani dan stasiun penghapusan dosa.

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه

“Barangsiapa berpuasa karena iman dan berhadap ganjaran dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun alaih)

وَالصَّوْمُ جُنَّةٌ

“Dan puasa adalah benteng.” (HR. Bukhari)

Bagi yang diberi keluasan rizki, terminal ruhani tahunan itupun datang dua bulan setelah bulan Ramadhan, yaitu bulan Dzul Hijjah, pelaksanaan ibadah haji. Ibadah haji adalah puncak ibadah dalam kehidupan manusia, karena ia adalah rukun Islam yang kelima.

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ وَالْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ يُكَفَّرُ مَا بَيْنَهُمَا

Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Haji yang mabrur tiada lain pahalanya kecuali surga. Dan umrah satu ke umrah yang lain menghapus dosa antara waktu keduanya.” HR. Imam Ahmad

Terminal ruhani yang sifatnya bulanan di antaranya; shaum sunnah Ayyamul Baidh –shaum putih atau shaum purnama 13,14,15 bulan Qamariyah-. Shaum pada bulan-bulan tertentu, seperti shaum Arafah, shaum muharram, dll.

Yang sifatnya Pekanan berupa shalat Jum’at. Hari Jum’at adalah Sayyidul Ayyam –penghulu hari-hari-. Pelaksanaan Jum’atan sungguh sangat istimewa dan sakral. Pada hari ini disunnahkan melakukan thaharah –bersuci-; potong kuku, potong kumis, potong bulu-bulu halus.

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ، ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَدَنَا ، وَأَنْصَتَ ، وَاسْتَمَعَ غُفِرَ لَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ إِلَى الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabd; “Barangsiapa berwudhu dengan membaguskan wudhunya, kemudian berangkat shalat, kemudian ia mendekat, dan menyimak, dan mendengarkan khutbah, ia akan diampuni dosanya dari Jum’at ini ke shalat Jum’at berikutnya dan ditambah tiga hari.” Imam Muslim

Terminal ruhani yang bersifat Harian yaitu berupa shalat lima waktu.

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ ». قَالُوا لاَ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَىْءٌ. قَالَ « فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِنَّ الْخَطَايَا ». رواه مسلم

Rasulullah saw. bersabda: “Apa pendapat kalian, jika ada sungai di depan pintu rumah kalian, kalian mandi di sana setiap hari lima kali, apakah masih tersisa kotoran? Sahabat menjawab: “Tidak tersisa sedikit pun kotoran sama sekali”. Rasul bersabda: ”Itulah perumpamaan shalat lima waktu, Allah menghapus kesalahan-kesalahan dengan shalat lima waktu.” HR. Imam Muslim

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ (45

“Bacalah apa yang diwahyukan kepadamu dari Al-Kitab, dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mampu mencegah –pelakunya- dari berbuat keji dan munkar, dan dzikir kepada Allah itu perintah yang besar. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.”

Bahkan ada terminal ruhani yang sifatnya setiap waktu dan setiap tempat seperti dengan selalu beristighfar minta pengampunan Allah swt.

Seluruh rangkaian ibadah dalam Islam adalah dalam rangka mengendalikan kekurangan diri, menghapus segala dosa dan kesalahan, memenuhi kepuasan spiritual dan keimanan dan meningkatkan derajat manusia. Meningkatkan derajat itu bahkan bisa melebihi kemuliaan Malaikat sekali pun, sebagaimana Ath-Thabari menafsirkan surat Al-Isra ayat 70 di atas;

وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا

“Dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” QS. Al-Isra:70

قالت الملائكة: يا ربنا إنك أعطيت بني آدم الدنيا يأكلون منها، ويتنعَّمون، ولم تعطنا ذلك، فأعطناه في الآخرة، فقال: وعزّتي لا أجعل ذرّية من خلقت بيدي، كمن قلت له كن فكان

“Malaikat mengadu, Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengkaruniai anak keturunan Adam dunia, mereka memakan di dalamnya, mereka bersenang-senang di dalamnya, sedangkan kami tidak Engkau beri itu semua, maka karuniakan kami itu di akhirat. Maka Allah swt. berfirman: “Demi kemuliann-Ku, saya tidak akan menjadikan keturunan orang yang Aku ciptakan ia dengan kedua Tanganku sendiri, sebagaimana seperti orang yang Aku berkata kepadanya “Ada, maka ia ada” –itu seperti kalian wahai Malaikat-” (Tafsir At-Thabari, hal 501, juz 30 bab 70)

Akan tetapi sebaliknya, jika manusia terkalahkan dengan sifat dasar kelemahan yang ada pada dirinya, ia akan lebih hina dibanding binatang ternak tak berakal sekalipun. Allah swt. berfirman:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ 179

“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” Al-A’raf:179

Dengan mampu mengendalikan kelemahan dan terus berupaya menjadi manusia yang mulia, maka manusia mampu memainkan peran yang mulia di mata Allah swt., peran sebagai Khalifatullah Fil Ard. Allah swt. berfirman:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Al-Baqarah:30

Menjadi manusia mulia adalah dengan menyeimbangkan unsur materi dan unsur ruhani yang ada pada diri kita, serta dengan usaha mujahadah dalam setiap waktu, momentum dan tempat untuk mampu mengendalikan dan mengalahkan kelemahan diri. Allahu a’lam

Sepuluh Sebab Penghapus Dosa

Nash-nash al-Qur`an dan Sunnah telah menunjukkan bahwa hukuman dosa (siksa) dapat dihapuskan dari seorang hamba dengan sepuluh sebab berikut ini:

1. Taubat Nasuha.

Yaitu taubat yang sebenar-benarnya taubat, maka ia (taubat nasuha) dapat meleburkan dosa sebelumnya. Dan Allah Subhanahu Wata'ala Maha menerima taubat hamba-hambaNya yang mau bertaubat kepadaNya.

Dan orang yang bertaubat dari segala dosa bagaikan orang yang tidak memiliki dosa. Allah Subhanahu Wata'ala berfirman, artinya, “Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. asy-Syura: 25).

Allah Subhanahu Wata'ala juga berfirman, artinya, “Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Tuhan kamu, sesudah taubat yang disertai dengan iman itu adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-A’raf: 153).

2. Beristighfar.

Yaitu memohon ampunan kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Sesungguhnya Allah akan mengampuni hamba-hambaNya yang meminta ampunan (beristighfar) kepadaNya. Allah Subhanahu Wata'ala berfirman, artinya, “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisa`: 110).

Allah Subhanahu Wata'ala juga berfirman, artinya, “Dan Tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” (QS. al-Anfal: 33).

Begitu juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda tentang apa yang beliau riwayatkan dari Rabbnya, artinya, “Wahai anak cucu Adam (manusia) seandainya dosa-dosamu setinggi awan di langit, lalu kamu meminta ampun kepadaKu, niscaya Aku akan mengampuni dosa-dosamu.” (HR. at-Tirmidzi, dan dia berkata, “Hadits hasan shahih.”

Allah Subhanahu Wata'ala juga berfirman dalam hadits qudsi, artinya, “Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian melakukan kesalahan (dosa) di waktu malam dan siang hari, sedangkan Aku lah yang dapat mengampuni semua dosa, maka mohon ampunlah kalian kepadaKu niscaya Aku akan mengampuni dosa kalian.”
(HR. Muslim).


3. Kebaikan-kebaikan menghapuskan dosa-dosa.

Seperti shalat, shadaqah, puasa, haji, membaca al-Qur`an, berdzikir kepada Allah, berdo’a, beristighfar, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silatur rahim, dan lain-lain. Allah Subhanahu Wata'ala berfirman, artinya, “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS. Huud: 114).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Shalat-shalat yang lima waktu, jum’at ke jum’at, ramadhan ke ramadhan dapat meleburkan dosa diantara keduanya apabila dosa-dosa besar dijauhkan.” (HR. Muslim).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda, “Dan ikutilah perbuatan buruk/ kejahatan dengan perbuatan yang baik, niscaya dia menghapuskannya.” (HR. at-Tirmidzi dan dia menghasankannya).

Sesungguhnya satu kebaikan dilipat gandakan balasannya sampai sepuluh kali lipat, adapun keburukan akan dibalas yang serupa dengannya. Maka celakalah bagi orang yang berguguran (kalah) satu persatu dari sepuluh sebab tersebut.

4. Doa orang-orang yang beriman.

Maksudnya mereka memohon ampunan (kepada Allah, pen.) untuk orang yang beriman (lainnya) baik ketika hidup maupun setelah mati dan khususnya pada saat ketidak beradaannya (tanpa sepengetahuan orang yang didoakan, pen.) dan begitu juga doanya atas saudara-saudaranya yang telah meninggal dunia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Doa seorang muslim untuk saudaranya yang tidak hadir (tanpa sepengetahuannya, pen.) adalah mustajab, di samping kepalanya terdapat malaikat, setiap dia berdoa untuk saudaranya dengan kebaikan, malaikat yang diutus berkata, ‘Amin, dan bagimu sepertinya (seperti orang yang didoakan, pen.).” (HR. Muslim).

5. Perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan/ diniatkan untuk si mayyit.

Seperti shadaqah; puasa; haji; membebaskan budak; dan yang lainnya. Para ulama berpendapat, “Amal shalih apa pun (yang dapat mendekatkan diri kepada Allah) yang dia kerjakan dan dia peruntukkan pahalanya untuk seorang muslim baik yang masih hidup ataupun yang telah meninggal, maka hal itu bermanfaat baginya.” Dan yang lebih utama adalah mencukupkan dalam hal tersebut pada apa yang dijelaskan/ ditetapkan oleh nash-nash (al-Qur`an dan Sunnah).

6. Syafa’at Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan selainnya.

Maksudnya adalah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan selain beliau akan memberikan syafa’at kepada orang-orang yang berbuat dosa pada hari Kiamat dengan izin Allah Subhanahu Wata'ala sebagaimana hal tersebut ditetapkan di dalam hadits-hadits shahih.

7. Musibah-musibah.

Dengannya lah Allah Subhanahu Wata'ala menghapuskan dosa-dosa atau kesalahan-kesalahan (yang dilakukan oleh hamba-hambaNya, pent.) di dunia sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ash-Shahihain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam;bersabda, “Tidaklah orang yang beriman ditimpa penyakit yang terus menerus dan tidak pula rasa cemas, rasa sedih, rasa susah dan rasa sakit, sampai-sampai duri yang menusuk kecuali Allah menghapuskan dengannya dari dosa-dosa/ kesalahan-kesalahannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

8. Apa yang didapatkan oleh seorang hamba ketika di dalam kubur.

Yakni berupa fitnah, himpitan liang kubur, kengerian, maka ini semua di antara yang dapat menghapuskan dosa-dosa.

9. Rasa takut, kesusahan serta kengerian terhadap kedahsyatan hari kiamat.

10. Rahmat Allah Subhanahu Wata'ala

Sesungguhnya karena rahmat Allah Subhanahu Wata'ala, semua hamba mendapatkan maaf dan ampunanNya tanpa sebab, maka Dia lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, sebagaimana Dia berfirman, artinya, “Dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu.” (QS. an-Nisa`: 48 dan 116).

Dan Dia lah yang Maha Penyayang kepada hamba-hambaNya melebihi sayangnya seorang ibu kepada anak-anaknya dan sungguh rahmat Allah Subhanahu Wata'ala meliputi segala sesuatu.

Panasnya Neraka

Allah berfirman : “Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata :”Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini. “Katakanlah :”Api neraka Jahanam itu lebih sangat panasnya “, jika mereka mengetahui.

Dalam kitabh ash-sahihain dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliu bersabda : “Neraka mengadu kepada Tuhannya seraya berkata : Wahai Tuhanku, sebagian diriku memakan sebagian yang lain, maka bagilah nafasku,“ Maka Allah memberi izin untuk dua nafas. Satu bagian pada musim dingin dan satu bagian pada musim Panas. Bagian yang paling panas adalah sumum (angin yang amat panas) dan bagian yang dingin adalah zamharir-nya.

Masih dalam kitab ash-sahihain dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda : “Api yang dipakai anak adam didunia ini adalah satu dari tujuh puluh bagian api neraka jahannam,” Para sahabat berkata : “Demi Allah, ini sudah sangat panas.“ Nabi bersabda : “Sesungguhnya api neraka itu panasnya enam puluh Sembilan kali panasnya api dunia (muttafaq’alaih).

Dari Athiyyah al-Aufi dari Abu Said bahwa Nabi SAW bersabda : “Api dunia ini adalah satu dari tujuh puluh bagian api neraka, setiap bagian panasnya sama . (at-Tirmidzi).

Ibnu Mas’ud berkata : “Sesungguhnya api kamu yang ada di dunia ini dicelupkan kedalam laut hingga dingin, seandainya tidak dicelupkan, maka tidak bisa digunakan manusia, padahal ia hanya dari satu dari tujuh puluh bagian neraka jahannam”.

Ath-Tabrani mengeluarkan dari jalur Tamam bin Najih dari al-hasan dari Anas dari Nabi SAW, beliau bersabda : “Seandainya ujung barat neraka diletakkan ditengah bumi, maka bau bacin dan panasnya akan dirasakan dari barat hingga timurnya bumi. Jika percikan neraka diletakkan di bagian timur bumi, maka panas bisa dirasakan di bagian barat bumi.

Muawiyah bin shalih dari Abdul Malik bin Abu Basyir berkata : “Setiap hari, neraka itu berkata : “Panasku semakain bertambah, jurangku semakin dalam, baraku semakin banyak, segera cepatkan penghuniku, wahai Tuhanku”.

Abu Hurairah meriwayatkan dari nabi SAW beliau bersabda bahwa ketika Allah SWT menciptakan neraka, Allah mengutus Jibril ke neraka : “Pergilah ke neraka dan lihatlah apa yang telah aku sediakan untuk penghuninya. Nabi SAW berkata : “Kemudian JIbril pergi dan melihat neraka. Neraka itu bertumpuk-tumpuk satu diatas yang lainnya, lalu Jibril kembali dan berkata: “Demi KemulianMu, tidak akan ada orang yang mau masuk neraka, setelah mendengar berita ini. “Lalu Allah memerintahkan untuk mengitari neraka dengan syahwat (orang masuk neraka, karena menuruti nafsu syahwatnya),: ” Pergi dan lihatlah apa yang telah Aku persiapkan bagi penghuninya. “Jibril lalu pergi dan melihat neraka, dan kembali menghadap Tuhannya, ia berkata : ”Demi Kemulian-Mu, aku sungguh khawatir, tidak akan ada satu orang yang akan selamat dari neraka.” (Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidzi).

Yakinilah Engkau Akan Datang Sendiri-Sendiri

Tak ada yang akan dapat menolong kita kelak. Siapapun. Semuanya sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Mereka sudah tidak ada lagi kesempatan memikirkan orang lain. Seorang ayah tidak lagi dapat menolong anaknya, isterinya, saudaranya, dan sebaliknya. Semuanya harus sendiri-sendiri. Ketika menghadap Rabbul Alamin. Inilah kehidupan di akhirat, kelak.

Orang-orang yang terbiasa dengan pertolongan orang lain, ketika masih di dunia, pasti akan kecewa di akhirat. Tidak mungkin lagi dapat mengharapkan bantuan dari orang lain, yang selama di dunia sering menolongnya. Tidak ada tempat bergantung. Semuanya manusia yang menjadi tempat gantungannya putus. Semuanya tak berarti apa-apa. Di akhirat nanti manusia hanya dapat bergantung dengan amalannya selama di dunia. Itulah satu-satu tempat bergantung.

Manusia akan mengeluh, bersedih, dan menderita, yang sifatnya kekal. Mereka akan menerima musibah, bencana, dan hukuman, semuanya bagian dari kehidupannya di dunia. Seperti digambarkan dalam surah al-Waqi’ah, bagi golongan ‘kiri’ (ashabul syimal), yang akan menerima ‘raport’ (cataran) kehidupannya selama di dunia dengan wajah yang sangat masam, sedih.

Gambaran bagi orang-orang yang menolak agama Allah, mendustakan, dan berbuat durhaka. Di dunia tak merasakannya. Mereka hidup dengan gantungan orang-orang yang dianggap kuat, memberikan perlindungan, kebahagiaan, dan serba lengkap dan melengkapi kebutuhan dan keinginan hidupnya, sampai tidak lagi mempercayai Rabbul Alamin.

Tidak guna lagi menangis. Bersedih. Meratap dengan nada yang pilu. Akibat dari apa yang sudah diperbuatnya selama hidup di dunia. Mereka sangat asyik dengan kehidupan dunia. Penuh dengan tawa. Lalai kewajibannya. Lalai akan nikmatnya. Lalai akan pemberian yang diberikan Rabbul Alamin. Merasa segala yang didapatkan adalah hasil pribadinya. Karena itu tak pernah merasa besyukur. Naluri hidupnya hanyalah mengikuti hawa nafsunya. Tiba-tiba mereka harus mempertanggungjawabkan segala apa yang sudah diperbuat selama di dunia. Sendiri-sendiri.

Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam bersabda :

“Kamu menangis atau tidak sama saja. Demi Allah yang menggenggam jiwaku, hai Jabir, para malaikat terus menaungi ayahmu dengan sayap mereka mengangkatnya. Demi Allah yang menggenggam jiwaku, hai Jabir sungguh Allah berbicara dengan ayahmu tanpa perantara. Dia berfirman : “Berharaplah!” Dia berkata : “Saya berharap Engkau mengembalikan saya ke dunia agar terbunuh lagi di jalan-Mu”. Allah berfirman ; “Tapi Aku telah menetapkan bahwa yang mati tidak dapat kembali ke dunia lagi. Berharaplah (yang lain)!” Dia berkata : “Saya berharap Engkau ridho kepadaku sebab saya telah ridha kepada-Mu. Allah berfirman : “Aku telah memberi keridhaan-Ku kepadamu. Aku tidak akan murka kepadamu selamanya”.

