Senin, 25 April 2011

ikhlas dan beberapa perusaknya

Pentingnya amalan hati

Secara umum amalan hati lebih penting dan ditekankan daripada amalan lahiriyah. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mengatakan:"Bahwasanya ia meru pakan pokok keimanan dan landasan utama agama, seperti mencintai Allah Subhannahu wa Ta'ala dan rasulNya, bertawakal kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , ikhlas dalam menjalankan agama semata-mata karena Allah Subhannahu wa Ta'ala , bersyukur kepadaNya, bersabar atas keputusan atau hukumNya, takut dan berharap kepadaNya,.. dan ini semua menurut kesepakatan para ulama adalah perkara wajib (Al fatawa 10/5, juga 20/70)

Imam Ibnu Qayyim juga pernah berkata: "Amalan hati merupakan hal yang pokok dan utama, sedangkan anggota badan adalah pengikut dan penyempurna. Sesungguhnya niat ibarat ruh, dan gerakan anggota badan adalah jasadnya. Jika ruh itu terlepas maka matilah jasad. Oleh karena itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan hati lebih penting daripada memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerakan anggota badan (Badai 'ul Fawaid 3/224).

Lebih jauh lagi dalam kitab yang sama beliau menegaskan bahwa perbuatan yang dilakukan anggota badan tidak ada manfaatnya tanpa amalan hati, dan sesungguhnya amalan hati lebih fardhu (lebih wajib) bagi seorang hamba daripada amalan anggota badan.

Kedudukan Ikhlas

Ikhlas merupakan hakikat dari agama dan kunci dakwah para rasul Shallallaahu 'alaihi wa Salam .
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. 98:5)
Juga firmanNya yang lain, artinya: "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya." (QS. 67:2)
Berkata Al Fudhail (Ibnu Iyadl, penj), makna dari kata ahsanu 'amala (lebih baik amalnya) adalah akhlasuhu wa Ashwabuhu, yang lebih ikhlas dan lebih benar (sesuai tuntunan).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu beliau berkata: 'Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Aku adalah Tuhan yang tidak membutuhkan persekutuan , barang siapa melakukan suatu per-buatan yang di dalamnya menyekutukan Aku dengan selainKu maka Aku tinggalkan dia dan juga sekutunya." (HR. Muslim).

Oleh karenanya suatu ketaatan apapun bentuknya jika dilakukan dengan tidak ikhlas dan jujur terhadap Allah, maka amalan itu tidak ada nilainya dan tidak berpahala, bahkan pelakuknya akan menghadapi ancaman Allah yang sangat besar. Sebagaimana dalam hadits, bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari kiamat nanti adalah orang yang mati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut pemberani. Orang kedua yang diadili adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta mempelajari Al Qur'an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori' atau alim. Dan orang ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia berinfak dengan harta tersebut akan tetapi tujuannya agar disebut sebagai orang yang dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan kedalam Neraka. (na'udzu billah min dzalik).

Pengertian Ikhlas

Ada beberapa pengertian ikhlas, diantarnya:
pertama, Semata-mata bertujuan karena Allah ketika melakukan ketaatan. kedua, Ada yang mengatakan ikhlas ialah membersihkan amalan dari ingin mencari perhatian manusia. Ketiga, Sebagian lagi ada yang mendefinisikan bahwa orang yang ikhlas ialah orang yang tidak memperdulikan meskipun seluruh penghormatan dan peng-hargaan hilang dari dirinya dan berpindah kepada orang lain,karena ingin memperbaiki hatinya hanya untuk Allah semata dan ia tidak senang jikalau amalan yang ia lakukan diperhatikan oleh orang,walaupun perbuatan itu sepele.

Ditanya Sahl bin Abdullah At-Tusturi, Apa yang paling berat bagi nafsu? Ia menjawab: "Ikhlas, karena dengan demikian nafsu tidak memiliki tempat dan bagian lagi." Berkata Sufyan Ats-Tsauri: "Tidak ada yang paling berat untuk kuobati daripada niatku, karena ia selalu berubah-ubah."

Perusak-perusak Keikhlasan

Ada beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:

1) Riya' ialah memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya. 2) Sum'ah, yaitu beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).3)'Ujub, masih termasuk kategori riya' hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa: "Riya' masuk didalam bab menyekutukan Allah denga makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri-sendiri. (Al fatawaa, 10/277)

Disamping itu ada bentuk detail dari perbuatan riya' yang sangat tersembunyi, atau di sebut dengan riya' khafiy' yaitu:

1)Seseorang sudah secara diam-diam melakukan ketaatan yang ia tidak ingin menampakkannya dan tidak suka jika diketahui oleh banyak orang, akan tatapi bersamaan dengan itu ia menyukai kalau orang lain mendahului salam terhadapnya, menyambutnya dengan ceria dan penuh hormat, memujinya, segera memenuhi keinginannya, diperlakukan lain dalam jual beli (diistimewakan), dan diberi keluasan dalam tempat duduk. Jika itu semua tidak ia dapatkan ia merasa ada beban yang mengganjal dalam hatinya, seolah-olah dengan ketaatan yang ia sembunyikan itu ia mengharapkan agar orang selalu menghormatinya.

2)Menjadikan ikhlas sebagai wasilah (sarana) bukan maksud dan tujuan.
Syaikhul Islam telah memperingatkan dari hal yang tersembunyi ini, beliau berkata: "Dikisahkan bahwa Abu Hamid Al Ghazali ketika sampai kepadanya, bahwa barangsiapa yang berbuat ikhlas semata-mata karena Allah selama empatpuluh hari maka akan memancar hikmah dalam hati orang tersebut melalui lisanya (ucapan), berkata Abu Hamid: "Maka aku berbuat ikhlas selama empat puluh hari, namun tidak memancar apa-apa dariku, lalu kusampaikan hal ini kepada sebagian ahli ilmu, maka ia berkata: "Sesungguhnya kamu ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan ikhlasmu itu bukan karena Allah semata.

Kemudian Ibnu Taymiyah berkata: "Hal ini dikarenakan manusai terkadang ingin disebut ahli ilmu dan hikmah, dihormati dan dipuji manusia, dan lain-lain, sementara ia tahu bahwa untuk medapatkan semua itu harus dengan cara ikhlas karena Allah.Jika ia menginginkan tujuan pribadi tapi dengan cara berbuat ikhlas karena Allah,maka terjadilah dua hal yang saling bertentangan. Dengan kata lain, Allah di sini hanya dijadikan sebagai sarana saja, sedang tujuannya adalah selain Allah.

Yaitu apa yang diisyaratkan Ibnu Rajab beliau berkata: "Ada satu hal yang sangat tersembunyi, yaitu terkadang seseorang mencela dan menjelek-jelekan dirinya dihadapan orang lain dengan tujuan agar orang tersebut menganggapnya sebagai orang yang tawadhu' dan merendah, sehingga dengan itu orang justru mengangkat dan memujinya. Ini merupakan pintu riya' yang sangat tersembunyi yang selalu diperingatkan oleh para salafus shaleh.

Cara-cara mengobati riya'

1)Harus menyadari sepenuhnya , bahwa kita manusia ini semata-mata adalah hamba. Dan tugas seorang hamba adalah mengabdi dengan sepenuh hati, dengan mengharap kucuran belas kasih dan keridhaanNya semata.

2)Menyaksikan pemberian Allah, keutamaan dan taufikNya, sehingga segala sesuatunya diukur dengan kehendak Allah bukan kemauan diri sendiri.

3)Selalu melihat aib dan kekurangan diri kita, merenungi seberapa banyak bagian dari amal yang telah kita berikan untuk hawa nafsu dan syetan. Karena ketika orang tidak mau melakukan suatu amal, atau melakukannya namun sangat minim maka berarti telah memberikan bagian (yang sebenarnya untuk Allah), kepada hawa nafsu atau syetan.

3) Memperingatkan diri dengan perintah-perintah Allah yang bisa memperbaiki hati.

4)Takut akan murka Allah, ketika Dia melihat hati kita selalu dalam keadaan berbuat riya'.

4) Memperbanyak ibadah-ibadah yang tersembunyi seperti qiyamul lail, shadaqah sirri, menagis karena Allah dikala menyandiri dan sebagainya.
5) Membuktikan pengagungan kita kepada Allah, dengan merealisasikan tauhid dan mengamalkannya.

6)Mengingat kematian dan sakaratul maut, kubur dan kedah syatannya, hari akhir dan huru-haranya.

7) Mengenal riya', pintu-pintu masuk dan kesamarannya, sehingga bisa terbebas darinya.

8) Melihat akibat para pelaku riya' baik di dunia maupun di akhirat.

9) Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah dari perbuatan riya'dengan membaca doa:"Ya Allah aku berlindung kepadamu dari berbuat syirik padahal aku mengetahui,dan aku mohon ampun atas apa-apa yang tidak ku ketahui."
Wallahu a'lam bis shawab.

menyikapi perbedaan

“Kita bekerja sama untuk hal-hal yang kita sepakati dan kita saling bertoleransi untuk hal-hal yang tidak kita sepakati.” --Hasan Al-Banna, Majmu’atur Rasaail

Musibah terbesar yang menimpa kaum Muslimin adalah perpecahan. Apa yang membuat kaum Muslimin bisa menang kembali adalah cinta kasih dan persatuan. Umat ini tidak akan pernah menjadi baik kecuali dengan apa yang telah membuat baik generasi pertamanya dahulu. Inilah prinsip dasar dan sasaran penting setiap muslim.


Perbedaan dalam berbagai masalah furu' (masalah cabang) merupakan sesuatu yang niscaya. Mustahil manusia bisa bersatu dalam masalah-masalah tersebut, karena beberapa alasan sebagai berikut:


Perbedaan kapasitas intelektual dalam memahami dan menangkap kedalaman makna-makna dalil serta dalam mengambil keputusan hukum.

Perbedaan keluasan ilmu para ulama. Imam Malik berkata kepada Abu Ja'far, "Sesungguhnya para sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mendatangi berbagai kota, dan setiap kaum memiliki ilmu tertentu. Maka jika seseorang ingin menggiring mereka kepada satu pendapat, niscaya upaya itu hanya akan menimbulkan fitnah."

Perbedaan lingkungan yang antara lain menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pola penerapan hukum. Itulah sebabnya Imam Syafi'i memberikan fatwa lama (qaul qadim) di Iraq kemudian memunculkan fatwa baru (qauljadid) ketika beliau berada di Mesir.

Perbedaan tingkat ketenangan hati dalam menerima suatu riwayat.

Perbedaan dalam menentukan tingkat kekuatan dalil kepada hukum tertentu.

Mengharapkan adanya ijma' dalam masalah furu' adalah mustahil. Bahkan bertentangan dengan tabiat agama (dan kemanusiaan itu sendiri), karena Allah menghendaki aktualitas agama ini abadi dan dapat menyertai semua zaman. Inilah rahasia mengapa agama Islam ditata sedemikian rupa oleh Allah sehingga mudah, fleksibel, bebas dari kebekuan dan ekstrimisme.

Perbedaan-perbedaan itu tidak akan menghambat proses menyatunya hati, saling mencintai dan kerja sama dalam menegakkan kebenaran dan kebaikan. Islam yang universal ini akan sanggup memayungi kita dalam batasan-batasannya yang begitu luas.

Bukankah sebagai Muslim kita suka bertahkim kepada sesuatu kita merasa tenang kepadanya? Bukankah kita dituntut untuk mencintai bagi saudara kita apa yang kita cinta bagi diri kita sendiri? Lantas, mengapa masih harus ada perpecahan? Mengapa kita tidak berusaha untuk saling memahami dalam suasana penuh cinta? Para sahabat Rasulullah Saw juga sering berbeda dalam memutuskan hukum. Tapi adakah itu kemudian memecah belah hati mereka? Sama sekali tidak.

Jika para sahabat saja—yang lebih dekat dengan zaman kenabian dan lebih tahu tentang seluk beluk hukum—masih juga berbeda pendapat, mengapa kita harus saling membunuh untuk suatu perbedaan dalam masalah-masalah sepele? Jika para Imam saja, yang lebih tahu tentang Al-Qur'an dan Sunah, masih saling berbeda dan berdebat, mengapa dada kita tidak selapang mereka dalam mensikapi perbedaan?

Kesadaran itulah yang akan membuat dada kita lebih lapang dalam menghadapi berbagai perbedaan. Setiap kaum memiliki ilmu, dan bahwa pada setiap (jama’ah) da’wah ada sisi benarnya dan ada sisi salahnya. Kita akan selalu mencari sisi yang benar dan berusaha menyampaikan (sisi salahnya) kepada orang lain secara persuasif. Bila kemudian mereka menerima, maka itulah yang lebih baik, dan itu pula yang kita harapkan.