Di akhirat nanti hanyalah orang-orang yang mendapatkan ridha-Nya yang akan mendpatkan kebahagiaan. Bukan manusia-manusia yang selama hidupnya mencari ridha manusia. Menjadikan manusia sebagai sesembahan. Menjadikan manusia tempat bergantung dan meminta pertolongan. Manusia yang telah menempatka manusia lainnya, sebagai sesembahan dan tempat bergantung hidupnya, dia tidak akan pernah mendpatkan ridha dari Allah Rabbul Alamin, di akhirat kelak.

Mereka hanya orang-orang yang menyesali hidupnya. Mereka tidak lagi dapat bertemu dan mendapatkan pertolongan dari orang-orang yang dahulunya di dunia telah memberikan mereka pertolongan. Orang-orang yang dianggap hebat 'super'. Masing-masing orang hanya akan mempertanggungjawabkan sesuai dengan amalnya. Sebesar apapun kekuasaan manusia di dunia, yang disangka oleh manusia lainnya, yang dianggap dapat memberikan pertolongan dan perlindungan itu, hanyalah akan menjadi sia-sia dihadapan Allah Rabbul Alamin.

Maka Allah Ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tiadk meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui”. (QS. Al-Imran [3] : 135)

Ingatlah ketika kelak menghadap Rabbul Alamin Yang Maha Agung, setiap manusia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Maka ketika menyadari telah menyimpang dari jalan yang telah ditetapkan Rabb, segeralah memohon ampun, dan bertaubat. Wallahu’alam.

renungan

Seorang muslim jangan pernah merasa aman dari penyimpangan dalam hidupnya. Seorang muslim harus senantiasa introspeksi diri serta menimbang setiap amal dan perbuatannya dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jangan sampai dia teperdaya serta terlena dengan makar dan tipu daya Iblis la’natullah ‘alaih .

Iblis adalah makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terlaknat dan terkutuk. Permusuhannya kepada bani Adam sangatlah besar. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk menjadikan Iblis sebagai musuh disertai minta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari setan yang terkutuk.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menegaskan terkutuknya Iblis:

قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ. وَإِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِي إِلَى يَوْمِ الدِّينِ

“Maka keluarlah kamu dari surga. Sesungguhnya kamu makhluk yang terkutuk. Sesungguhnya laknat-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan.” (Shad: 77-78)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan kepada kita bagaimana besarnya upaya Iblis untuk menyesatkan manusia dari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ. ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menetapkan aku tersesat, maka aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 16-17)

Qatadah rahimahullahu mengatakan: “Setan mendatangimu, wahai bani Adam, dari segala penjuru kecuali dari atasmu, karena dia tidak bisa menghalangi kamu dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Ibnul Qayim rahimahullahu menerangkan, “Ayat ini menjelaskan dengan rinci apa yang disebutkan secara global dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ

“Iblis menjawab: ‘Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya’.” (Shad: 82)

Juga firman-Nya:

إِنْ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا إِنَاثًا وَإِنْ يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا مَرِيدًا. لَعَنَهُ اللهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا. وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ ءَاذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا. يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا

Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala (yang dinamai dengan nama perempuan), mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka yang dilaknati Allah dan setan itu mengatakan: “Aku benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untukku). Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka, dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak). Lalu mereka benar-benar memotongnya dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala), lalu benar-benar mereka mengubahnya.” Barangsiapa menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. (An-Nisa’: 117-120)


Makar dan tipu daya Iblis

Ketahuilah, Iblis melakukan berbagai makar, tipu muslihat serta memasang jeratnya untuk menyesatkan bani Adam dan menjauhkan mereka dari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Banyak orang terlena dan tertipu merasa yakin sedang mengamalkan kebaikan, padahal dia sedang terjerumus tipu daya dan jerat-jerat setan.

Di antara sekian perbuatan sebagian kaum muslimin yang menyelisihi aqidah Islam adalah melakukan hilah untuk menghalalkan yang haram dan membenarkan kebatilan. Ini merupakan perbuatan orang Yahudi, orang munafik, dan termasuk bentuk tipu daya setan kepada bani Adam.

Ibnul Qayim rahimahullahu menegaskan, “Diantara tipu muslihat Iblis untuk menipu Islam dan kaum muslimin adalah hilah, makar, dan penipuan yang mengandung penghalalan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan dan pengguguran apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan, perintah dan larangan-Nya. (Ighatsatul Lahafan, 1/338)

Makna Hilah

Hilah sama dengan mukhada’ah, yakni cara (tujuan) atau trik yang halus dan samar yang dilakukan seseorang untuk meraih tujuannya, tidak akan disadari kecuali dengan kecerdasan dan kejeniusan. (Lihat I’lamul Muwaqqi’in)

Bentuk Hilah yang Haram

Ibnul Qayim rahimahullahu menjelaskan: “Macam yang kedua adalah (hilah) yang dilakukan untuk meninggalkan (tidak mengamalkan) kewajiban, menghalalkan yang haram, membalikkan yang terzalimi menjadi seorang yang zalim, seorang yang zalim menjadi pihak terzalimi, kebenaran menjadi kebatilan, yang batil menjadi kebenaran. Macam hilah yang kedua ini telah disepakati salafus shalih sebagai perbuatan yang tercela.” (Ighatsatul Lahafan, hal. 339)

Dalil-dalil tentang haramnya Hilah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu telah menyebutkan beberapa dalil dan sisi yang menunjukkan haramnya hilah. Di antaranya:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ

Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah:8)

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ. وَلَا يَسْتَثْنُونَ. فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ. فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ. فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ. أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِمِينَ. فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ. أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ. وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ. فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ. بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ

Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Makkah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari. Dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin). Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Rabbmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. Lalu mereka panggil-memanggil di pagi hari. “Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.” Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik. “Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.” Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan). Bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya).” (Al-Qalam: 17-27)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum orang-orang yang melakukan hilah dalam rangka menggugurkan hak orang miskin.

3. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang orang Yahudi yang melanggar larangan berburu (mengambil ikan) di hari Sabtu. Mereka diubah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi kera, karena melakukan hilah untuk menghalalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan yakni berburu (mengambil ikan) di hari Sabtu. Maka mereka (melakukan hilah) meletakkan jaring di hari Jum’at. Bila ada yang terjerat jaringnya mereka ambil di hari Ahad. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا وَيَوْمَ لَا يَسْبِتُونَ لَا تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ. وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُوا مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ. فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ. فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ. وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكَ لَيَبْعَثَنَّ عَلَيْهِمْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ مَنْ يَسُومُهُمْ سُوءَ الْعَذَابِ إِنَّ رَبَّكَ لَسَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik. Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabbmu, dan supaya mereka bertakwa.” Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina. Dan (ingatlah), ketika Rabbmu memberitahukan bahwa sesungguhnya Dia akan mengirim kepada mereka (orang-orang Yahudi) sampai hari kiamat orang-orang yang akan menimpakan kepada mereka azab yang seburuk-buruknya. Sesungguhnya Rabbmu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang. (Al-A’raf: 163-167)

4. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya…”

Ibnul Qayim rahimahullahu menyatakan: “Ini adalah dalil pokok untuk membatilkan hilah.”

5. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا … وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَ صَاحِبَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَهُ

“Penjual dan pembeli dalam masa khiyar selama belum berpisah… Tidak boleh salah satunya meninggalkan yang lain karena takut tidak jadinya akad.” (HR. Abu Dawud dan lainnya)

Ibnul Qayim rahimahullahu berkata: “Al-Imam Ahmad rahimahullahu berdalil dengan hadits ini dan berkata bahwa hadits ini menunjukkan batilnya hilah.”