Adapun jika ternyata mereka menolak, sesungguhnya mereka tetap kita anggap sebagai saudara seagama. Kami berharap semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua.

Kita akan menerima adanya perbedaan dan membenci sikap fanatisme terhadap pendapat sendiri. Kita senantiasa berusaha menemukan kebenaran, kemudian membawa masyarakat kepada kebenaran itu dengan cara yang baik dan sikap yang lemah-lembut.*

Selasa, 19 April 2011

Bersyukur Kepada Allah

Bersyukur artinya berterimakasih kepada yang memberi nikmat/hadiah kepada kita melalui hati yang tulus, dengan pujian secara lisan, dan perbuatan yang menyenangkan si pemberi nikmat tersebut.

Jika kita mendapat kurnia dari Allah, hendaklah kita ucapkan “Alhamdulillah” (segala puji bagi Allah).

Ada empat perkara, barangsiapa memilikinya Allah akan membangun untuknya rumah di surga, dan dia dalam naungan cahaya Allah yang Maha Agung. Apabila pegangan teguhnya “Laailaha illallah”. Jika memperoleh kebaikan dia mengucapkan “Alhamdulillah”, jika berbuat salah (dosa) dia mengucapkan “Astaghfirullah” dan jika ditimpa musibah dia berkata “Inna lillahi wainna ilaihi roji’uun.” (HR. Ad-Dailami)

Jika kita bersyukur/berterimakasih atas nikmat Allah, niscaya Allah akan menambah nikmatNya kepada kita. Jika tidak, maka kita akan disiksa olehNya:

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” [Ibrahim 7]

“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman ? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui. “ [An Nisaa’ 147]

Mengapa kita harus bersyukur kepada Allah?

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An Nahl: 78)

“Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur” [Al Mu’minuun 78]

Coba kita renungi diri kita. Siapakah yang telah menciptakan kedua mata kita? Kedua telinga kita? Mulut kita? Kaki dan tangan kita? Allah bukan? Mengapakah kita tidak mau bersyukur?

Sekedar untuk membeli frame dan lensa saja bisa habis jutaan rupiah. Mata kita tentu nilainya jauh di atas itu. Mengapa kita tidak bersyukur?

Saat orang sakit jantung, dia bisa menghabiskan ratusan juta rupiah untuk mengobatinya. Bukankah kita seharusnya bersyukur kepada Allah yang telah memberikan jantung kepada kita secara Cuma-Cuma?

Jika kita amati orang tua kita, anak-anak kita, istri kita, semua itu Allah yang menciptakan.

Begitu pula dengan bumi dan langit beserta seluruh isinya.

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [An Nahl 18]

Oleh karena itulah Luqman menasehati anaknya untuk bersyukur kepada Allah:

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” [Luqman 12]

Untuk bersyukur kepada Allah, hendaknya kita mengucapkan Alhamdulillah sebagaimana hadits yang di atas.

Ucapkan juga dzikir kepada Allah:

“Barangsiapa pada pagi hari berdzikir: Allahumma ashbaha bii min ni’matin au biahadin min khalqika faminka wahdaka laa syariikalaka falakal hamdu wa lakasy syukru.”
(Ya Allah, atas nikmat yang Engkau berikan kepada ku hari ini atau yang Engkau berikan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, maka sungguh nikmat itu hanya dari-Mu dan tidak ada sekutu bagi-Mu. Segala pujian dan ucap syukur hanya untuk-Mu)
Maka ia telah memenuhi harinya dengan rasa syukur. Dan barangsiapa yang mengucapkannya pada sore hari, ia telah memenuhi malamnya dengan rasa syukur.” (HR. Abu Daud no.5075, dihasankan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap kitab Raudhatul Muhadditsin)

“Dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhuma, ia berkata: Ketika itu hujan turun di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu Nabi bersabda: ‘Atas hujan ini, ada manusia yang bersyukur dan ada yang kufur nikmat. Orang yang bersyukur berkata: ‘Inilah rahmat Allah’. Orang yang kufur nikmat berkata: ‘Oh pantas saja tadi ada tanda begini dan begitu’” (HR. Muslim no.243)

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan nikmat yang diberikan oleh Rabbmu, perbanyaklah menyebutnya” (QS. Adh Dhuha: 11)

Hendaknya kita bekerja demi Allah:

“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih. “ [Saba’ 13]

Nabi kerap shalat begitu lama untuk bersyukur kepada Allah. Beliau sering shalat malam/tahajjud dan juga shalat dhuha:

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya jika beliau shalat, beliau berdiri sangat lama hingga kakinya mengeras kulitnya. ‘Aisyah bertanya: Wahai Rasulullah, mengapa engkau sampai demikian? Bukankan dosa-dosamu telah diampuni, baik yang telah lalu maupun yang akan datang? Rasulullah besabda: ‘Wahai Aisyah, bukankah semestinya aku menjadi hamba yang bersyukur?’” (HR. Bukhari no.1130, Muslim no.2820)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Seorang mukmin itu sungguh menakjubkan, karena setiap perkaranya itu baik. Namun tidak akan terjadi demikian kecuali pada seorang mu’min sejati. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu baik baginya” (HR. Muslim no.7692)

Hendaknya kita bertakwa kepada Allah. Artinya menjalankan setiap perintah Allah dan menjauhi larangan Allah:

وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya” (QS. Al Imran: 123)

Salah cara untuk mensyukuri nikmat Allah adalah dengan berterima kasih kepada manusia yang menjadi perantara sampainya nikmat Allah kepada kita. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah” (HR. Tirmidzi no.2081, ia berkata: “Hadits ini hasan shahih”)

Oleh karena itu, mengucapkan terima kasih adalah akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Barangsiapa yang diberikan satu kebaikan kepadanya lalu dia membalasnya dengan mengatakan: ‘Jazaakallahu khayr’ (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh hal itu telah mencukupinya dalam menyatakan rasa syukurnya” (HR. Tirmidzi no.2167, ia berkata: “Hadits ini hasan jayyid gharib”)

Senantiasa Qana’ah atau merasa cukup atas nikmat yang telah Allah berikan:

“Jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi hamba yang paling berbakti. Jadilah orang yang qana’ah, maka engkau akan menjadi hamba yang paling bersyukur” (HR. Ibnu Majah no. 4357, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Lakukan Sujud Syukur:

“Dari Abu Bakrah Nafi’ Ibnu Harits Radhiallahu’anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya jika menjumpai sesuatu yang menggemberikan beliau bersimpuh untuk sujud. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah”(HR. Abu Daud no.2776, dihasankan oleh Al Albani dalam Irwa Al Ghalil)

Berdo’alah:

Allahumma a’inni ‘ala dzukrika wa syukrika wa huni ‘ibadatika
“Ya Allah aku memohon pertolonganmu agar Engkau menjadikan aku hamba yang senantiasa berdzikir, bersyukur dan beribadah kepadamu dengan baik”

Senin, 18 April 2011

bila dakwah tanpa hikmah

Diantara Anugrah Alloh yang dicurahkan kepada umat islam adalah tersebarnya dakwah haq, dakwah salafiyyah, yang alhamdulillah pada dekade terakhir ini telah merambah ke segenap lapisan masyarakat di seluruh penjuru dunia.

Tatkala dakwah mubarokah ini diemban oleh para da’i yang memiliki ilmu, memiliki hikmah, sikap yang santun dalam berdakwah, mereka menjalankan kewajiban dakwah sesuai dengan tuntunan Rosululloh lalu dipraktekan sesuai kemampuan, maka Alloh mendatangkan manfaat dengan sebab mereka dan tersebarlah dakwah salafiyah di seluruh penjuru dunia, dengan akhlak, keilmuan, dan hikmah mereka.

Namun hari-hari ini, dakwah salafiyah menemui batu sandungan yang sangat besar, bukan dari unsur eksternal namun dari diri penerus dakwah ini sendiri, yang mana batu sandungan ini seakan-akan menjadikan dakwah ini jalan ditempat kalau tidak boleh dikatakan berjalan mundur. Munculnya para pengemban dakwah dengan semangat tinggi, membawa manhaj salaf lalu menyampaikannya tanpa hikmah, keras, kaku, beringas, hantam sanahantam sini, memberi gelar pada yang lainnya dengan gelar-gelar yang kita malu untuk mendengarnya dan seabrek fenomena lainnya. Sehingga muncul kesan pada sebagian kalangan bahwa itulah dakwah salaf yang serba kaku dan keras.

Saudaraku para da’i-Rohimakumulloh-……..




Teladanilah Rosululloh dalam semua aspek kehidupannya, dalam aqidah, manhaj, ibadah juga akhlaq dan hikmahnya. Lihatlah bagaimana Rosululloh menghadapi seorang Arab Badui tatkala kencing dimasjid, lihatlah tatkala Aisyah marah saat mendengar orang Yahudi mengucapkan salam kepadanya: " As-Samu alaik ( kebinasaan atasmu )." dan dijawab Aisyah : " semoga engkau yang mendapatkan kebinasaan dan laknat Alloh." Maka Rosululloh malah berkata: " Sebuah kelembutan apabila terdapat pada sesuatu maka akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan mengotorinya."

Resapilah sabda Rosululloh : "Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari."

Lalu lihatlah para Ulama dalam hikmah dan kelembutan mereka saat berdakwah, jangan jauh-jauh, lihatlah syaikh Robi’ bin Hadi al -Madkholi, beliau berkata:

"Banyak orang lalai dari akhlaq-akhlaq yang mulia ini. Dan ini akan memadlorotkan dakwah salafiyah dan memadlorotkan para pengikut dakwah ini karena kelalaian dari akhlaq ini, dan menyuguhkan dakwah tersebut kepada manusia dengan cara yang mereka benci, yang mereka takuti dan yang mereka ngeri terhadapnya berupa kekerasan, kekasaran, dan kebengisan serta yang semisalnya, ini semua akan menghalangi diterimanya dakwah, karena perkara-perkara ini dibenci dalam urusan ini apalagi dalam urusan-urusan agama."

Alangkah benarnya apa yang dikatakan oleh sebagian salaf:

"Kebenaran itu berat, maka jangan diperberat lagi dengan akhlaq yang jelek."

Jangan kalian katakan bahwa ini sikap lembek, tidak tegas dalam manhaj, mumayyi’, plin-plan, da’i pramuka dan seabrek gelar lainnya yang sudah sering kami dengar.

Jangan katakan itu semua, karena konsekuensinya adalah tuduhan itu juga disematkan kepada para ulama semacam syaikh Robi’, Syaikh Abdul Muhsin Al-A’bad, Syaikh Utsaimin, Syaikh bin Baz, Syaikh Al-Albani dan lainnya, bahkan dikhawatirkan itu adalah tuduhan kepada Rosululloh yang mengajarkan kita untuk bersikap lembut dalam berdakwah.

Lalu Lihatlah ! Adakah satu saja orang yang tertarik dengan dakwah salafiyah ini karena sikap keras dan kasar itu? ataukah malah sebaliknya? banyak orang benci?

Renungkanlah wahai saudaraku, marilah kita kembali kepada manhaj Rosululloh dan para ulama Robbani dalam berdakwah yang penuh dengan hikmah demi merajut kembali ukhuwah yang sudah kadung terkoyak. Wallohu ‘alam..

adab menuntut ilmu 2

Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, keluarga, para sahabat dan pengikut setia mereka sampai hari kiamat, Amma ba’du:
Allah telah menjaga pertahanan kaum muslimin dengan mujahidin (orang-orang yang berjihad) dan menjaga syariat Islam dengan para penuntut ilmu, sebagaimana dalam firman-Nya:

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At Taubah:122)
Pada ayat tersebut, Allah membagi orang-orang yang beriman menjadi dua kelompok, mewajibkan kepada salah satunya berjihad fi sabilillah dan kepada yang lainnya mempelajari ilmu agama. Sehingga tidak berangkat untuk berjihad semuanya karena hal ini menyebabkan rusaknya syariat dan hilangnya ilmu, dan tidak pula menuntut ilmu semuanya sehingga orang-orang kafir akan mengalahkan agama ini. Karena itulah Allah mengangkat derajat kedua kelompok tersebut. (Hilyah al ‘Alim al Mu’allim, Salim al Hilaliy hl:5-6)
Yang dimaksud dengan ilmu tersebut adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berupa keterangan dan petunjuk. Jadi ilmu yang dipuji dan disanjung adalah ilmu wahyu, ilmu yang Allah turunkan saja. Sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
“Barangsiapa yang Allah menghendaki padanya kebaikan maka Dia akan menjadikannya mengerti masalah agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda pula:
“Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya berarti ia mengambil nasib (bagian) yang banyak.” (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi)
Sebagaimana telah kita ketahui bahwasanya yang diwariskan oleh para nabi adalah ilmu syariat Allah dan bukan yang lainnya. (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal:11)
Hukum Menuntut Ilmu Syar’i
Menuntut ilmu syar’i adalah fardlu kifayah yaitu apabila telah mencukupi (para penuntut ilmu) maka bagi yang lain hukumnya adalah sunnah, namun bisa juga menjadi wajib bagi tiap orang atau fardlu ‘ain yaitu ilmu tentang ibadah atau muamalah yang hendak ia kerjakan. (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal:21)
Penuntut Ilmu Hendaklah Menghiasi Dirinya Dengan Adab-Adab Sebagai Berikut:
Pertama: Mengikhlaskan Niat Hanya Karena Allah
Hendaklah dalam menuntut ilmu niatnya adalah wajah Allah dan kampong akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
“Barangsiapa menuntut ilmu-yang mestinya untuk mencari wajah Allah-, tiadalah ia mempelajarinya melainkan hanya untuk mendapatkan bagian dari dunia, pasti ia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad dll). Ini adalah ancaman yang keras. (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal :25)
Apabila ilmu telah kehilangan niat yang ikhlas; berpindahlah ia dari ketaatan yang paling afdhal menjadi penyimpangan yang paling rendah. Diriwayatkan dari Sufyan ats Tsauri rahimahullah berkata: “Tiadalah aku mengobati sesuatu yang lebih berat dari niatku.”
Dari Umar bin Dzar bahwasanya ia berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku! Mengapa orang-orang menangis apabila ayah menasehati mereka, sedang mereka tidak menangis apabila orang lain yang menasehati mereka?” Ayahnya menjawab:” Wahai puteraku! Tidak sama ratapan seorang ibu yang ditinggal mati anaknya dengan ratapan wanita yang dibayar (untuk meratap). (Hilyah Tholibil ‘Ilmi, Bakr Abu Zaid hal: 9-10)
Kedua: Memberantas Kebodohan Dirinya dan Orang Lain
Hendaklah dalam menuntut ilmu berniat untuk memberantas kebodohan dari dirinya dan dari orang lain, karena pada dasarnya manusia itu jahil (bodoh), sebagaimana firman Allah:

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An Nahl:78)
Imam Ahmad rahimahullah berkata:
“Ilmu itu tiada bandingannya bagi orang yang niatnya benar.” Mereka bertanya: ”Bagaimanakah hal itu?” Beliau menjawab: “Berniat memberantas kebodohan dari dirinya dan dari orang lain.” (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal 26-27)
Ketiga : Membela Syariat
Hendaklah dalam menuntut ilmu berniat membela syariat, karena kitab-kitab tidak mungkin bisa membela syariat. Tiadalah yang membela syariat melainkan para pengemban syariat. Disamping itu, bid’ah juga selalu muncul silih berganti yang ada kalanya belum pernah terjadi pada jaman dahulu dan tidak ada dalam kitab-kitab sehingga tidak mungkin membela syariat kecuali para penuntut ilmu. (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal 27-28).
Alangkah banyaknya kitab dan alangkah banyak pula perbedaan didalamnya! Seorang muslim tidak lagi tahu apa yang harus ia ambil dan apa yang harus ia tinggalkan? Dari mana memulai dan dimana berakhir! (Wasiyyatu Muwaddi’, Husain Al ‘Awayisyah hal :29-30).
Keempat : Berlapang Dada Dalam Masalah Khilafiyah (Perbedaan Pendapat)
Hendaklah selalu berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad. Yaitu permasalahan yang memungkinkan seseorang berpendapat dan terbuka kemungkinan untuk berbeda. Adapun siapa saja yang menyelisihi jalan salafush shalih dalam masalah aqidah maka hal ini tidak bisa diterima dan ditolelir. (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal 28-29) . Baca pula untuk masalah ini kitab Perpecahan Umat, karya: Dr Nasir al ‘Aql, penerbit Darul Haq Jakarta.
Kelima : Mengamalkan Ilmu atau Zakat Ilmu
Hendaklah para penuntut ilmu mengamalkan ilmunya, baik berupa aqidah, ibadah, akhlak, adab dan muamalah, karena hal ini adalah merupakan hasil dan buah dari ilmu itu. Pengemban ilmu itu seperti pembawa senjata; Bisa berguna dan bisa pula mencelakakan sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
“Al Qur’an itu membelamu atau mencelakakanmu.” (HR. Muslim)
Membelamu apabila kamu amalkan dan mencelakakanmu apabila tidak kamu amalkan. (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal:32)
Karena keutamaan ilmu itulah ia semakin bertambah dengan banyaknya nafkah (diamalkan dan diajarkan) dan berkurang apabila kita saying (tidak diamalkan dan diajarkan) serta yang merusaknya adalah al kitman (menyembunyikan ilmu). (Hiyah Tholibil Ilmi, Bakr Abu Zaid hal :72)
Keenam : Berdakwah Kepada Allah
Allah berfirman:

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran:104)
Hendaklah mendakwahkan ilmunya kepada Allah dalam berbagai kesempatan, baik di masjid, di majlis-majlis, di pasar dan diberbagai kesempatan. (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal :37-38).
Ketujuh : Hikmah
Hendaklah menghiasi dirinya dengan hikmah. Apabila kita menempuh cara ini pastilah kita mendapatkan kebaikan yang sangat banyak, sebagaimana firman Allah:

“Dan barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.” (QS. Al Baqarah:269)
Al Hakim (orang yang bijaksana) adalah orang yang menempatkan sesuatu pada tempatnya. Allah telah menyebutkan tingkatan-tingkatan dakwah dalam firman-Nya :

“Serulah (manusia) kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl:125)
Dan Alla menyebutkan pula tingkatan keempat tentang berdebat dengan ahli kitab dalam firman-Nya:

“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang dzalim diantara mereka.” (QS. Al ‘Ankabut:46)
(Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal:37-38)
Kedelapan : Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Hendaklah sabar dalam menuntut ilmu, tidak terputus (ditengah jalan) dan tidak pula bosan, bahkan terus menerus menuntut ilmu semampunya. Kisah tentang kesabaran slafush shalih dalam menuntut ilmu sangatlah banyak, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma bahwa beliau ditanya oleh seseorang: “Dengan apa anda bisa mendapatkan ilmu?” Beliau menjawab: “Dengan lisan yang selalu bertanya dan hati yang selalu memahami serta badan yang tidak pernah bosan.” (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal:40 dan 61)
Bahkan sebagian dari mereka (salafus shalih) merasakan sakit yang menyebabkannya tidak bisa bangun dikarenakan tertinggal satu hadits saja. Sebagaimana terjadi kepada Syu’bah bin al Hajjaj rahimahullah, ia berkata: “Ketika aku belajar hadits dan tertinggal (satu hadits) maka akupun menjadi sakit.”
Barangsiapa mengetahui keutamaan ilmu dan merasakan kelezatannya pastilah ia selalu ingin menambah dan mengupayakannya, ia selalu lapar (ilmu) dan tidak pernah keying sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam: “ Ada dua kelompok manusia yang selalu lapar dan tidak pernah kenyang: orang yang lapar ilmu tidak pernah keying dan orang yang lapar dunia tidak pernah keying pula.” (HR. Al Hakim dll dengan sanad tsabit) (Hilyah al ‘Alim al Mu’allim, Syaikh Salim al Hialaliy hal 22-23)
Abu al ‘Aliyah rahimahullah menuturkan:”Kami mendengar riwayat (hadits) dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sedang kami berada di Basrah (Iraq), lalu kamipun tidak puas sehingga kami berangkat ke kota Madinah agar mendengar dari mulut mereka (para perawinya) secara langsung.” (‘Audah ila as Sunnah, Syaikh Ali Hasan al Atsariy hal 44).
Kesembilan : Menghormati dan Menghargai Ulama
Hendaklah para penuntut ilmu menghormati dan menghargai para ulama dan berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat diantara mereka serta memberi udzur (alasan) kepada para ulama yang menurut keyakinan mereka telah berbuat kesalahan. Ini adalah masalah yang sangat penting, karena sebagian orang sengaja mencari-cari kesalahan orang lain untuk menjatuhkan mereka dimata masyarakat. Ini adalah kesalahan terbesar. (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal 41).
Hendaklah menghormati majlis (ilmu) dan menampakkan kesenangan terhadap pelajaran serta mengambil faedahnya. Apabila seorang syaikh (guru) melakukan suatu kesalahan atau kekeliruan maka janganlah hal itu membuatnya jatuh dihadapanmu, karena hal ini menjadikanmu tidak lagi mendapatkan ilmunya. Siapasih orang yang tidak pernah berbuat kesalahan.?
Jangan sekali-kali memancing kemarahannya dengan “Perang urat syaraf”, yaitu menguji kemampuan ilmu dan kesabarannya. Apabila hendak berguru ke orang lain maka mintalah ijin kepadanya, karena hal ini menjadikannya selalu menghormatimu, semakin cinta dan saying kepadamu.” (Hilyah Tholibil ‘Ilmi, Bakr Abu Zaid hal:36).
Kesepuluh : Memegang Teguh Al Kitab dan As Sunnah
Wajib bagi para penuntut ilmu untuk mengambil ilmu dari sumbernya yang tidak mungkin seseorang sukses bila tidak memulai darinya, yaitu:
1. Al-Qur’anul Karim; Wajib bagi para penuntut ilmu untuk berupaya membaca, menghafal, memahami dan mengamalkannya.
2. As Sunnah As Shahihah; Ini adalah sumber kedua syariat Islam (setelah Al Qur’an) dan penjelas al Qur’an Karim.
3. Sumber ketiga adalah ucapan para ulama, janganlah anda menyepelekan ucapan para ulama karena mereka lebih mantap ilmunya dari anda.
(Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hl :43,44, dan 45)
Kesebelas : At Tatsabbut dan Ats Tsabat
Termasuk adab terpenting yang wajib dimiliki oleh penuntut ilmu adalah; At Tatsabbut. Yang dimaksud dengan At Tatsabbut adalah berhati-hati dalam menukil berita dan ketika berbicara.
Adapun ats tsabat adalah sabar dan tabah untuk tidak bosan dan marah, dan agar tidak mengambil ilmu hanya secuil-secuil saja lalu ia tinggalkan, karena hal ini berdampak negatif dan menyia-nyiakan waktu tanpa faedah. (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hl :50)
Keduabelas : Berupaya Untuk Memahami Maksud Allah dan Rasul-Nya
Termasuk adab terpenting pula adalah masalah pemahaman tentang maksud Allah dan juga maksud Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam; Karena banyak orang yang diberi ilmu namun tidak diberi pemahaman. Tidak cukup hanya menghapal al Qur’an dan hadits saja tanpa memahaminya, jadi harus dipahami maksud Allah dan Rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Alangkah banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh kaum yang berdalil dengan nash-nash yang tidak sesuai dengan maksud Allah dan Rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sehingga timbullah kesesatan karenanya. Kesalahan dalam pemahaman lebih berbahaya dari pada kesalahan dikarenakan kebodohan. Seorang yang jahil (bodoh) apabila melakukan kesalahan dikarenakan kebodohannya ia akan segera menyadarinya dan belajar, adapun seorang yang salah dalam memahami sesuatu ia tidak akan pernah merasa salah dan bahkan selalu merasa benar. (Kitab al ‘Ilmi, Syaikh Utsaimin hal :52)
Inilah sebagian dari adab yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu agar menjadi suri tauladan yang baik dan mendapatkan kesuksesan di dunia dan di akhirat, amien.

adab menuntut ilmu

Ilmu sangat penting bagi seorang muslim. Menuntut ilmu itu adalah wajib sebagaimana hadits menerangkan:

أطلب علم فرضة على كل المسلمين و المسلمات

Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslimin laki-laki maupun perempuan. [Al-Hadits]

Didalam Al-Qura'an banyak sekali menganjurkan kita untuk berfikir, menggunakan akal, mengkaji lebih dalam dengan ungkapan afala yatafakarun, apakah mereka tidak berfikir, afala ya'qiluun, apakah mereka tidak menggunakan akal, afala yatadabaruun, apakah mereka tidak mengkaji, dan sebagainya.

Oleh sebab itu orang yang beriman dan berilmu mendapat tempat disisi Allah lebih tinggi beberapa derajat karena pentingnya ilmu yang dimilikinya.
Sebagaimana firman Allah ta'ala:

وا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.