6. Bab hilah yang diharamkan, yang asalnya adalah menamakan sesuatu tidak dengan nama aslinya, mengubah bentuk sesuatu dalam keadaan masih ada hakikatnya. Misalnya memberi nama-nama lain untuk riba, khamr. (Lihat Ighasatul Lahafan)

Hilah adalah perbuatan orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir lainnya

Di antara hilah yang dilakukan Yahudi:

1. Dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ ءَامِنُوا بِالَّذِي أُنْزِلَ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا ءَاخِرَهُ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya): “Perlihatkanlah (seolah-olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-sahabat rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang mukmin) kembali (kepada kekafiran).” (Ali ‘Imran: 72)

2. Kisah orang yang melanggar larangan hari Sabtu (telah kami sebutkan di pembahasan di atas).

3. Dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

قَاتَلَ اللهُ الْيَهُودَ، إِنَّ اللهَ لَـمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ

“Allah memerangi Yahudi, sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas mereka lemak bangkai, namun mereka cairkan lalu mereka jual dan mereka memakan hasil penjualannya.” (HR. Al-Bukhari no. 2236 dan Muslim no. 1581)

Hilah yang sering dilakukan di masa kini

Ketahuilah, banyak tersebar di masyarakat kita praktik hilah, baik dilakukan oleh satu lembaga, kelompok, atau individu tertentu. Melakukan tipu muslihat untuk menghalalkan yang haram yang tujuannya adalah mengeruk dunia semata. Di antara perkara tersebut adalah:

1. Nikah tahlil

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

لَعَنَ اللهُ الْـمُحَلِّلَ وَالْـمُحَلَّلَ لَهُ

“Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.”

Gambarannya, ada seseorang (yang diistilahkan muhallil lahu) mentalak istrinya dengan talak tiga dan ingin kembali ke mantan istrinya tersebut. Maka dia mencari seseorang (disebut muhallil) dan melakukan kesepakatan agar menikahi mantan istrinya untuk kemudian menceraikannya, dalam rangka memberikan jalan baginya untuk kembali menikahinya.

2. ‘Inah

Gambarannya, ada seseorang datang ke tempat orang yang melakukan praktik ribawi untuk meminjam uang. Rentenir ini berkata: “Begini saja, kamu ambil motorku ini dengan harga sepuluh juta, utang.” Kemudian dia berkata: “Sekarang aku beli motor tersebut dari kamu lima juta, kontan.” Sehingga dia mempunyai utang sepuluh juta, namun hanya mendapatkan uang tunai lima juta.

Keterangan: Ini adalah bentuk hilah dalam riba, yang hakikatnya sama dengan seseorang pinjam Rp 5.000.000,00 tapi harus membayar ganti Rp 10.000.000,00.

3. Judi dinamakan dengan sumbangan dana sosial berhadiah (SDSB, dahulu), dan sebagainya.

4. Khamr

Mereka menamai khamr dengan nama-nama lainnya.

5. Memberi nama lembaga-lembaga ribawi dengan label Islam.

6. Menamakan transaksi riba dengan jual beli atau mudharabah (kerjasama). Juga menamakan riba dengan bunga/jasa/diskonto/margin atau pendapatan bagi hasil.

Akibat dan balasan bagi orang yang berbuat Hilah

Ibnul Qayim rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mencermati syariat ini dan dikaruniai pemahaman, niscaya dia akan melihat bahwa syariat ini telah menggugurkan keinginan orang-orang yang hendak berbuat hilah dan membalas mereka dengan kebalikan apa yang mereka maukan, serta menutup segala pintu yang mereka buka untuk melakukan hilah.” (Ighatsatul Lahafan)

Di antaranya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberi bagian waris yang melakukan hilah dengan membunuh orang yang akan memberinya waris atau memberinya wasiat.

Penutup

Setelah kita tahu bahwa hilah adalah perbuatan Iblis, Yahudi, dan orang kafir lainnya, maka hendaknya kita semua tidak melakukan perbuatan tersebut. Ingatlah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha melihat dan Maha Tahu apa yang kita lakukan. Ingatlah pula bahwa azab Allah Subhanahu wa Ta’ala sangatlah dahsyat. Janganlah karena ingin menuai keuntungan yang sedikit, namun menyebabkan terancam azab. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufiq kepada kita untuk menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Walhamdulillah.

Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak

asysyariah.com | qurandansunnah.wordpress.co

Adab-adab halaqoh

Agar sebuah halaqah dapat dikategorikan sebagai halaqah muntigah (berhasil guna) tentunya ada aturan-aturan yang harus ditaati oleh semua komponen halaqah dalam hal ini adalah murrabi dan mutarabbi.
Dr. Abdullah Qadiri dalam buku Adab Halaqah menyebutkan adab-adab pokok yang harus ada dalam sebuah halaqah:

Serius dalam segala urusan, menjauhi senda gurau dan orang-orang yang banyak bergurau. Yang dimaksudkan serius dan tidak bersenda gurau tentu saja bukan berarti suasana halaqah menajdi kaku, tegang, dan gersang, melainkan tetap diwarnai keceriaan, kehangatan, kasih sayang, gurauan yang tidak melampaui batas atau berlebih-lebihan. Jadi canda ria dan gurauan hanya menjadi unsur penyela/penyeling yang menyegarkan suasana dan bukan merupakan porsi utama halaqah.


Berkemauan keras untuk memahami aqidah Salafusshalih dari kitab-kitabnya seperti kitab Al-’Ubudiyah. Sehingga semua peserta halaqah akan terhindar dari segala bentuk penyimpangan aqidah.

Istiqamah dalam berusaha memahami kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dengan jalan banyak membaca, mentadabbur ayat-ayatnya, membaca buku tafsir dan ilmu tafsir, buku hadits dan ilmu hadits dan lain-lain.

Menjauhkan diri dari sifat ta’asub (fanatisme buta) yang membuat orang-orang yang taqlid terhadap seseorang atau golongan telah terjerumus ke dalamnya karena tidak ada manusia yang ma’shum (bebas dari kesalahan) kecuali Rasulallah yang dijaga Allah. Sehingga apabila ada perbedaan pendapat hendaknya dikembalikan kepada dalil-dalil yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Hanya kebenaranlah yang wajib diikuti, oleh karenanya tidak boleh mentaati makhluk dalam hal maksiat pada Allah.

Majlis halaqah hendaknya dibersihkan dari kebusukan ghibah dan namimah terhadap seseorang atau jama’ah tertentu. Adab-adab Islami haruslah diterapkan antara lain dengan tidak memburuk-burukan seseorang.

Melakukan Ishlah (koreksi) terhadap murabbi atau mutarabbi secara tepat dan bijak karena tujuannya untuk mengingatkan dan bukan mengadili.

Tidak menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menetapkan skala prioritas bagi pekerjaan-pekerjaan yang akan dilaksanakan berdasarkan kadar urgensinya.

Selain adab-adab pokok tersebut, secara lebih spesifik ada adab yang harus di penuhi oleh peserta/anggota halaqah terhadap diri mereka sendiri, terhadap murabbi, dan sesama peserta halaqah. Mula-mula seorang peserta halaqah hendaknya memiliki kesiapan jasmani, ruhani, dan akal saat menghadiri liqa halaqah ia semestinya membersihkan hati dari aqidah dan akhlaq yang kotor, kemudian memperbaiki dan membersihkan niat, barsahaja dalam hal cara berpakaian, makanan dan tempat pertemuan. Selain itu juga besemangat menuntut ilmu dan senantiasa menghiasai diri dengan akhlaq yang mulia.

Selanjutnya terhadap murabbi hendaknya ia tsiqah (percaya) dan taat selama sang murabbi tidak melakukan maksiat. Lalu berusaha konsultatif atau selalu mengkomunikasikan dan meminta saran-saran tentang urusan-urusan dirinya kepada murabbi. Selain itu ia juga berupaya memenuhi hak-hak murabbi dan tidak melupakan jasanya, sabar atas perlakuannya yang boleh jadi suatu saat tidak berkenan, meminta izin dan berlaku serta bertutur kata yang sopan dan santun.

Dan akhirnya adab terhadap kolega, rekan atau sesama peserta halaqah: mendorong peserta lain untuk giat dan bersungguh-sungguh dalam mengikuti tarbiyah. Lalu tidak memotong pembicaraan teman tanpa izinnya, selalu hadir tidak terlambat dan dengan wajah berseri, memberi salam, bertegur sapa dan tidak menyakiti perasaan. Selain itu terhadap lingkungan di sekitar tempat halaqah berlangsung, hendaknya semua peserta halaqah selalu menunjukkan adab-adab kesantunan, mengucapkan salam, meminta izin ketika melewati mereka dan pamit bila akan pulang serta melewati mereka lagi.

Wallahu’alam

Syakhsiyah Islamiyah I

Syakhsiyah Islamiyah (kepribadian yang islami) tidak tumbuh seketika. Bagaikan bibit tanaman, ia perlu dipelihara dan ditumbuhkan secara bertahap berkesinambungan. Ia perlu dijaga dari hama yang bisa mematikan pertumbuhannya. Ia perlu disirami agar tetap segar dan terus tumbuh. Ia perlu dikenai sinar matahari agar senantiasa berkembang dengan normal. Bahkan suatu bibit tanaman perlu dipilihkan lahan yang subur yang bisa menjamin dirinya agar bisa terus tumbuh, berkuncup, berkembang dan berbuah.


Dalam diri manusia ada 3 potensi dasar yang harus dirawat secara seimbang agar syakhsiyah Islamiyah bersenyawa dalam diri manusia. Ketiga potensi itu adalah jasadiyah (jasmani), fikriyah (akal) dan maknawiyah (ruhani).

Diantara ketiga potensi itu, yang sering kali dilalaikan oleh kebanyakan manusia adalah potensi maknawiyah yang erat kaitannya dengan agama. Padahal maknawiyah yang sehat mampu menjadi pengendali gerak jasad dan penuntun fikiran manusia menuju kepuasan dan ketenangan batin yang hakiki.

Penguatan maknawiyah bisa diperoleh dalam forum-forum pengajian dan majelis taklim. Namun begitu, hampir semua majelis taklim tidak mengenal tangga-tangga tahapan untuk mencapai syakhsiyah Islamiyah. Bahkan faktanya para ustadz, kyai, penceramah dan mubaligh tidak terlalu ambil pusing dengan dampak dari isi ceramahnya terhadap para pendengarnya. Pokoknya nasehat agama sudah disampaikan. Titik. Adapun penerapannya dalam kehidupan sehari-hari diserahkan sepenuhnya pada semua hadirin. Makanya, jarang sekali ditemukan orang yang syakhsiyah Islamiyahnya tumbuh dan besar dari lingkungan majelis taklim ataupun pengajian umum.

Disinilah letaknya perbedaan output antara pengajian umum dan forum halaqoh. Di dalam forum halaqoh, karakter islami ditumbuhkan, dirawat dan dikembangkan secara bertahap dan berkesinambungan meliputi ketiga potensi manusia. Di halaqoh, selain diisi dengan tausiyah (nasehat) dan taujih (arahan) agama, tersedia juga latihan-latihan beramal yang berat-ringannya disesuaikan dengan kesiapan anggotanya. Insya Allah secara perlahan dan secara manusiawi, profil pribadi muslim akan terbangun setahap demi setahap.

Pada tahap awal, karakter yang ingin dibangun adalah tumbuhnya perangai islami yang asasi dalam diri seorang muslim. Pada saat yang sama ia harus berupaya terlepas dari belenggu kemusyrikan serta memutuskan hubungan dengan siapa saja yang memusuhi Islam. Berikut ini adalah aspek-aspek dasar yang diharapkan bisa tumbuh dalam setiap pribadi muslim, yang terangkum dalam apa yang disebut syakhsiyah Islmaiyah I:

ASPEK AQIDAH
01 Tidak berhubungan dengan jin
02 Tidak meminta tolong kepada orang yang berlindung kepada jin
03 Tidak meramal nasib dengan melihat telapak tangan
04 Tidak menghadiri majelis dukun dan peramal
05 Tidak meminta berkah dengan mengusap-usap kuburan
06 Tidak meminta tolong kepada orang yang telah dikubur (mati)
07 Tidak bersumpah dengan selain Allah swt
08 Tidak tasya’um (merasa sial karena melihat atau mendengar sesuatu)
09 Mengikhlaskan amal untuk Allah swt
10 Mengimani rukun iman
11 Beriman kepada nikmat dan siksa kubur
12 Mensyukuri nikmat Allah swt saat mendapatkan nikmat
13 Menjadikan syetan sebagai musuh
14 Tidak mengikuti langkah-langkah syetan
15 Menerima dan tunduk secara penuh kepada Allah swt dan tidak bertahkim kepada selain yang diturunkan-Nya


ASPEK IBADAH
01 Ihsan dalam Thaharah (bersuci)
02 Ihsan dalam shalat
03 Hafal Surat Adh-Dhuha s.d An-Naas
04 Membayar zakat
05 Berpuasa fardhu
06 Niat melaksanakan haji
07 Komitmen dengan adab tilawah
08 Menjauhi dosa besar
09 Memenuhi nadzar
10 Menyebar luaskan salam
11 Menahan anggota tubuh dari segala yang haram
12 Tidak sungkan adzan
13 Bersemangat untuk shalat berjamaah
14 Bersemangat untuk berjamaah di masjid
15 Qiyamul-Lail minimal sekali sepekan
16 Berpuasa sunnat minimal sehari dalam sebulan
17 Khusyu’ dalam membaca Alquran
18 Hafal satu juz Alquran
19 Komitmen dengan wirid tilawah harian
20 Berdoa pada waktu-waktu utama
21 Menutup hari-harinya dengan bertaubat dan beristighfar
22 Berniat pada setiap melakukan perbuatan
23 Merutinkan dzikir pagi hari
24 Merutinkan dzikir sore hari
25 Dzikir kepada Allah swt dalam setiap keadaan
26 Beriktikaf pada bulan Ramadhan, jika mungkin
27 Mempergunakan siwak
28 Senantiasa menjaga kondisi Thaharah, jika mungkin


ASPEK AKHLAQ
01 Tidak takabbur (sombong)
02 Tidak imma’ah (asal ikut-ikutan, tidak punya prinsip)
03 Tidak dusta
04 Tidak mencaci-maki
05 Tidak mengadu domba
06 Tidak ghibah (membicarakan kejelekan orang lain)
07 Tidak menjadikan orang buruk sebagai teman/sahabat
08 Memenuhi janji
09 Birrul Walidain (berbakti pada orang tua)
10 Memiliki ghirah (rasa cemburu) pada keluarganya
11 Memiliki ghirah (rasa cemburu) pada agamanya
12 Tidak memotong pembicaraan orang lain
13 Tidak mencibir dengan isyarat apapun
14 Tidak menghina dan meremehkan orang lain
15 Menyayangi yang kecil
16 Menghormati yang besar
17 Menundukkan pandangan
18 Menyimpan rahasia
19 Menutupi dosa orang lain


ASPEK HARTA DAN KEKAYAAN
01 Menjauhi sumber penghasilan haram
02 Menjauhi riba
03 Menjauhi judi dengan segala macamnya
04 Menjauhi tindak penipuan
05 Membayar zakat
06 Tidak menunda dalam melaksanakan hak orang lain
07 Menabung, meskipun sedikit
08 Menjaga fasilitas umum
09 Menjaga fasilitas khusus


ASPEK KEILMUAN
01 Baik dalam membaca dan menulis
02 Memperhatikan hukum-hukum tilawah (kaidah membaca Al-Quran)
03 Mengkaji marhalah Makkiyah (fase kehidupan Nabi Muhammad ketika di
Makkah) dan menguasai karakteristiknya
04 Mengenal 10 sahabat yang dijamin masuk surga
05 Mengetahui hukum Thaharah
06 Mengetahui hukum Shalat
07 Mengetahui hukum Puasa
08 Menyadari adanya peperangan zionisme terhadap Islam
09 Mengetahui ghazwul fikri (perang pemikiran)
10 Mengetahui organisasi-organisasi terselubung
11 Mengetahui bahaya pembatasan kelahiran
12 Berpartisipasi dalam kerja-kerja jama’i
13 Membaca satu juz tafsir Alquran (juz 30)
14 Menghafalkan separuh Arba’in (1-20)
15 Menghafalkan 20 hadits pilihan dari Riyadhush-Shalihin
16 Membaca sesuatu yang di luar spesialisasinya 4 jam setiap pekan
17 Memperluas wawasan diri dengan sarana-sarana baru
18 Menjadi pendengar yang baik
19 Mengemukakan pendapatnya


ASPEK KESEHATAN
01 Bersih badan
02 Bersih pakaian
03 Bersih tempat tinggal
04 Komitmen dengan olah raga 2 jam setiap pekan
05 Bangun sebelum fajar
06 Memperhatikan tata cara baca yang sehat
07 Mencabut diri dari merokok
08 Komitmen dengan adab makan dan minum sesuai dengan sunnah
09 Tidak berlebihan dalam begadang
10 Menghindari tempat-tempat kotor dan polusi
11 Menghindari tempat-tempat bencana (bila masih di luar area)


ASPEK KESUNGGUHAN JIWA
01 Menjauhi segala yang haram
02 Menjauhi tempat-tempat maksiat
03 Menjauhi tempat-tempat bermain yang haram


ASPEK TATA KELOLA
01 Tidak menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga yang menentang Islam
02 Memperbaiki penampilannya


ASPEK MANAJEMEN WAKTU
01 Bangun pagi
02 Menghabiskan waktu untuk belajar


ASPEK KEMANFAATAN BAGI YANG LAIN
01 Melaksanakan hak kedua orang tua
02 Membantu yang membutuhkan
03 Memberi petunjuk orang tersesat
04 Ikut berpartisipasi dalam kegembiraan
05 Menikah dengan pasangan yang sesuai

Wallahu’alam

Syakhsiyah Islamiyah II

Kepribadian yang Islami tidaklah muncul seketika. Ia adalah hasil tempaan yang memakan waktu proses yang relatif cukup lama. Bagaikan lukisan berkelas, yang merupakan perpaduan antara ide, imaginasi, kecerdasan dan cita rasa yang tinggi. Jadi, membina seseorang agar pada dirinya tumbuh kepribadian yang islami, tidaklah sesederhana menggoreskan cat minyak di atas kanvas putih. Perlu waktu dan kesabaran.