Bahkan Allah menyatakan Hanya orang-orang yang berilmulah yang hatinya merasa takut pada Allah subhanahu wata'ala.
Firman Allah:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. [QS: Faathir ayat 28]

Banyak orang Islam yang berilmu pengetahuan menjagi pencerahan pemikiran Eropa abad pertengahan yang berada pada abad kegelapan. Modernitas yang kita rasakan sekarang ini tidak terlepas dari pemikir-pemikir dan Ulama Muslim yang memberikan sumbangan terhadap kemajuan zaman yang kita kecap sekarang ini. Lihatlah seperti Ibni Shina, seorang ilmuwan [Ulama] muslim yang ilmunya tentang obat-obatan dan kedokteran masih dipakai dan menjadi referansi oleh orang-orang Barat Eropa dan Amerika sampai sekarang ini. Juga Ibnu Rush, seorang pemikir politik dan sosial juga menjadi referensi barat dan ilmu menjadi bahan kajian sampai sa'at sekarang ini. Ibnu Khaldun, adalah seorang pemikir muslim tetapi sebagai dasar ilmu dan penemu ilmu sosiologi sampai sekarang. Al Khemy, adalah seorang ilmuwan kimia yang juga ulama muslim yang dulunya menjadi dasar ilmu-ilmu kimia. dan banyak lagi seperti Al-Faraby, Al Kindy, Al-Jabbar, Ibnu Jabbir, dan banyak lagi.

Ini ilmuwan yang membuat cemerlang dunia Islam sa'at itu. Kini orang Islam berhenti, mempelajari ilmu pengetahuan, karena terkagum-kagum akan ilmu pengetahuan modern yang dipersembahkan barat. Akhirnya membuat ummat Islam semakin terpuruk.

Padahal mempelajari ilmu pengetahuan bagi ummat islam adalah wajib. Tetapi ummat Islam lupa.

Saya kutip pendapat seorang pemikir dan ilmuwan barat yang mengamati fenomena mundurnya kemajuan ummat Islam Ia adalah seorang ilmuwan sosial, sejarah, filsafat peradaban bernama Max weebber. Ia berkesimpulan bahwa mundurnya Ummat Islam akibat mereka meninggalkan agamanya. Dan Majunya orang barat karena meninggalkan agamanya. Sama-sama meniggalkan tetapi hasilnya satu mengalami kemajuan dan yang satunya lagi mengalami kemunduran.

Artinya kita sekarang telah tertipu oleh barat, dengan kemajuan teknologi yang dibawanya seakan-akan merekalah yang pembawa kebenaran. Padahal kebenaran yang mereka bawa adalah berasal dari Islam.

Ummat Islam sekarang seperti terpukau oleh kemegahan ilmu pengetahuan barat sehingga mereka {ummat Islam} luput dari mengkaji ilmu pengetahuan sendiri karena sudah begitu patuhnya terhadapa aturan barat dalam penelitian. Salah satu kelemahan Ilmu barat dalam kajian ilmu pengetahuan adalah terkotak-kotaknya ilmu dalam spesialisasi bidang kajian yang kecil-kecil sehingga para ilmuwan banyak terperangkap kedalam lobang-lobang kajian yang sempit dan tidak dapat bergerak lagi.

Salah satu contoh Ilmu Hubungan Internasional yang mengkaji hubungan politik antar negara, perang, diplomasi damai, yang terpatok pada masalah itu saja sehingga tidak dapat menerangkan fenomena berkembangnya kekuatan Islam dimasa globalisasi sekarang ini. Berkembangnya kekuatan Islam di masa globalisasi sekarang terasa aneh karena bertentangan dengan teori Hubungan Internasional yang mengkaji masalah politik dan keamanan negara saja. Padahal aktor dalam perkembangan Islam tidak lagi politik, tetapi sudah berkembang kepada sejarah, agama, psikologi, sosial keagamaan, sosiologi individual dan kelompok dan sebagainya. Sehingga perkembangan Islam hanya dianggap musuh, teroris, tanpa dapat menerangkan bagaimana hubungan itu dapat terjadi.

Dlam Islam dibagi ilmu dunia dan Ilmu agama. Ilmu agama adalah wajib bagi setiap individu muslim baik laki-laki maupun perempuan. sedangkan ilmu dunia yang keahliannya diperlukan selama manusia masih hidup didunia, tetapi ilmu tersebut dibutuhkan turun temurun maka kewajibannya menuntut ilmu tidak wajib untuk setiap orang tetapi apabiala ada satu orang dalam kelompok tersebut maka kewajiban seseorang yang lainnya tidak wajib.

Dalam Istilah islam ada ayat kauniah yang terbentang di alam ada ayat qouliyah yang tertulis dalam al=Qur'an.

Allah ta'ala berfirman dalam surat Ali Imran ayat 190-195:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya siang dan malam adalah sebagai ayat-ayat Allah yang tercipta di alam yang dapat dibaca melalui pengamatan, penelitian, laboratorium, dengan alat-alat tekhnologi seperti satelit dan sebagainya. Itulah cara-cara membaca ayat-ayat kauliyah yang tercipta oleh alam. Yang sekarang ummat Islam sudah ketinggalan ilmu dan cara membacanya.

Bapak-bapak ibu-ibu serta anak-anak dan remaja yang mulia dan dimuliakan Allah.
Demikian pentingnya ilmu dalam Islam sehingga pun Islam membagi ilmu menjadi ayat-ayat kauniyah dan qouliyah. Disinilah kelemahan ummat Islam sekarang ini kurang mengkaji Ilmu baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan modren sekarang ini, sebenarnya ilmu pengetahuan modren tersebut adalah ayat-ayat kauniyah yang sebenarnya ilmu agama saja.

dalam hadits dijelaskan:

فمن أرد دنيا فإنه بعلم, فمن أرد آخرة فإنه بعلم, فمن أردهما فإنه بعلم

Barang siapa menginginkn dunia maka hendaklah menggunakan ilmu, dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirah maka hendaklah menggunakan ilmu, barang siapa menhendaki kedua-duanya maka hendaklah menggunakan ilmu. [Al-Hadits]

Bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda, remaja, serta anak-anak yang mulia. Demikianlah sedikit yang saya sampaikan semoga bermanfaat, lebih dan kurang saya mohon maaf, wabillahi taufiq walhidayah assalaamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Keutamaan Ilmu dan Ulama

penulis Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al Bugisi
Syariah Tafsir 05 - Februari - 2005 03:05:02

Mengenal Beberapa Makna Sebagian Mufradat Ayat

يَرْفَعِ اللَّهُ

“Allah meninggikan” makna Allah mengangkat. Yaitu mengangkat kaum mukminin di atas selain kaum mukminin dan mengangkat orang yg berilmu di atas orang yg tdk berilmu.

أُوتُوا الْعِلْمَ

“orang2 yg diberi ilmu” yg dimaksud ilmu di dlm ayat ini adl ilmu syar’i. Sebab dengannyalah seseorang akan mendapatkan keterangan dlm mengamalkan agama berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

دَرَجَاتٍ

“Beberapa derajat”. Al-Qurthubi rahimahullah berkata: yaitu derajat di dlm agama ketika mereka melaksanakan apa yg diperintahkan.

Tafsir Ayat
Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yg mulia ini menjelaskan keutamaan para ahli ilmu dan orang2 yg senantiasa menuntut ilmu agama. Di samping krn keimanan yg mereka miliki mereka juga diangkat derajat dan kedudukan oleh Allah krn bertambah ilmu agama mereka yg menjadikan semakin jauh dari kejahilan dan mendekatkan kepada keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Berikut beberapa penafsiran para ulama tentang tafsir ayat ini:
- Ath-Thabari rahimahullah berkata: Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat kaum mukminin dari kalian wahai kaum dgn ketaatan mereka kepada Rabb mereka. mk pada apa yg diperintahkan kepada mereka utk melapangkan ketika mereka diperintahkan utk melapangkannya. Atau mereka bangkit menuju kebaikan apabila diperintahkan mereka utk bangkit kepadanya. Dan dgn keutamaan ilmu yg mereka miliki Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat derajat orang2 yg berilmu dari ahlul iman di atas kaum mukminin yg tdk diberikan ilmu jika mereka mengamalkan apa yg mereka diperintahkan.” Lalu beliau menukilkan beberapa perkataan ulama salaf di antara Qatadah rahimahullah beliau berkata: “Sesungguh dgn ilmu pemilik memiliki keutamaan. Sesungguh ilmu memiliki hak atas pemilik dan hak ilmu terhadap kamu wahai seorang alim adl keutamaan. Dan Allah memberikan kepada tiap pemilik keutamaan keutamaannya.”

Antara Ilmu dan Ibadah
Menuntut ilmu juga merupakan jenis ibadah. Namun ilmu merupakan jenis ibadah yg memiliki nilai dan kedudukan yg lbh tinggi dibandingkan jenis ibadah lainnya. Sebagaimana yg telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَضْلُ الْعِلْمِ خَيْرٌ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ وَمِلاَكُ الدِّيْنِ الْوَرَعُ

“Keutamaan ilmu lbh baik dari keutamaan ibadah. Dan kunci agama adl bersikap wara’ .”
Hadits ini menjelaskan demikian mulia ilmu dan penuntut ilmu. Ini disebabkan krn seorang yg berilmu kemudian mengajarkan ilmu mendakwahkan hingga Allah memberikan hidayah kepada orang lain dgn sebab dakwah mk menjadi salah satu amal jariyah baginya. Selama ada yg mengamalkan ilmu tersebut mk dia akan terus mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala walaupun dia telah meninggal. Berbeda dgn orang yg mengerjakan shalat sunnah dan semisal tdk ada yg merasakan manfaat kecuali hanya diri sendiri.
Ishaq bin Manshur rahimahullah berkata: “Aku berta kepada Al-Imam Ahmad tentang perkataannya: Mudzakarah ilmu pada sebagian malam lbh aku senangi daripada menghidupkan . Ilmu apakah yg dimaksud?” Beliau menjawab: “Yaitu ilmu yg memberi manfaat kepada manusia dlm perkara agamanya.” Aku berta lagi: “Dalam hal berwudhu’ shalat puasa haji talak dan semisalnya?”. Beliau menjawab: “Iya.”
Dan berkata pula Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi: Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

طَلَبُ الْعِلْمِ أَفْضَلُ مِنَ الصَّلاَةِ النَّافِلَةِ

“Menuntut ilmu lbh utama daripada shalat sunnah.”
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata: “Aku tdk mengetahui ada satu ibadah yg lbh afdhal daripada seseorang yg mempelajari ilmu.”

Kemuliaan Para Ulama
Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini menjelaskan demikian tinggi derajat dan kedudukan para ulama di atas yg lainnya. Dan merekalah orang2 yg senantiasa mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan juga di kalangan manusia. Di dlm ayat yg lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشآءُ

“Kami tinggikan derajat orang yg Kami kehendaki.”
Al-Imam Malik rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini berkata: “Yaitu dgn ilmu.”
Zaid bin Aslam rahimahullah berkata dlm menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلَقَدْ فَضَّلْنَا بَعْضَ النَّبِيِّينَ عَلَى بَعْضٍ وَآتَيْنَا دَاوُدَ زَبُورًا

“ Dan sesungguh telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian dan Kami berikan Zabur .”
kata beliau: “yaitu dgn ilmu.” .
Diberitakan oleh Asy’ats bin Syu’bah Al-Misshishi bahwa beliau berkata: Suatu hari Harun Ar-Rasyid pergi ke Raqqah mk berlalu gerombolan manusia di belakang Abdullah ibnul Mubarak terputuslah sandal-sandal debu-debu bertebaran. Lalu salah seorang budak wanita Amirul Mukminin melongok dari dlm istana lalu bertanya: “Siapa ini?” Mereka menjawab: “Seorang alim dari Khurasan telah datang.”
Berkatalah sang budak: “Demi Allah inilah kerajaan sebenar bukan kerajaan milik Harun yg mengumpulkan manusia dgn tentara dan para pembantunya.”
Wallahi inilah kemuliaan yg sebenarnya. Dan bukanlah kemuliaan ketika seseorang diberikan pundi-pundi harta kekayaan atau jabatan yg menjadi incaran atau partai-partai yg menjadi dambaan atau duduk di kursi DPR/MPR dgn dalih “menegakkan syariat Islam” “merintis khilafah Islam” dan propaganda lainnya.
Katakanlah kepada mereka: “Wahai orang2 yg muflis bagaimanapun pandai kalian dlm menata organisasi dan partai kalian menyelenggarakan berbagai macam kegiatan hizbiyyah kalian menjaga diri dari berbagai makar dan tipu daya syaithan kalian tidaklah mungkin mendapatkan kemuliaan dan keagungan hingga kalian menjadikan amalan kalian di atas ilmu mengenal keutamaan ilmu dan ahli ilmu.”
Suatu hal yg mustahil bagi mereka yg ingin menegakkan syariat Islam mendirikan khilafah Islamiyah namun menempuh dgn cara-cara yg batil dgn membentuk partai masuk ke dlm parlemen menundukkan diri di hadapan demokrasi yg thaghut dan tdk membangun segala aktivitas di atas ilmu yg haq dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh mereka hanyalah mencari sesuatu yg bersifat fatamorgana sebagaimana sebuah syair:

تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا إِنَّ السَّفِيْنَةَ لاَ تَجْرِي عَلىَ الْيَبَسِ

Kalian mengharapkan keselamatan namun tdk menempuh jalan-jalannya
Sesungguh kapal tdk akan berlayar di atas tempat yg kering

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: “Di antara tanda berpaling Allah dari hamba-Nya adl dia menjadikan sibuk terhadap apa-apa yg tdk bermanfaat baginya.”
Dengan ilmulah seseorang akan mendapatkan kemuliaan dunia sebelum akhirat. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih Thalut utk memimpin Bani Israil firman-Nya:

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguh Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.’”
Di dlm Shahih Muslim dari ‘Amir bin Watsilah bahwa Nafi’ bin Abdil Harits bertemu ‘Umar di ‘Usfan. Ketika itu ‘Umar mengangkat sebagai gubernur di Makkah. Kemudian ‘Umar bertanya: “Siapa yg engkau angkat jadi pemimpin daerah lembah?” Beliau menjawab: “Ibnu Abza.” bertanya: “Siapa Ibnu Abza?” Beliau menjawab: “Dia adl salah satu bekas budak kami.” bertanya: “Engkau jadikan yg memimpin mereka dari kalangan maula ?” Beliau menjawab: “Sesungguh dia mempunyai ilmu tentang kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan alim dlm ilmu warisan.” ‘Umar berkata: “Ketahuilah sesungguh Nabimu Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابَ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ

“Sesungguh Allah mengangkat sebagian kaum dgn kitab ini dan dengan Allah merendahkan yg lainnya.”
Ahmad bin Ja’far bin Muslim rahimahullah berkata: Aku mendengarkan Abbar berkata: Ketika aku berada di Al-Ahwaz aku melihat ada seorang laki2 yg telah mencukur habis kumisnya- aku menyangka dia berkata- dia telah membeli beberapa kitab dan siap menjadi seorang mufti. Lalu disebutkan kepada ashabul hadits mk dia menjawab: “Mereka tdk ada apa-apa mereka tdk memiliki apa-apa.” Aku pun berkata : “Engkau tdk pandai mengerjakan shalat.” Dia berkata: ‘Aku?’. Aku menjawab: ‘Iya apa yg engkau hafal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika engkau membuka shalatmu dan mengangkat kedua tanganmu?’ mk dia terdiam. Aku pun berta kembali: ‘Apa yg engkau hafal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala engkau sujud?’. Dia kembali terdiam. Aku berkata: ‘Bukankah aku telah mengatakan engkau tdk pandai mengerjakan shalat? mk janganlah engkau menjelekkan ashabul hadits.”

Ulama adl Para Mujahid
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan orang2 yg menuntut ilmu sebagai salah satu bagian dlm jihad fi sabilillah. Firman-Nya:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Tidak sepatut bagi orang2 mukmin itu pergi semua . Mengapa tdk pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang utk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan utk memberi peringatan kepada kaum apabila mereka telah kembali kepada supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Abu Darda radhiallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa yg menganggap bahwa berangkat seseorang mencari ilmu itu bukan jihad mk sungguh dia kurang akal dan fikiran.”
Terhadap merekalah kaum muslimin diperintahkan utk merujuk kepada ketika mereka menghadapi berbagai macam problem dan masyakil di dlm agama mereka. Baik masalah bersuci shalat puasa zakat jihad maupun persoalan-persoalan kontemporer dan lain sebagainya. Barangsiapa yg membagi para ulama menjadi dua: ulama dlm urusan jihad dan ulama mengurusi selain jihad mk sungguh dia telah terjerumus dlm kebatilan yg nyata.
Asy Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Jika sekira sikap memberontak terhadap pemerintah mendatangkan kejahatan yg telah dijelaskan oleh nash-nash syar’i yg saling menyatu disertai dgn berbagai kejadian yg nyata sebagaimana yg nampak dari hasil perbuatan para ahli bid’ah di tiap zaman. mk lbh jahat lagi adl orang2 yg keluar dari para ulama dgn menjatuhkan hak-hak mereka dan tdk bersandar kepada fatwa-fatwa mereka kecuali yg sesuai dgn hawa nafsu para haraki dan meremehkan kedudukan mereka dlm hal politik dan melontarkan tuduhan kepada mereka dgn istilah “ulama di rumah wudhu” dan gelar-gelar semisal yg diwarisi oleh para ahlul bid’ah yg hina dari yg hina yg ditujukan kepada para ulama salafiyyin yg mulia kepada yg mulia. Dan hal ini berarti menggugurkan syariat dgn mencerca para saksi dan pembawanya. Dan Allah akan memenuhi janjinya.”

Syariah dan Akhlak Dalam Islam

Aqidah adalah bentuk jamak dari kata Aqaid, adalah beberapa perkara yang
wajib diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi
keyakinan yang tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan. Aqidah adalah
sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara mudah oleh manusia berdasarkan
akal, wahyu (yang didengar) dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan dalam hati,
dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu.

Aqidah dalam Al-Qur’an dapat di jabarkan dalam surat (Al-Maidah, 5:15-16) yg
berbunyi “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab
yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan dengan kitab itu pula Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”

“Dan agar orang-orang yg telah diberi ilmu meyakini bahwasannya Al-Qur’an
itulah yg hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya
dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yg beriman
kepada jalan yang lurus.” (Al-Haj 22:54)

Aqidah, syariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran
islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
Aqidah sebagai system kepercayaan yg bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan,
menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai
system nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak
sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yg hendak dicapai agama.

Muslim yg baik adalah orang yg memiliki aqidah yg lurus dan kuat yg
mendorongnya untuk melaksanakan syariah yg hanya ditujukan pada Allah sehingga
tergambar akhlak yg terpuji pada dirinya.

Atas dasar hubungan itu, maka seseorang yg melakukan suatu perbuatan baik,
tetapi tidak dilandasi oleh aqidah atau keimanan, maka orang itu termasuk ke
dalam kategori kafir. Seseorang yg mengaku beraqidah atau beriman, tetapi tidak
mau melaksanakan syariah, maka orang itu disebut fasik. Sedangkan orang yg
mengaku beriman dan melaksanakan syariah tetapi dengan landasan aqidah yg tidak
lurus disebut munafik.

Aqidah, syariah dan akhlak dalam Al-Qur’an disebut iman dan amal saleh. Iman
menunjukkan makna aqidah, sedangkan amal saleh menunjukkan pengertian syariah
dan akhlak.

Seseorang yg melakukan perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi aqidah, maka
perbuatannya hanya dikategorikan sebagai perbuatan baik. Perbuatan baik adalah
perbuatan yg sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi belum tentu
dipandang benar menurut Allah. Sedangkan perbuatan baik yg didorong oleh
keimanan terhadap Allah sebagai wujud pelaksanaan syariah disebut amal saleh.
Kerena itu didalam Al-Qur’an kata amal saleh selalu diawali dengan kata iman.

antara lain firman Allah dalam (An-Nur, 24:55) “Allah menjanjikan bagi
orang-orang yg beriman diantara kamu dan mengerjakan amal saleh menjadi
pemimpin di bumi sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang dari sebelum
mereka (kaum muslimin dahulu) sebagai pemimpin; dan mengokohkan bagi mereka
agama mereka yg Ia Ridhai bagi mereka; dan menggantikan mereka dari rasa takut
mereka (dengan rasa) tenang. Mereka menyembah (hanya) kepada-Ku, mereka tidak
menserikatkan Aku dengan sesuatupun. Dan barang siapa ingkar setelah itu, maka
mereka itu adalah orang-orang yg fasik”

pentingnya akidah

Akidah secara bahasa artinya ikatan. Sedangkan secara istilah akidah artinya keyakinan hati dan pembenarannya terhadap sesuatu. Dalam pengertian agama maka pengertian akidah adalah kandungan rukun iman, yaitu:

Beriman dengan Allah
Beriman dengan para malaikat
Beriman dengan kitab-kitab-Nya
Beriman dengan para Rasul-Nya
Beriman dengan hari akhir
Beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk
Sehingga akidah ini juga bisa diartikan dengan keimanan yang mantap tanpa disertai keraguan di dalam hati seseorang (lihat At Tauhid lis Shaffil Awwal Al ‘Aali hal. 9, Mujmal Ushul hal. 5)


Kedudukan Akidah yang Benar

Akidah yang benar merupakan landasan tegaknya agama dan kunci diterimanya amalan. Hal ini sebagaimana ditetapkan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah dia beramal shalih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya dalam beribadah kepada-Nya.” (QS. Al Kahfi: 110)

Allah ta’ala juga berfirman,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu: Sungguh, apabila kamu berbuat syirik pasti akan terhapus seluruh amalmu dan kamu benar-benar akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)

Ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amalan tidak akan diterima apabila tercampuri dengan kesyirikan. Oleh sebab itulah para Rasul sangat memperhatikan perbaikan akidah sebagai prioritas pertama dakwah mereka. Inilah dakwah pertama yang diserukan oleh para Rasul kepada kaum mereka; menyembah kepada Allah saja dan meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya.

Hal ini telah diberitakan oleh Allah di dalam firman-Nya:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul yang menyerukan ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut (sesembahan selain Allah)’” (QS. An Nahl: 36)

Bahkan setiap Rasul mengajak kepada kaumnya dengan seruan yang serupa yaitu, “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tiada sesembahan (yang benar) bagi kalian selain Dia.” (lihat QS. Al A’raaf: 59, 65, 73 dan 85). Inilah seruan yang diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib dan seluruh Nabi-Nabi kepada kaum mereka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Mekkah sesudah beliau diutus sebagai Rasul selama 13 tahun mengajak orang-orang supaya mau bertauhid (mengesakan Allah dalam beribadah) dan demi memperbaiki akidah. Hal itu dikarenakan akidah adalah fondasi tegaknya bangunan agama. Para dai penyeru kebaikan telah menempuh jalan sebagaimana jalannya para nabi dan Rasul dari jaman ke jaman. Mereka selalu memulai dakwah dengan ajaran tauhid dan perbaikan akidah kemudian sesudah itu mereka menyampaikan berbagai permasalahan agama yang lainnya (lihat At Tauhid Li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 9-10).

Sebab-Sebab Penyimpangan dari Akidah yang Benar

Penyimpangan dari akidah yang benar adalah sumber petaka dan bencana. Seseorang yang tidak mempunyai akidah yang benar maka sangat rawan termakan oleh berbagai macam keraguan dan kerancuan pemikiran, sampai-sampai apabila mereka telah berputus asa maka mereka pun mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat mengenaskan yaitu dengan bunuh diri. Sebagaimana pernah kita dengar ada remaja atau pemuda yang gantung diri gara-gara diputus pacarnya.

Begitu pula sebuah masyarakat yang tidak dibangun di atas fondasi akidah yang benar akan sangat rawan terbius berbagai kotoran pemikiran materialisme (segala-galanya diukur dengan materi), sehingga apabila mereka diajak untuk menghadiri pengajian-pengajian yang membahas ilmu agama mereka pun malas karena menurut mereka hal itu tidak bisa menghasilkan keuntungan materi. Jadilah mereka budak-budak dunia, shalat pun mereka tinggalkan, masjid-masjid pun sepi seolah-olah kampung di mana masjid itu berada bukan kampungnya umat Islam. Alangkah memprihatinkan, wallaahul musta’aan (disadur dari At Tauhid Li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 12)

Oleh karena peranannya yang sangat penting ini maka kita juga harus mengetahui sebab-sebab penyimpangan dari akidah yang benar. Di antara penyebab itu adalah:

Bodoh terhadap prinsip-prinsip akidah yang benar. Hal ini bisa terjadi karena sikap tidak mau mempelajarinya, tidak mau mengajarkannya, atau karena begitu sedikitnya perhatian yang dicurahkan untuknya. Ini mengakibatkan tumbuhnya sebuah generasi yang tidak memahami akidah yang benar dan tidak mengerti perkara-perkara yang bertentangan dengannya, sehingga yang benar dianggap batil dan yang batil pun dianggap benar. Hal ini sebagaimana pernah disinggung oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Jalinan agama Islam itu akan terurai satu persatu, apabila di kalangan umat Islam tumbuh sebuah generasi yang tidak mengerti hakikat jahiliyah.”
Ta’ashshub (fanatik) kepada nenek moyang dan tetap mempertahankannya meskipun hal itu termasuk kebatilan, dan meninggalkan semua ajaran yang bertentangan dengan ajaran nenek moyang walaupun hal itu termasuk kebenaran. Keadaan ini seperti keadaan orang-orang kafir yang dikisahkan Allah di dalam ayat-Nya, “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah wahyu yang diturunkan Tuhan kepada kalian!’ Mereka justru mengatakan, ‘Tidak, tetapi kami tetap akan mengikuti apa yang kami dapatkan dari nenek-nenek moyang kami’ (Allah katakan) Apakah mereka akan tetap mengikutinya meskipun nenek moyang mereka itu tidak memiliki pemahaman sedikit pun dan juga tidak mendapatkan hidayah?” (QS. Al Baqarah: 170)
Taklid buta (mengikuti tanpa landasan dalil). Hal ini terjadi dengan mengambil pendapat-pendapat orang dalam permasalahan akidah tanpa mengetahui landasan dalil dan kebenarannya. Inilah kenyataan yang menimpa sekian banyak kelompok-kelompok sempalan seperti kaum Jahmiyah, Mu’tazilah dan lain sebagainya. Mereka mengikuti saja perkataan tokoh-tokoh sebelum mereka padahal mereka itu sesat. Maka mereka juga ikut-ikutan menjadi tersesat, jauh dari pemahaman akidah yang benar.
Berlebih-lebihan dalam menghormati para wali dan orang-orang saleh. Mereka mengangkatnya melebihi kedudukannya sebagai manusia. Hal ini benar-benar terjadi hingga ada di antara mereka yang meyakini bahwa tokoh yang dikaguminya bisa mengetahui perkara gaib, padahal ilmu gaib hanya Allah yang mengetahuinya. Ada juga di antara mereka yang berkeyakinan bahwa wali yang sudah mati bisa mendatangkan manfaat, melancarkan rezeki dan bisa juga menolak bala dan musibah. Jadilah kubur-kubur wali ramai dikunjungi orang untuk meminta-minta berbagai hajat mereka. Mereka beralasan hal itu mereka lakukan karena mereka merasa sebagai orang-orang yang banyak dosanya, sehingga tidak pantas menghadap Allah sendirian. Karena itulah mereka menjadikan wali-wali yang telah mati itu sebagai perantara. Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur-kubur Nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR. Bukhari). Beliau memperingatkan umat agar tidak melakukan sebagaimana apa yang mereka lakukan Kalau kubur nabi-nabi saja tidak boleh lalu bagaimana lagi dengan kubur orang selain Nabi ?
Lalai dari merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun qur’aniyah. Ini terjadi karena terlalu mengagumi perkembangan kebudayaan materialistik yang digembar-gemborkan orang barat. Sampai-sampai masyarakat mengira bahwa kemajuan itu diukur dengan sejauh mana kita bisa meniru gaya hidup mereka. Mereka menyangka kecanggihan dan kekayaan materi adalah ukuran kehebatan, sampai-sampai mereka terheran-heran atas kecerdasan mereka. Mereka lupa akan kekuasaan dan keluasan ilmu Allah yang telah menciptakan mereka dan memudahkan berbagai perkara untuk mencapai kemajuan fisik semacam itu. Ini sebagaimana perkataan Qarun yang menyombongkan dirinya di hadapan manusia, “Sesungguhnya aku mendapatkan hartaku ini hanya karena pengetahuan yang kumiliki.” (QS. Al Qashash: 78). Padahal apa yang bisa dicapai oleh manusia itu tidaklah seberapa apabila dibandingkan kebesaran alam semesta yang diciptakan Allah Ta’ala. Allah berfirman yang artinya, “Allah lah yang menciptakan kamu dan perbuatanmu.” (QS. Ash Shaffaat: 96)
Kebanyakan rumah tangga telah kehilangan bimbingan agama yang benar. Padahal peranan orang tua sebagai pembina putra-putrinya sangatlah besar. Hal ini sebagaimana telah digariskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari). Kita dapatkan anak-anak telah besar di bawah asuhan sebuah mesin yang disebut televisi. Mereka tiru busana artis idola, padahal busana sebagian mereka itu ketat, tipis dan menonjolkan aurat yang harusnya ditutupi. Setelah itu mereka pun lalai dari membaca Al Qur’an, merenungkan makna-maknanya dan malas menuntut ilmu agama.
Kebanyakan media informasi dan penyiaran melalaikan tugas penting yang mereka emban. Sebagian besar siaran dan acara yang mereka tampilkan tidak memperhatikan aturan agama. Ini menimbulkan fasilitas-fasilitas itu berubah menjadi sarana perusak dan penghancur generasi umat Islam. Acara dan rubrik yang mereka suguhkan sedikit sekali menyuguhkan bimbingan akhlak mulia dan ajaran untuk menanamkan akidah yang benar. Hal itu muncul dalam bentuk siaran, bacaan maupun tayangan yang merusak. Sehingga hal ini menghasilkan tumbuhnya generasi penerus yang sangat asing dari ajaran Islam dan justru menjadi antek kebudayaan musuh-musuh Islam. Mereka berpikir dengan cara pikir aneh, mereka agungkan akalnya yang cupet, dan mereka jadikan dalil-dalil Al Qur’an dan Hadits menuruti kemauan berpikir mereka. Mereka mengaku Islam akan tetapi menghancurkan Islam dari dalam. (disadur dengan penambahan dari At Tauhid li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 12-13).

konsep sabar dalam islam

Kesabaran dalam konsep islam bukanlah diam berpangku tangan dalam kebatilan, tapi meruntuhkan kekuatan batil dengan ketenangan, tentunya bukan dg emosi, tapi dengan perhitungan matang yg manfaatnya jauh lebih dahsyat dari sekedar marah dan mengamuk dengan senjata, tapi berdoa, dan doa adalah senjata para Nabi dan shiddiqien,

berbicara dengan nasihat lembut dan nasehat lembut adalah wasiat Allah pada para Rasul Nya swt,

dan dengan tangan, yaitu dengan harta, jabatan, siasat matang, surat, dan segala hal yg berupa perbuatan yg bermanfaat untuk melebur musuh tanpa peperangan,

demikianlah perjuangan Rasulullah saw, demikian hidup mereka tanpa menyerah selama hidupnya memerangi kebatilan, dan mereka adalah ksatria dan tidak pengecut,

bila musuh memerangi dengan harta maka mereka memeranginya dengan harta pula, bila mereka memeranginya dengan ucapan mereka memeranginya dengan ucapan pula, bila mereka memeranginya dengan senjata barulah mereka mengangkat senjata,

mereka tetap menang walau mati dalam peperangan, rumah rumah mereka adalah pengkaderan tentara sunnah, anak anak mereka adalah calon Jundullah dimasa mendatang, demikian keadaan mereka dari generasi ke generasi.

Sebagaimana firman Nya swt : “Dan Hamba hamba Arrahman, yg berjalan dimuka bumi dengan pelahan lahan (penuh rendah diri namun penuh ketenangan), bila mereka diajak bicara oleh orang orang bodoh maka mereka menjawab dengan sejahtera dan lemah lembut, merekalah yg melewati malam malamnya dengan bermalam bersama Allah dengan sujud dan qiyamullail” (QS Alfurqan 63)

sabar dalam islam

“...Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan); keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.

” (QS. Ar-Ra’d [13]:23-24)

Sabar termasuk akhlak yang paling utama yang banyak mendapat perhatian Al-Qur’an dalam surat-suratnya. Imam al-Ghazali berkata, “Allah swt menyebutkan sabar di dalam al-Qur’an lebih dari 70 tempat.”
Ibnul Qoyyim mengutip perkataan Imam Ahmad: “Sabar di dalam al-Qur’an terdapat di sekitar 90 tempat.”



Abu Thalib al-Makky mengutip sebagian perkataan sebagian ulama: “Adakah yang lebih utama daripada sabar, Allah telah menyebutkannya di dalam kitab-Nya lebih dari 90 tempat. Kami tidak mengetahui sesuatu yang disebutkan Allah sebanyak ini kecuali sabar.”

Sabar menurut bahasa berarti menahan dan mengekang. Di antaranya disebutkan pada QS.Al-Kahfi [18]: 28 “Dan tahanlah dirimu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan di senja hari dengan mengharap keridhaanNya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka.”
Kebalikan sabar adalah jaza’u (sedih dan keluh kesah), sebagaimana di dalam firman Allah QS. Ibrahim [14]: 21, “...sama saja bagi kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri.”


Macam-macam Sabar Dalam al-Qur’an
Aspek kesabaran sangat luas, lebih luas dari apa yang selama ini dipahami oleh orang mengenai kata sabar. Imam al-Ghazali berkata, “Bahwa sabar itu ada dua; pertama bersifat badani (fisik), seperti menanggung beban dengan badan, berupa pukulan yang berat atau sakit yang kronis. Yang kedua adalah al-shabru al-Nafsi (kesabaran moral) dari syahwat-syahwat naluri dan tuntutan-tuntutan hawa nafsu. Bentuk kesabaran ini (non fisik) beraneka macam;
Jika berbentuk sabar (menahan) dari syahwat perut dan kemaluan disebut iffah
Jika di dalam musibah, secara singkat disebut sabar, kebalikannya adalah keluh kesah.
Jika sabar di dalam kondisi serba berkucukupan disebut mengendalikan nafsu, kebalikannya adalah kondisi yang disebut sombong (al-bathr)
Jika sabar di dalam peperangan dan pertempuran disebut syaja’ah (berani), kebalikannya adalah al-jubnu (pengecut
Jika sabar di dalam mengekang kemarahan disebut lemah lembut (al-hilmu), kebalikannya adalah tadzammur (emosional)
Jika sabar dalam menyimpan perkataan disebut katum (penyimpan rahasia)
Jika sabar dari kelebihan disebut zuhud, kebalikannya adalah al-hirshu (serakah)
Kebanyakan akhlak keimanan masuk ke dalam sabar, ketika pada suatu hari Rasulullah saw ditanya tentang iman, beliau menjawab: Iman aadalah sabar. Sebab kesabaran merupakan pelaksanaan keimanan yang paling banyak dan paling penting. “Dan orang-orang yang sabar dalam musibah, penderitaan dan dalam peperangan mereka itulah orang-orang yang benar imannya, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]: 177)
Dari itu kita dapat memahami mengapa al-Qur’an menjadikan masalah sabar sebagai kebahagiaan di akhirat, tiket masuk ke surga dan sarana untuk mendapatkan sambutan para malaikat. Dalam surat Al-Insan [72]: 12 “Dan Dia memberi balasan kepada mereka atas kesabaran mereka dengan surga dan (pakaian) sutera”. Dalam surat Ar-Ra’d [13]:23-24 “...Dan para malaikat masuk kepada tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan); keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”
Sabar, Suatu Kekhasan Manusia
Sabar adalah kekhasan manusia, sesuatu yang tidak terdapat di dalam binatang sebagai faktor kekurangannya, dan di dalam malaikat sebagai faktor kesempurnaannya.
Binatang telah dikuasai penuh oleh syahwat. Karena itu, satu-satunya pembangkit gerak dan diamnya hanyalah syahwat. Juga tidak memiliki “kekuatan” untuk melawan syahwat dan menolak tuntutannya, sehingga kekuatan menolak tersebut bisa disebut sabar.
Sebaliknya, malaikat dibersihkan dari syahwat sehingga selalu cenderung kepada kesucian ilahi dan mendekat kepada-Nya. Karena itu tidak memerlukan “kekuatan” yang berfungsi melawan setiap kecenderungan kepada arah yang tidak sesuai dengan kesucian tersebut.
Tetapi manusia adalah makhluk yang dicipta dalam suatu proses perkembangan; merupakan makhluk yang berakal, mukallaf (dibebani) dan diberi cobaan, maka sabar adalah “kekuatan” yang diperlukan untuk melawan “kekuatan” yang lainnya. Sehingga terjadilah “pertempuran” antara yang baik dengan yang buruk. Yang baik dapat juga disebut dorongan keagamaan dan yang buruk disebut dorongan syahwat.
Pentingnya Kesabaran
Agama tidak akan tegak, dan dunia tidak akan bangkit kecuali dengan sabar. Sabar adalah kebutuhan duniawi keagamaan. Tidak akan tercapai kemenangan di dunia dan kebahagaiaan di akhirat kecuali dengan sabar.
Al-Qur’an telah mengisyaratkan pentingnya kesabaran ini. Ketika mengyinggung masalah penciptaan manusia dan cobaan penderitaan yang akan dihadapinya. Dalam surat Al-Insaan [76]: 2 “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang tercampur yang Kami hendak mengujinya )dengan perintah dan larangan)”.
Pentingnya Kesabaran Bagi Orang Beriman.
Sudah menjadi sunnatulah bahwa kaum muslimin harus berhadapan dengan para musuhnya yang jahat yang membuat makar dan tipu daya. Seperti Allah menciptakan Iblis untuk Adam; Namrud untuk Ibrahim; Fir’aun untuk Musa dan Abu Jahal untuk Muhammad saw.
Dalam Surat al-Ankabut [29]]: 1-3 “Ali Laam Miim. Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan; kami telah beriman, padahal mereka belum diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.” ##

TAFSIR AL-QUR’AN

Tafsir Al-Qur’an yaitu penjelasan makna-makna Al-Qur’an. Tafsir Al-Qur’an diperlukan dalam memahami Al-Qur’an secara benar. Nabi saw juga diperintahkan untuk mengajarkan Tafsir Al-Qur’an kepada para Shahabat ra , sebagaimana firman Alloh ta’ala :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Adz-Dzikr ( yakni Al-Qur’an ) agar kamu menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka menjadi ingat.” ( Qs. An-Nahl : 44 )
Demikian para Shahabat ra belajar Al-Qur’an dari Nabi saw tidak hanya bunyi lafazhnya saja, namun juga ilmu ( tafsir )-nya dan pengamalannya.