Syakhsiyah Islamiyyah I seharusnya menyatu dan bersenyawa pada pribadi setiap orang yang mengaku muslim. Tetapi sayang, ia tidak bisa diwariskan dari ayah kepada anaknya. Ia harus diraih dengan susah payah, bahkan kadang harus memaksa diri menjadikan kebiasaan baik yang melekat dalam diri kita. Karenanya, menanam dan menumbuhkan karakter Islami pada diri sendiri maupun orang lain harus dimulai dari kesabaran, dilalui dengan kesabaran dan diakhiri dengan kesabaran.

Aspek-aspek syakhsiyah Islamiyah I, sebagaimana telah dipaparkan pada tulisan yang lalu, sesungguhnya baru mengambil sebagian kecil dari nilai-nilai kemuliaan yang ada di dalam Islam. Ia boleh ditambah, tapi tak boleh dikurangi. Ia boleh ditambah dengan nilai-nilai Islam yang belum sempat tertulis disana, asalkan tetap mengacu kepada Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Setelah itu hanyutkanlah diri kita kedalam laju aliran proses pembenahan diri yang bermuara pada profil pribadi muslim yang paling asasi itu.

Sebagian kaum muslimin mungkin telah salah menilai. Dikiranya uraian syakhsiyah Islamiyah disana itu sudah menjadi blueprint paling akhir. Bahkan sebagiannya menganggap itu semua bagaikan impian yang terlalu melangit. Padahal itu baru ukuran minimal. Ironisnya, banyak keluarga muslim yang kurang peka menumbuhkan aspek-aspek kepribadian itu dalam diri anak-anak mereka. Mereka, keluarga-keluarga muslim itu, umumnya sudah cukup merasa puas dengan nilai raport anaknya yang tidak ada warna merah. Atau kepuasan mereka hanya terhenti manakala anak-anak mereka menjadi juara kelas. Disisi lain ada juga orang tua yang bangga dan puas mendapatkan menantu yang ”hanya” rajin sholat, sudah punya penghasilan, santun dan ramah. Definisi ke-sholih-an yang mereka pahami rupanya hanya sampai disitu. Padahal itu belum apa-apa. Masih banyak aspek-aspek kesholihan lainnya yang perlu ditanamkan dan ditumbuhkan. Dan itu bukan pekerjaan ringan. Men-delete karakter lama dan meng-install karakter baru (syakhsiyah Islamiyah I) yang islami bukan hal yang mudah. Itulah tanda-tanda betapa asingnya nilai-nilai Islam dari benak mereka.

Ada sebuah ilustrasi untuk menggambarkan ”kesederhanaan” mereka. Seorang tukang batu sedang menyusun batu, lalu ia ditanya ”sedang apa engkau?”. ”Aku sedang menata batu”, jawabnya ringan. Cukup sampai disitu. Kita semua sepakat bahwa jawaban itu tidak salah. Lalu ada lagi seorang tukang batu yang lain, persis melakukan hal yang sama yaitu menyusun batu, lalu ia ditanya, ”sedang apa engkau?”. Ia menjawab singkat, ”aku sedang membangun tembok”. Kita semua pasti setuju bahwa jawaban itupun logis dan masuk akal. Tetapi kita bisa lihat bahwa wawasan tukang batu yang kedua ini lebih baik daripada yang pertama. Lalu ada lagi tukang batu ketiga, ia juga lagi menyusun batu, lalu ditanya dengan pertanyaan yang sama, ”sedang apa engkau?”. Ia menukas, ”aku sedang membangun sebuah rumah”. Lagi-lagi kita semua tidak bisa menyalahkan jawaban logis itu. Hanya saja, coba perhatikan lebih teliti variasi jawaban-jawaban tadi. Bobotnya tidak sama dan sangat jelas berbeda. Tukang batu ketiga tampak lebih berbobot, lebih berilmu, lebih berwawasan, punya skema berfikir, dan dia mengerti cara merealisasikan impiannya secara bertahap. Insya Allah dia sudah pernah melewati masa-masa sebagai tukang batu yang lugu sebagaimana tukang batu kesatu. Dan tentunya ia pun sudah punya pengalaman menjadi tukang batu yang sedikit cerdas sebagaimana tukang batu kedua. Sekarang, ia sedang melewati waktunya sebagai tukang batu ketiga yang lebih kaya pengalaman dan wawasan.

Ibarat hendak membangun gedung, aspek-aspek yang tercantum pada tulisan syakhsiyah Islamiyah I baru sebatas menata batu bata. Malah ada yang berpendapat lebih ekstrim. Bukan menata batu bata katanya, melainkan baru mencari batu bata yang berkualitas yang bisa dijadikan tembok dan rumah. Wallahu’alam.

Sebagai kelanjutan dari tulisan yang lalu, dan sebagai pelengkap gambara ini, maka berikut ini akan diuraikan aspek-aspek profil pribadi muslim tahap selanjutnya (Syakhsiyah Islamiyah II). Sekalipun demikian, semua ini masih tetap merupakan bagian kecil dari kekayaan nilai-nilai kemuliaan yang ada dalam Islam.






ASPEK AQIDAH
01 Tidak mengkafirkan seorang muslim
02 Tidak mendahulukan makhluk atas Khaliq
03 Mengingkari orang-orang yang memperolok-olokkan ayat-ayat Allah swt dan
tidak bergabung dalam majelis mereka.
04 Mengesakan Allah swt dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah
05 Tidak menyekutukan Allah swt, tidak dalam asma’-Nya, sifat-Nya dan af’al-Nya
06 Tidak meminta berkah dengan mengusap-usap kuburan
07 Mempelajari madzhab-madzhab Islam yang berkaitan dengan Asma dan Sifat dan mengikuti madzhab salaf
08 Mengetahui batasan berwala dan berbara’
09 Bersemangat untuk berteman dengan orang-orang shalih dari sisi-sisi kedekatan dan peneladanan
10 Meyakini terhapusnya dosa dengan taubat nashuha
11 Memprediksikan datangnya kematian kapan saja
12 Meyakini bahwa masa depan ada di tangan Islam
13 Berusaha meraih rasa manisnya iman
14 Berusaha meraih rasa manisnya ibadah
15 Merasakan adanya para malaikat mulia yang mencatat amalnya
16 Merasakan adanya istighfar para malaikat dan doa mereka



ASPEK IBADAH
01 Melakukan qiyamul-lail minimal satu kali dalam satu pekan
02 Bersedekah
03 Berpuasa sunnat minimal dua hari dalam satu bulan
04 Haji jika mampu
05 Banyak bertaubat
06 Memerintahkan yang ma’ruf (kebaikan)
07 Mencegah yang munkar (kerusakan)
08 Ziarah kubur untuk mengambil ‘ibrah
09 Merutinkan ibadah-ibadah sunnah rawatib
10 Khusyu’ dalam shalat
11 Menjaga organ tubuh dari dosa
12 Khusyu’ saat membaca Alquran
13 Sekali khatam Al-Quran setiap dua bulan
14 Banyak dzikir kepada Allah swt disertai hafalan dzikir yang mudah-mudah
15 Banyak berdoa dengan memperhatikan syarat-syarat dan tatakrama-nya
16 Selalu memperbaharui niat dan meluruskannya
17 Senantiasa bertafakkur
18 Beri’tikaf satu malam pada setiap bulannya


ASPEK AKHLAQ
01 Tidak inad (membangkang)
02 Tidak banyak mengobrol (gosip)
03 Sedikit bercanda
04 Tidak berbisik dengan sesuatu yang batil
05 Tidak hiqd (menyimpan kemarahan)
06 Tidak hasad (dengki)
07 Memiliki rasa malu berbuat kesalahan
08 Menjalin hubungan baik dengan tetangga
09 Tawadhu tanpa merendahkan diri
10 Pemberani
11 Menjenguk orang sakit
12 Komitmen dengan adab meminta izin
13 Mensyukuri orang yang berbuat baik kepadanya
14 Menyambung rahim (Silaturrahim)
15 Komitmen dengan tata krama sebagai pendengar
16 Komitmen dengan adab berbicara
17 Memuliakan tamu
18 Menjawab salam
19 Berhati lembut
20 Merendahkan suara
21 Menebar senyum di depan orang lain
22. Ramah serta sopan dan santun



ASPEK HARTA DAN KEKAYAAN
01 Bekerja dan berpenghasilan
02 Berusaha memiliki spesialisasi
03 Sedang dalam nafkah
04 Mengutamakan produk-produk Islam
05 Menjaga kepemilikan khusus
06 Tidak berambisi menjadi pegawai negeri
07 Mengutamakan spesialisasi langka yang penting dan dinamis
08 Hartanya tidak pergi ke pihak non Muslim
09 Berusaha untuk memperbaiki kualitas produk dengan harga sesuai