METODE TAFSIR AL-QUR’AN
Menafsirkan Al-Qur’an sama halnya dengan menjelaskan maksud Alloh ta’ala yang Dia kehendaki dalam firman-Nya. Sehingga tidak boleh hukumnya menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu, karena termasuk berkata atas nama Alloh dengan tanpa ilmu.
Metode Tafsir Al-Qur’an yang benar sebagaimana disepakati oleh para ‘ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah yaitu :
1. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, contoh :
Firman Alloh ta’ala :
أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَ لاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Ketahuilah sesungguhnya para wali Alloh itu tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” ( Qs. Yunus : 62 )
Siapakah wali Alloh yang dimaksud dalam ayat ini ? Ayat yang selanjutnya menafsirkannya :
الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ كَانُوْا يَتَّقُوْنَ
“Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka bertaqwa.” ( Qs. Yunus : 63 )
2. Tafsir Al-Qur’an dengan As-Sunnah ( Hadits ), contoh :
Firman Alloh ta’ala :
حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَ الصَّلاَةِ الْوُسْطَى
“Jagalah oleh kalian sholat-sholat dan sholat wushtho.” ( Qs. Al-Baqoroh : 238 )
Apakah sholat wushtho itu ? Rosululloh saw bersabda :
شَغَلُوْنَا عَنْ الصَّلاَةِ الْوُسْطَى حَتَّى غَرَبَتِ الشَّمْسُ مَلأَ اللَّهُ قُبُوْرَهُمْ وَبُيُوتَهُمْ
“Mereka telah menjadikan kita lalai dari sholat wushtho, yaitu sholat ‘ashr sampai matahari tenggelam, semoga Alloh memenuhi kuburan dan rumah mereka dengan api.” ( HR. Ahmad, Muslim dll )
3. Tafsir Al-Qur’an dengan penafsiran Shahabat, contoh :
Firman Alloh ta’ala :
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
“Pada hari ada wajah yang putih berseri dan ada pula wajah yang hitam muram.” ( Qs. Ali ‘Imron : 106 )
Berkata Ibnu ‘Abbas ra : “Wajah yang putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal-Jama’ah. Wajah yang hitam muram adalah Ahlul-Bida’ wadh-Dholalah.” ( AR. Ibnu Abi Hatim )
4. Tafsir Al-Qur’an dengan penafsiran Tabi’in, contoh :
Firman Alloh ta’ala :
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
“Katakan : Aku berlindung dengan Tuhannya falaq.” ( Qs. Al-Falaq : 1 )
Berkata Mujahid : “Al-Falaq yaitu Shubuh.” ( AR. Al-Bukhori )
5. Tafsir Al-Qur’an dengan ketentuan makna bahasa dan istilah.
Firman Alloh ta’ala :
لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ
“Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan.” ( Qs. Al-Ikhlash : 3 )
Secara bahasa maupun istilah agama makna ayat tersebut adalah Alloh tidak memiliki anak dan tidak memiliki orang tua yang melahirkannya.
Namun bila ada pertentangan antara makna bahasa dengan istilah syari’ah, maka yang didahulukan adalah makna menurut istilah syari’ah ( agama ) karena Al-Qur’an datang untuk menjelaskan syari’at ( agama ), bukan menjelaskan bahasa. Contoh :
وَ أَقِمِ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ
“Tegakkanlah Sholat, karena sholat akan dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” ( Qs. Al-‘Ankabut : 45 )
Sholat menurut bahasa artinya “ berdo’a ”, sedangkan sholat menurut istilah syari’ah berarti ibadah yang diawali takbirotul-ihrom dan diakhiri dengan salam dengan tata cara yang tertentu. Makna SHOLAT di ayat ini berarti sholat menurut istilah.
Kecuali bila ada keterangan yang menunjukkan bahwa makna bahasa yang dikehendaki, contoh :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَ تُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَ صَلِّ عَلَيْهِمْ
إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَ اللَّهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Ambillah dari harta mereka shodaqoh ( zakat ) yang kamu bisa membersihkan dan mensucikan mereka dengannya, dan bacalah sholat ( sholawat ) untuk mereka, karena sholat ( sholawat )-mu adalah ketenangan bagi mereka, dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ( Qs. At-Taubah : 103 )
Sholat dalam ayat ini bermakna do’a, bukan sholat menurut istilah syari’ah, karena berdasarkan hadits Nabi saw :
كَانَ النَّبِيُّ إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ قَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ فُلاَنٍ
“Adalah Nabi saw bila ada suatu kaum yang datang membawa shodaqoh ( zakat ) mereka, beliau berdo’a : “Ya Alloh, curahkan sholawat atas keluarga si-fulan.” ( HR. Ahmad, Al-Bukhori dll )
HUKUM TAFSIR DENGAN AKAL
Dilarang menafsirkan Al-Qur’an semata-mata dengan pendapat akal, sebagaimana perkataan Imam Mujahid dan Qotadah :
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
“Barangsiapa yang berkata di dalam ( menafsirkan ) Al-Qur’an dengan pendapatnya, maka meskipun benar dia tetap salah.” ( ASR At-Tirmidzi )
Karena fungsi akal hanya memahami berdasarkan tafsirnya dan menerapkannya dalam realita kehidupan.
MASALAH ISROILIYYAT
Isroiliyyat yaitu kisah-kisah yang dituturkan oleh orang-orang Bani Isroil, yaitu umat Yahudi dan Nashrani. Sumbernya bisa kitab suci mereka, yaitu : Taurot, Zabur dan Injil, dan kisah dari mulut ke mulut. Isroiliyyat terbagi menjadi tiga kelompok :
1. Yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka wajib untuk ditolak.
2. Yang diakui oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka wajib pula untuk dibenarkan dan dapat dijadikan kelengkapan tafsir.
3. Yang tidak diakui namun tidak juga bertentangan, maka wajib untuk didiamkan, tidak diingkari namun tidak pula dibenarkan.
MUFASSIR
Orang yang ahli dalam menafsirkan Al-Qur’an disebut dengan mufassir ( الْمُفَسِّرُ ). Untuk menjadi seorang mufassir harus memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Menguasai bahasa ‘arab.
2. Menguasai ilmu Nahwu ( ilmu tata bahasa ‘arab )
3. Menguasai ilmu Shorof ( ilmu perubahan kata bahasa ‘arab )
4. Menguasai Isyqoq ( ilmu asal-usul kata dalam bahasa ‘arab ).
5. Menguasai ilmu Balaghoh ( sastra ) yang terdiri dari tiga disiplin ilmu, yaitu : Ma’ani ( ilmu ketepatan bahasa ), Bayan ( ilmu kejelasan bahasa ) dan Badi’ (ilmu keindahan bahasa ).
6. Menguasai ilmu Qiro’at terutama qiro’at yang mutawatir.
7. Menguasai ilmu ‘Aqidah.
8. Menguasai ilmu Ushul Fiqh.
9. Menguasai ilmu Nasikh dan Mansukh dari ayat-ayat Al-Qur’an.
10. Menguasai ilmu Fiqh.
11. Menguasai hadits-hadits yang berkaitan dengan tafsir.
12. Memiliki bakat dan kemampuan untuk menafsirkan Al-Qur’an.
MENGENAL AHLI TAFSIR
Ahli Tafsir dari generasi Shahabat ra yaitu : Abu Bakar, ‘Umar bin Al-Khoththob, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Tholib, ‘Abdulloh bin Mas’ud, ‘Abdulloh bin ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit , Abu Musa Al-Asy’ari dan ‘Abdulloh bin Az-Zubair.
Ahli Tafsir dari generasi Tabi’in, yaitu : Mujahid, Atho’ bin Abi Ribah, ‘Ikrimah Maula Ibni ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, Zaid bin Aslam, Qotadah, Adh-Dhohhak, Ar-Robi’ bin Anas dan lain-lainnya.
Setelah zaman para Shahabat dan Tabi’in, muncul para ulama generani Tabi’it Tabi’in yang menghimpun tafsir-tafsir Shahabat dan Tabi’in, seperti : Sufyan bin ‘Uyainah, Malik bin Anas, Waqi’ bin Al-Jarroh, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Yazid bin Harun, ‘Abdur Rozzaq, Adam bin Iyas, Ishaq bin Rohawaih, Ruh bin ‘Ubadah, ‘Abd bin Hamid, Sa’id dan Abu Bakar bin Abi Syaibah dan lain-lainnya.
Setelah itu muncul para ‘ulama yang menulis Kitab Tafsir, seperti Ibnu Jarir Ath-Thobari, Ibnu Abi Hatim, Al-Qurthubi, Ibnu Katsir dan lain-lainnya.
PERSELISIHAN DALAM TAFSIR AL-QUR’AN
Perselisihan dalam Tafsir Al-Qur’an yang ma’tsur - yaitu yang dinukil dari tafsir shahabat atau tabi’in – dikelompokkan dalam tiga macam, yaitu :
1. Perselisihan dalam lafazhnya, namun maknanya sama, contoh :
وَ قَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوْا إِلاَّ إِيَّاهُ
“Dan Tuhanmu menetapkan bahwa janganlah kalian menyembah kecuali hanya kepada-Nya.” ( Qs. Al-Isro’ : 23 )
Berkata Ibnu ‘Abbas dan Qotadah : قَضَى bermakna : أَمَرَ “memerintahkan”.
Berkata Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Mujahid, Ad-Dhohhak : قَضَى bermakna : وَصَّى “mewasiatkan”.
Berkata Ar-Robi’ bin Anas : قَضَى bermakna : أَوْجَبَ “mewajibkan”.
Dan semua tafsir tersebut adalah semakna atau tidak bertentangan
2. Perselisihan dalam lafazh dan makna, dan memang ayat tersebut dapat dimaknai dengan semua maknanya itu, contoh :
وَكَأْسًا دِهَاقًا
“Dan gelas-gelas yang penuh terisi.” ( Qs. An-Naba’ : 34 )
3. Perselisihan dalam lafazh dan makna, tetapi ayat tersebut tidak dapat dimaknai dengan semua maknanya itu karena adanya pertentangan di dalamnya, maka hanya boleh dipakai tafsir yang paling kuat dengan melihat kepada keshohihan sanadnya atau kepada konteks kalimatnya atau keterangan penyerta lainnya, contoh :
قَالَ الَّذِيْ عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا آَتِيْكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ
“Berkata orang yang di sisinya ada ilmu dari Al-Kitab : “Aku akan membawakan singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” ( Qs. An-Naml : 40 )
Berkata Ibnu Abi Bazzah : “Yaitu Usthum.”
Berkata Ibnu ‘Abbas : “Yaitu Aashif sekretaris Nabi Sulaiman.”
Berkata Qotadah : “Seorang laki-laki dari Bani Isroil yang mengetahui nama Alloh yang paling agung yang bila diminta dengan menyebutnya pasti dikabulkan.”
Tafsir dari Ibnu Abi Bazzah dan Ibnu ‘Abbas diriwayatkan dengan sanad yang dho’if ( lemah ), ada pun tafsir dari Qotadah diriwayatkan dengan sanad yang hasan ( bagus ), sehingga tafsir dari Qotadah yang dipakai.
Contoh yang lain :
يَوْمَ يَقُوْمُ الرُّوحُ وَ الْمَلائِكَةُ صَفًّا
“Pada hari berdiri Ruh dan para malaikat dengan berbaris.” ( Qs. An-Naba’ : 38 )
Banyak tafsir seputar ayat ini, di antaranya :
Al-‘Aufi meriwayatkan tafsir dari Ibnu ‘Abbas : “yaitu ruh anak cucu Adam.”
Al-Hasan Al-Bashri berkata : “Yaitu anak cucu Adam.”
Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Abu Sholih dan Al-A’masy menafsirkan : “Yaitu makhluk ciptaan Alloh yang berbentuk manusia, tetapi bukan manusia dan bukan pula malaikat.”
Asy-Sya’bi, Sa’id bin Jubair dan Adh-Dhohhak menafsirkan : ”Yaitu malaikat Jibril.”
Dan masih banyak tafsir-tafsir yang lainnya, tetapi tafsir yang paling kuat adalah malaikat Jibril, berdasar keterangan dalam ayat yang lain :
نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الأَمِيْنُ عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُوْنَ مِنَ الْمُنْذِرِيْنَ
“Turun Ruh yang terpercaya ( Jibril ) dengan membawa Al-Qur’an kepada hatimu ( Muhammad ) agar kamu menjadi termasuk ke dalam golongan orang-orang yang memberikan peringatan.” ( Qs. Asy-Syu’aro’ : 193 – 194 )

Tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imron Ayat 130: Riba Jahiliah

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Qs. Ali Imron [3]: 130)

Tentang sebab turunnya ayat di atas, Mujahid mengatakan, “Orang-orang Arab sering mengadakan transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh tempo sudah tiba dan pihak yang berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada penundaan waktu pembayaran dengan kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan juga menjadi bertambah maka alloh menurunkan firman-Nya… (ayat di atas).” (al Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)

Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi mengatakan, “Ketahuilah wahai orang yang beriman bahwa riba yang dipraktekkan oleh bank konvensional pada saat ini itu lebih zalim dan lebih besar dosanya dari pada jahiliah yang Allah haramkan dalam ayat ini dan beberapa ayat lain di surat al Baqarah. Hal ini disebabkan riba dalam bank itu buatan orang-orang Yahudi sedangkan Yahudi adalah orang yang tidak punya kasih sayang dan belas kasihan terhadap selain mereka.