ASPEK KEILMUAN
01 Mengaitkan antara Al-Quran dengan realita
02 Mengkaji marhalah Madaniyyah (fase kehidupan Nabi Muhammad saw di
Madinah) dan menguasai karakteristiknya
03 Mengenal sirah 20 sahabat yang syahid
04 Mengetahui hukum Zakat
05 Mengetahui fiqih Haji
06 Mengetahui sisi-sisi syumuliyyatul (kesempurnaan) Islam
07 Mengetahui problematika kaum muslimin internal dan eksternal
08 Mengetahui apa kerugian dunia akibat kemunduran kaum muslimin
09 Mengetahui urgensi kesatuan kaum muslimin
10 Memahami amal jama’i dan taat
11 Mengetahui bagaimana proses berdirinya negara Israel
12 Hafal dan bertajwid tiga juz Al quran (28-30)
13 Membaca tafsir dua juz Al quran (28-29)
14 Mengahafalkan keseluruhan Arbain (20 + 20)
15 Menghafal 50 Riyadhush-Shalihin (20 + 30)
16 Membaca tujuh jam setiap pekan di luar spesialisasinya
17 Mengetahui arah-arah pemikiran Islam kontemporer
18 Mengenali hal-hal baru dari problematika kekinian
19 Memiliki kemampuan mengulas apa yang ia baca
20 Berpartisipasi dalam melontarkan dan memecahkan masalah

ASPEK KESEHATAN
01 Membersihkan peralatan makan dan minumnya
02 Mampu mempersiapkan makanan
03 Mengikuti petunjuk-petunjuk kesehatan dalam tidur dan bangun tidur
semampunya
04 Mengobati diri sendiri
05 Tidak mempergunakan obat tanpa meminta petunjuk
06 Menjauhi makanan-makanan yang diawetkan dan mempergunakan minuman-
minuman alami
07 Mengatur waktu-waktu makan
08 Tidak berlebihan mengkonsumsi lemak
09 Tidak berlebihan mengkonsumsi garam
10 Tidak berlebihan mengkonsumsi gula
11 Memilih produsen-produsen makanan
12 Tidur 6 - 8 jam dan bangun sebelum fajar
13 Berlatih atau senam 10 - 15 menit setiap hari
14 Berjalan kaki 2 - 3 jam setiap pekan



ASPEK KESUNGGUHAN JIWA
01 Selalu menyertakan niat jihad dalam segala aktivitas
02 Menjadikan dirinya bersama orang baik
03 Menyumbangkan sebagian hartanya untuk amal islami
04 Sabar atas bencana
05 Menyesuaikan perbuatan dengan ucapan
06 Menerima dan memikul beban dakwah
07 Memerangi dorongan-dorongan nafsu
08 Tidak berlebihan mengkonsumsi yang mubah
09 Memakan apa yang disuguhkan dengan penuh keridhaan



ASPEK TATA KELOLA
01 Shalat menjadi barometer manajemen waktunya
02 Teratur di dalam rumah dan kerjanya
03 Menertibkan ide-ide dan pikiran-pikirannya
04 Bersemangat memenuhi janji-janji kerja
05 Memberitahukan gurunya problematika-problematika yang muncul


ASPEK MANAJEMEN WAKTU
01 Menjaga janji-janji umum dan khusus
02 Mengisi waktunya dengan hal-hal yang berfaedah dan bermanfaat
03 Memperhatikan adab Islam dalam berkunjung dan mempersingkat pemenuhan
hajatnya


ASPEK KEMANFAATAN BAGI YANG LAIN
01 Komitmen dengan adab Islam di rumah
02 Melaksanakan hak-hak pasangannya (suami atau istri)
03 Melaksanakan hak-hak anak
04 Memberi hadiah kepada tetangga
05 Membantu yang membutuhkan
06 Menolong yang terzhalimi
07 Bersemangat mendakwahi istrinya, anak-anaknya, dan kerabatnya
08 Mendoakan yang bersin
09 Membantu istrinya
10 Memberikan pelayanan umum karena Allah swt
11 Memberikan sesuatu dari yang dimiliki
12 Mendekati orang lain (untuk didakwahi)
13 Mendorong orang lain berbuat baik
14 Membantu yang kesulitan
15 Membantu yang terkena musibah
16 Berusaha memenuhi hajat orang lain
17 Memberi makan orang lain

Wallahu’alam.

Menilai manusia.

Menilai manusia
Menilai orang lain sesungguhnya merupakan perilaku yang telah menyatu pada fitrah setiap manusia dari sejak kecil hingga dewasa, bahkan sepanjang umurnya. Secara sadar ataupun tidak, saat berinteraksi dengan orang lain, seketika itu juga benak kita akan menilai lawan interaksi kita tersebut. Sejumlah faktor yang bisa memunculkan penilaian atas diri orang lain antara lain bisa berupa: penampilan, cara berpakaian, merk busana, paras wajah, gambar tato dikulit, gelang tangan, gaya bicara, bahasa tubuh, tingkat tanggung jawab, tingkat komitmen, track record, latar belakang pendidikan, kedudukan, salary/harta, tingkat perhatian/empati, sikap ataupun cara penyelesaian terhadap suatu persoalan, dan banyak ragam lagi faktor yang bisa dinilai. Jadi, aktivitas menilai orang lain bukanlah hal yang asing ataupun aneh dan tabu. Di rumah, di lingkungan tempat tinggal, di sekolah, di kampus, di perusahaan, di instansi pemerintah baik yang departemen maupun yang non departemen, bahkan hampir didalam semua institusi formal, yang namanya mekanisme fit and proper test lazim dilakukan pada sejumlah orang kandidat dalam rangka promosi jabatan ataupun sekedar rekrutment karyawan atau anggota baru. Semua itu tak lain adalah bentuk aktifitas menilai manusia yang dilakukan oleh manusia yang lain. Sebuah contoh kejadian menilai manusia bisa dibaca pada kisah berikut ini (silakan klik disini).
Menilai manusia adalah keniscayaan. Itulah bentuk ikhtiar manusiawi yang bisa dilakukan. Namun begitu, ada sebagian orang yang berfikir dan berpandangan bahwa mestinya yang berhak menilai seseorang hanyalah Tuhan sang pencipta manusia tersebut. Tepat sekali!! Namun kita sama sekali tidak tahu apa-apa tentang penilaian Tuhan terhadap seseorang. Tak ada wahyu lagi yang turun setelah Nabi Muhammad SAW. Sikap seperti ini cenderung membuat orang untuk pasif dan enggan menerima penilaian atas diri seseorang meskipun penilaian itu dilakukan oleh banyak orang dan berdasarkan data temuan yang akurat. Padahal pada saat yang sama dirinya sama sekali tidak tahu apa-apa nilai dari Tuhan terhadap orang tersebut. Selanjutnya, tanpa disadari dan akibat ketidaktahuannya, akan mendorongnya untuk memunculkan pembenaran demi pembenaran atas pilihan tindakan yang sebenarnya sarat akan muatan subyektifitas dirinya dalam menilai dan didominasi oleh perasaan (bukan lagi oleh logika/nalar yang obyektif). Ujung-ujungnya, itulah cara yang dia pilih dalam rangka memberi nilai. Suatu cara menilai yang menutup semua pandangan dan masukan dari luar dirinya. Dalam situasi seperti itu, apakah bisa dijamin nyawa keadilan dan rasionalitas masih tertinggal disana?

Dalam lingkup dakwah, khususnya dalam suatu halaqoh (yang tentu saja di dalamnya terdiri dari manusia-manusia), seorang da’i murabbi memerlukan proses taqwim dakwah (penilaian atas diri seseorang sebagai evaluasi dakwah) secara berkesinambungan terhadap para mutarobbi-nya ataupun terhadap orang lain yang punya kaitan masalah dengan mutarobbi-nya, dalam rangka komitmen Islam secara umum. Proses taqwim ini memiliki dua bentuk yaitu jarh (menilai sisi kelemahan) atau ta’dil (menilai sisi kebaikan), atau bahkan terkadang mencakup keduanya, yang disampaikan secara garis besar atau secara rinci. Proses taqwim bertujuan untuk mengetahui ahliyyah (kapabilitas) seseorang. Proses ini juga bertujuan untuk mengevaluasi pencapaian muwashafat pada diri mutarobbi ataupun orang lain yang punya kaitan masalah dengan mutarobbi, misalnya dalam hal memilih pasangan yang sesuai untuk mutarobbi; atau misalnya ketika akan memilih seseorang untuk didudukkan pada posisi jabatan tertentu.

Untuk mengetahui tingkat ahliyyah (kapabilitas) seseorang, diperlukan adanya proses taqwim yang serius, jujur, obyektif, jauh dari ifrath (terlalu memudahkan) dan tafrith (terlalu menyulitkan), dan memiliki tingkat akurasi yang baik. Karenanya, peran pihak yang lebih dekat dan tahu kepada seseorang yang sedang dievaluasi dan diseleksi harus lebih diutamakan dibandingkan dengan pihak yang jauh darinya. Penilaian itu hendaknya dilakukan secara jama’i melalui mekanisme syura, agar tingkat akurasi penilaiannya lebih terjamin.

Jiwa yang stabil

“Sungguh hati ini berduka dan air mataku mengalir karena kepergianmu. Akan tetapi aku tidak akan mengucapkan selain apa yang Allah ridhoi.” Itulah kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Rasulullah saw. saat Ibrahim, puteranva,meninggal dunia.
Di lain kesempatan, Rasulullah saw. melihat seorang ibu yang sedang meraung-raung menangisi kematian anaknya. Rasulullah saw. menasihatinya, “Bersabarlah dan carilah ridho Allah." Dengan nada marah – karena tidak menyadari bahwa yang memberinya nasihat adalah Rasulullah saw,- si wanita itu menyahut, “Kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan." Setelah sadar siapa sesungguhnya orang yang menasihatinya itu, segera ia menghampiri Rasulullah saw. seraya mengatakan, “Saya tadi tidak tahu bahwa yang menasihati saya itu adalah engkau.” Jawaban Rasulullah saw. adalah, “Sabar itu justru pada benturan pertama."


Apa yang diperankan oleh Rasulullah saw. itu adalah gambaran jiwa yang stabil: sabar, penuh perhitungan, pengendalian penuh terhadap emosi. Dan dalam nasihatnya kepada ibu yang kehilangan anaknya itu beliau menjelaskan bahwa kesabaran yang sebenarnya adalah kemampuan mengendalikan perasaan, emosi sejak saat-saat pertama terjadi ujian itu.

Antara kita dan permasalahan ada ruang yang bebas kita isi. Ruang itu bernama hati. Jika hati dibiarkan kosong, atau diisi dengan nilai-nilai yang busuk seperti iri, dengki, cinta dunia, persaingan tidak sehat, kemusyrikan, maka respon terhadap peramasalahan-permasalahan yang muncul adalah kegelisahan, kecemasan, bahkan frustrasi. Inilah orang-orang yang jiwanya labil.

Sebaliknya, manakala ruang hati itu diisi dengan iman, maka respon-respon terhadap problematika hidup – apa pun bentuknya- selalu positif. Inilah ciri orang yang jiwanya stabil. Allah swt. meng-gambarkan orang seperti itu dengan firman-Nya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Qs. 6:82).

Orang yang beriman selalu mengembalikan segala persoalan yang dihadapinya dalam hidup ini kepada Allah swt.: "Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan; “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun" (sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhkan kami kepada-Nya akan kembali). (Qs. 2:155-156)

Itulah orang-orang mukmin sejati. Diri dan kehidupannya tidak akan dikuasai atau dikendalikan oleh emosi, stres dan depresi. Tidak ada rasa takut yang menghantuinya. Firman Allah swt.: "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada akan merasa khawatir dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (Qs. 10:62-63). Bahkan hati mereka selalu dipenuhi ketenteraman dan kedamaian. “Ingatlah bahwa dengan dzikir kepada Allah hati-hati menjadi tenang.” (Qs. Ar-Ra’du 28).

Mengomentari ayat di atas, Ustadz Sayyid Qutuhb mengatakan, “Hati-hati mereka menjadi tenang sebab merasakan adanya hubungan dengan Allah, nyaman berada di dekat-Nya, merasa aman dalam lindungan-Nya. Ia merasa tenteram karena jauh dari kegalauan akibat menyendiri dan dari kebingungan perjalanan. Dengan iman mereka mengetahui hikmah dari penciptaan, permulaan, dan akhir kehidupan ini. Mereka merasa tenteram karena merasakan adanya perlindungan dari segala yang akan menyakitinya dan dari segala bahaya. Semua itu hanya akan terjadi manakala Allah memperkenankan. Dan apabila ujian itu tiba ia menerimanya dengan penuh rasa ridho dan sabar. Ia merasa tenteram karena mendapat rahmat-Nya berupa hidayah, rezeki, dan perlindungan-Nya di dunia dan akhirat. Ketenteraman -akibat mengingat Allah- yang ada pada hati orang-orang beriman itu merupakan hakikat yang dalam yang hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang hatinya yang secara langsung berinteraksi dengan iman, hingga terhubung kepada Allah, mereka dapat merasakannya. Namun mereka tidak dapat melukiskannya dengan kata-kata kepada orang lain yang tidak merasakannya. Sebab perasaan tenang itu tidak dapat ditransfer dengan kata-kata. Ia mengalir dalam hati dan kemudian menyebabkan hati itu merasa nyaman, damai, dan tenteram. Ia merasa bahwa di alam semesta ini ia tidaklah menyendiri tanpa teman. Sebab segala yang ada di sekitarnya adalah teman. Sebab mereka semua adalah karya Allah swt."
Ia melanjutkan, “Tidak ada orang yang lebih celaka di muka bumi ini selain dari orang yang tidak memiliki ketenteraman jiwa dalam kedekatan dengan Allah. Tidak ada orang yang lebih celaka dari orang yang terputus hubungannya dengan alam sekitar akibat ia memutuskan hubungan dengan pencipta alam itu. Tidak ada yang lebih celaka dari orang yang hidup tanpa tahu mengapa ia ada? Mengapa ia pergi? Mengapa ia mengalami segala yang ia rasakan dalam hidup ini! Tidak ada yang lebih celaka dari orang iang berjalan di muka bumi dalam keadaan serba takut oleh segala sesuatu akibat tidak adanya hubungan antara dirinya dengan segala sesuatu yang ada di alam ini. Tidak ada yang lebih celaka di dalam kehidupan ini selain dari orang yang menempuh jalan sendirian terlunta-lunta di padang yang luas. Ia harus berjuang sendirian tanpa penolong, tanpa penuntun, dan tanpa pembantu.

Bagaimanapun ada saat-saat dalam kehidupan ini dimana seseorang tidak mungkin bertahan kecuali jika ia bersandar kepada Allah dan merasa tenteram dengan perlindungannya, betapapun ia memiliki kekuatan, keteguhan, dan kekokohan. Dalam kehidupan ini ada saat-saat di mana segala kekuatan itu tidak punya makna sama sekali. Lalu tidak ada yang mampu bertahan selain orang yang merasa tenteram dengan .Allah swt. ”Ingatlah bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tenang."

Orang yang beriman selalu melibatkan Allah swt. dalam menghadapi segala permasalahan. Jadi antara dirinya dengan permasalahan, sebesar apa pun, ada Allah yang Maha Besar dan mampu menyelesaikan segala persoalan. Karenanya orang yang beriman selalu berpikir positif, berbicara positif dan bertindak positif. Rasulullah saw. bersabda:

“Sungguh mengagumkan urusan orang beriman itu. Sesungguhnya segala urusannya baginya menjadi kebaikan. Jika ia menerima karunia (hal-hal vang menggembirakan) ia bersyukur, maka hal itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika ia mendapatkan musibah ia bersabar. Dan hal itu menjadi kebaikan bagi dirinya." (Al-Bukhari)

Bila dalam ayat-ayat dan hadits di atas dijelaskan bahwa keimanan yang hakiki akan melahirkan ketenteraman maka sebaliknya, kegelisahan, keresahan, depresi, stres, atau frustasi mengindikasilian adanya cacat atau error dalam keimanan. Cacat-cacat inilah yang menyebabkan hati tidak mampu merespon rangsangan-rangsangan secara positif. Oleh karena itu, setelah menegaskan bahwa manusia memiliki sifat dasar berkeluh-kesah, Allah swt. memaparkan sikap dan perilaku yang mampu menekan labilitas jiwa agar menjadi stabil dan mampu bersikap proporsional. Firman-Nya;

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). Dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan. Dan orang-orang yang takut terhadap azab Rabb-nya. Karena sesungguhnya azab Rabb mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya). Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. (Qs. 70:19-34)

Di sinilah arti penting dari proses tazkiyatunnafs (pensucian jiwa) yang berkesinambungan. Stabilitas jiwa seseorang bukanlah ditandai dengan kehidupan yang datar seperti tidak ada gejolak perasaan atau sekedar kekecewaan. Bukan itu. Stabilitas jiwa seseorang diukur oleh kemampuan mengelola jiwa dalam merespon persoalan-persoalan kehidupan. Sehingga kehidupannya dikomandani oleh sabar, tawakkal, dan syukur dan bukannya oleh hasrat-hasrat liar. Dalam hal ini Allah menegaskan: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, (Qs. 91: 7-9).

Orang yang jiwanya stabil dengan iman dan selalu disucikan dengan ibadah akan menjadi pemenang dalam kehidupan dunia dan meraih sukses hakiki di akhirat: mendapat ridho dan sorga-Nya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Qs. 89:27-30). Allahu a’lam.