Buktinya jika bank memberi hutang kepada orang lain sebanyak seribu real maka seketika itu pula bank menetapkan bahwa kewajiban orang tersebut adalah seribu seratus real. Jika orang tersebut tidak bisa membayar tepat pada waktunya maka jumlah total yang harus dibayarkan menjadi bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari jumlah hutang sebenarnya.

Bandingkan dengan riba jahiliah. Pada masa jahiliah nominal hutang tidak akan bertambah sedikit pun jika pihak yang berhutang bisa melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo. Dalam riba jahiliah hutang akan berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang tidak bisa melunasi hutangnya tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan penangguhan waktu pembayaran.

Boleh jadi ada orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktek para rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela mereka karena ulah tersebut.

Sedangkan setelah Allah mengharamkan riba maka semua bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit. Perhatikan sabda Rasulullah yang menegaskan hal ini,

دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً

“Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan mengetahui bahwa itu adalah uang riba dosanya lebih besar dari pada berzina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dari Abdulloh bin Hanzholah dan dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih al Jami’, no. 3375)” [Nida-atur Rahman li Ahli Iman hal 41]

Dalam hadits di atas dengan tegas Nabi mengatakan bahwa uang riba itu haram meski sangat sedikit yang Nabi ilustrasikan dengan satu dirham. Bahkan meski sedikit, Nabi katakan lebih besar dosanya jika dibandingkan dengan berzina bahkan meski berulang kali. Jadi hadits tersebut menunjukkan bahwa uang riba atau bunga itu tidak ada bedanya baik sedikit apalagi banyak.

Ayat ini berada di antara ayat-ayat yang membicarakan perang Uhud. Sebabnya menurut penjelasan Imam Qurthubi adalah karena dosa riba adalah satu-satunya dosa yang mendapatkan maklumat perang dari Allah sebagaimana dalam QS. al Baqarah [2]: 289. Sedangkan perang itu identik dengan pembunuhan. Sehingga seakan-akan Allah hendak mengatakan bahwa jika kalian tidak meninggalkan riba maka kalian akan kalah perang dan kalian akan terbunuh. Oleh karena itu Allah perintahkan kaum muslimin untuk meninggalkan riba yang masih dilakukan banyak orang saat itu (lihat Jam’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)

Kemudian Allah ta’ala berfirman, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah’ yaitu terkait dengan harta riba dengan cara tidak memakannya.

Al Falah/keberuntungan dalam bahasa Arab adalah bermakna mendapatkan yang diinginkan dan terhindar dari yang dikhawatirkan. Oleh karena itu keberuntungan dalam pandangan seorang muslim adalah masuk surga dan terhindar dari neraka. Surga adalah keinginan setiap muslim dan neraka adalah hal yang sangat dia takuti.

Ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan itu akan didapatkan oleh orang yang bertakwa dan salah satu bukti takwa adalah menghindari riba.

Hal ini menunjukkan bahwa jika kadar takwa seseorang itu berkurang maka kadar keberuntungan yang akan di dapatkan juga akan turut berkurang.

Di antara bukti bahwa meninggalkan riba itu menyebabkan mendapatkan keberuntungan adalah kisah seorang sahabat yang bernama ‘Amr bin Uqois sebagaimana dalam hadits berikut ini.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنْ عَمْرَو بْنَ أُقَيْشٍ كَانَ لَهُ رِبًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكَرِهَ أَنْ يُسْلِمَ حَتَّى يَأْخُذَهُ فَجَاءَ يَوْمُ أُحُدٍ فَقَالَ أَيْنَ بَنُو عَمِّي قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ أَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ فَأَيْنَ فُلَانٌ قَالُوا بِأُحُدٍ فَلَبِسَ لَأْمَتَهُ وَرَكِبَ فَرَسَهُ ثُمَّ تَوَجَّهَ قِبَلَهُمْ فَلَمَّا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ قَالُوا إِلَيْكَ عَنَّا يَا عَمْرُو قَالَ إِنِّي قَدْ آمَنْتُ فَقَاتَلَ حَتَّى جُرِحَ فَحُمِلَ إِلَى أَهْلِهِ جَرِيحًا فَجَاءَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ لِأُخْتِهِ سَلِيهِ حَمِيَّةً لِقَوْمِكَ أَوْ غَضَبًا لَهُمْ أَمْ غَضَبًا لِلَّهِ فَقَالَ بَلْ غَضَبًا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ فَمَاتَ فَدَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَا صَلَّى لِلَّهِ صَلَاةً

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy sering melakukan transaksi riba di masa jahiliah. Dia tidak ingin masuk Islam sehingga mengambil semua harta ribanya. Ketika perang Uhud dia bertanya-tanya, “Di manakah anak-anak pamanku?” “Di Uhud”, jawab banyak orang. “Di manakah fulan?”, tanyanya lagi. “Dia juga berada di Uhud”, banyak orang menjawab.” Di mana juga fulan berada?”, tanyanya untuk ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”, jawab banyak orang-orang. Akhirnya dia memakai baju besinya dan menunggang kudanya menuju arah pasukan kaum muslimin yang bergerak ke arah Uhud. Setelah dilihat kaum muslimin, mereka berkata, “Menjauhlah kamu wahai Amr!” Abu Amr mengatakan, “Sungguh aku sudah beriman.” Akhirnya beliau berperang hingga terluka lalu digotong ke tempat keluarganya dalam kondisi terluka. Saat itu datanglah Sa’ad bin Muadz, menemui saudara perempuannya lalu memintanya agar menanyai Abu Amr tentang motivasinya mengikuti perang Uhud apakah karena fanatisme kesukuan ataukah karena membela Allah dan rasul-Nya. Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena membela Allah dan Rasul-Nya.” Beliau lantas meninggal dan masuk surga padahal beliau belum pernah melaksanakan shalat satu kali pun. (HR. Abu Daud, Hakim dan Baihaqi serta dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud no. 2212).

Ad Dainuri bercerita bahwa Abu Hurairah pernah bertanya kepada banyak orang yang ada di dekat beliau, “Siapakah seorang yang masuk surga padahal sama sekali belum pernah shalat?” Orang-orang pun hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas mengatakan, “Saudara bani Abdul Asyhal.”

Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan ada orang yang menanyakan perihal Abu ‘Amr kepada Rasulullah, beliau lantas bersabda, “Sungguh dia termasuk penghuni surga.” (Tafsir al Qosimi, 2/460)

Catatan Penting: Hadits di atas tidaklah tepat jika dijadikan dalil bahwa orang yang tidak shalat itu tidak kafir karena sahabat tadi bukannya tidak ingin mengerjakan shalat namun dia tidak berkesempatan untuk menjumpai waktu shalat sesudah dia masuk Islam karena kematian merenggutnya terlebih dahulu.

Pada ayat selanjutnya Allah menakuti-nakuti kita sekalian dengan neraka. Banyak pakar tafsir yang menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ancaman keras untuk orang-orang yang membolehkan transaksi riba. Siapa saja yang menganggap transaksi riba itu halal/boleh maka dia adalah orang yang kafir dan divonis kafir meski masih mengaku sebagai seorang muslim.

Ada juga pakar tafsir yang menjelaskan bahwa maksud ayat, waspadailah amal-amal yang bisa mencabut iman kalian sehingga kalian wajib masuk neraka. Di antara amal tersebut adalah durhaka kepada orang tua, memutus hubungan kekerabatan, memakan harta riba dan khianat terhadap amanat.

Abu Bakar al Warraq mengatakan, “Kami renungkan dosa-dosa yang bisa mencabut iman maka tidak kami dapatkan dosa yang lebih cepat mencabut iman dibandingkan dosa menzalimi sesama.”

Ayat di atas juga merupakan dalil yang menunjukkan bahwa saat ini neraka sudah tercipta karena sesuatu yang belum ada tentu tidak bisa dikatakan ’sudah disiapkan’. (Lihat Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)

Wanita munafik

Wainta yang munafik maksudnya, wanita yang ketika bertemu dengan anda dan berlalu dari anda memperlihatkan kecintaan, namun dalam batinnya tersimpan kebencian. Munafik adalah : penyakit sosial yang sangat berbahaya. Karena itulah Nabi saw. memperingatkan kita agar mewaspadainya, dan menjelaskan sebagian tanda2nya.

"Tanda orang munafik itu tiga. yakni, ketika berbicara ia berdusta, ketika ia berjanji ia ingkar, dan ketika di percaya ia berkhianat."

Sedangkan wanita yang munafik itu bisa anada kenali dari sikapnya yang mengabaikan sholat, membuang-buang waktu yang sebentar saja untuk mengingat Allah.

Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka, apabila mereka berdiri untuk sholat, mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan sholat ) di hadapan manusia. Tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (an-Nisa (4):142.

Wanita munafik ialah yang menolak keutamaan-keutamaan dan menerima kenistaan-kenistaan. Ia bukan hanya tidak mau membantu tetangga atau kaum kerabatnya yang tengah ditimpah kesulitan. Tetapi ia bahkan membujuk suaminya agar jangan membantu mereka. Ia tidak punya rasa malu terhadap kaum lelaki dan tidak malu dalam melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji.

Allah SWT berfirman:
Orang-orang munafik laki-laki dan wanita, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama. Mereka menyuruh membuat yang mungkar dan melarang berbuat yang makruf serta mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka Sesungguhnya orang-orang yang munafik adalah orang-orang yang fasik." (at-Taubah (9) :67)

Wanita yang munafik adalah yang dengki terhadap nikmat yang diterima orang lain. Hatinya terus gelisah selama nikmat itu masih belum hilang dari tangan orang yang ia dengki tadi. Ia bahkan berharap mudah-mudahan wanita yang sopan berubah menjadi wanita yang suka mempertontonkan kecantikannya kepada orang lain, dan wanita yang beriman menjadi wanita yang kafir. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan dalam firman Allah Ta'ala.

"Sebagian besar Ahli Kitab mengingatkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri." (al-Baqarah (2):109)

Ummu Jamil istri Abu Lahab sangat membenci Nabi saw. Ia selalu memanas-manasi beliau dengan sorot pandangan matanya yang tajam, dan menyakitkan beliau dengan tindakan serta mulutnya yang beracun. Ia selalu memanggil Beliau dengan Mudzammam (orang yang dikecam), kebalikan dari Muhamad (orang yang terpuji). Allah Ta'ala berfirman:

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, takala mereka mendengar bacaan Al Qur'an dan mereka berkata," Sesungguhnya ia (Muhamad) benar-benar orang yang gila." (al-Qalam (68):51)

Wanita yang munafik sering kali memperlihatkan penampilan dirinya yang cantik dan bertutur kata yang halus lembut. Tetapi dalam sekejap hal itu bisa berubah menjadi sebilah pisau yang tajam yang akan menikam wanita-wanita lain. Ia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak mengganggu dan menyakiti orang lain. Karena itulah, Allah menurunkan surah yang dikenal dengan nama surah al-Munafiquun.