Senin, 21 Februari 2011

Adab-Adab Buang Hajat

Dari Salman radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Kaum musyrikin berkata kepada kami : Sesungguhnya saya telah melihat bahwa kawan kalian telah mengajarkan kepada kalian hingga diapun mengajarkan perihal buang air. Beliau berkata : Benar, sesungguhnya beliau telah melarang salah seorang diavntara kami beristinja’ – membersihkan kotoran setelah buang hajat – dengan mempergunakan tangan kanannya, atau menghadap kearah kiblat. Dan melarang mempergunakan kotoran hewan yang telah kering dan tulan – ketika beristinja’ “. Dan beliau berkata : “ Dan janganlah salah seorang diantara kalian beristinja dengan mempergunakan kurang dari tiga batu “[2]

Di antara adab-adab tentang buang hajat tersebut :

1. Menjauhkan diri dari tiga tempat yang dilaknat

Dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Hindarilah tiga tempat yang terlaknan : Buang hajat ditempat aliran air, dipinggir jalan dan ditempat berteduh “[3]

Dan pada hadits Abu Hurairah radhialahu ‘anhu, beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Kalian hindarilah dua sifat orang yang dilaknat “

Para sahabat berkata : “ Apakah dua sifat orang yang dilaknat itu wahai Rasulullah ? “

Beliau bersabda : “ Yaitu yang buang hajat dijalanan yang sering dilewatri kaum manusia dan ditempat mereka bernaung “[4]

Hadits Mu’adz secara terpisah menyebutkan al-mawarid dan yang dimaksud dengan al-maurud – bentuk tunggal al-mawarid – adalah tempat aliran air.[5]

Yaitu tempat aliran dan jalan air. Seperti dikatakan : ( وردت الماء ) apabila airnya datang mengalir untuk dijadikan minum[6].

Kedua hadits tersebut tercantum , salah satunya dengan lafazh menghindari tiga tempat yang dilaknat, dan lafazh satunya untuk menghindari dia sifat yang terlaknat. Lantas apakah maksud dari kedua hadits tersebut ?

Al-Khathtabi mengatakan : “ Yang dimaksud dengan dua sifat orang yang dilanat yaitu dua perkata yang sangat jelas menjadi sebab timbulnya laknat, yang menjadikan dan mendorong kaum manusia untuk melaknat pelakunya. Dan hal itu dikarenakan barang siapa yangmlekaukannya, maka akan dihujat dan dilaknat, yakni kebiasaan kaum manusia adalah melaknatnya. Dan ketika kedua hal tersebut telah menjadi sebab timbulnya laknat, maka laknat itupun disandarkan kepada keduanya “.

Beliau berkata : “ Dan bisa jadi pula yang melaknat bermakna yang memperoleh laknat. Sedangkan tempat yang dilaknat adalah tempat-tempat yang menjadi alasan adanya laknat.

Saya berkata : “ Dengan demikian, maka artinya : Hindarilah dua perkarta yang pelakunya dilaknat, dan ini sesuai dengan riwayat Abu Daud. Adapun pada riwayat Muslim, maka maknanya – walahu a’lam –adalah : Hindarilah perbuatan yang menjadi sebab laknat, yaitu pelakunya beroleh laknat, yaitu dua sifat orang yang kebiasaan kaum manusia melaknat mereka berdua wallahu a’lam[7] ”.

Dan sebab larangan buang hajat ditempat-tempat yang tiga ini, karena akan mengotori ketiga temapt tersebut dan menjadikannya bernajis dengan kotoran yang ada. Dan akan mengganggu kaum mukminin. Dan mengganggu mereka adalah perbuatan yang haram sesuai dengan nash Al-Qur`an, Allah ta’ala befirman :

“ Dan mereka yang menyakiti kaum mukminin laki-laki dan perempuan bukan karena perbuatan yang telah mereka lakukan, maka sesungguhnya mereka telah melakukan kedustaan dan perbuatan dosa yang jelas “ – Al-Ahzab : 58 –

Faedah : Dan termasuk dalam kalimat tempat bernaung adalah tempat yang bisa dipergunakan manusia untuk berjemur dibawah terik matahari ketika musim dingin. Asy-Syaikh Ibnu ‘utsaimin –rahimahullah – mengatakan : “ Ini adalah analogi yang jelas “[8]

Dengan begitu tidak diperbolehkan buang hajat pada tempat ini, dikarenakan alasan larangan buang hajat ditempat bernaung juga dijumpai pada tempat ini. Dan suatu hukum akan mengikuti sebabnya, ketika ada atau tidak sebab tersebut.

Faedah lainnya : Hadits-hadits tersebut mengisyaratkan bahwa larangan hanya berlaku pada keadaan buang hajat besar saja dan tidak berlaku pada buang air kecil. Dan ini merupakan pendapat An-Nawawi, beliau berkata dalam menjelaskan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Dan yang buang hajat ditempat berlalu-lalangnya kaum manusia dan ditempat bernaung mereka “, beliau mengatakan : “ Maknanya buang hajat besar ditempat manusia sering melintas “. Namun pendapat ini disanggah oleh Al-‘Adzim abadi, beliau berkata : “ Dan tidaklahshahih penafsiran An-Nawawi hanya dengan buang hajat besar. Seandainya benar, maka buang air kecil juga termasuk dari sisi qiyas … dan beliau alnjut mengatakan : “ Dan anda telah mengatehui bahwa makan at-takhalli adalah bersendiri untuk buang haja baik itu hajat besar ataupun hajat kecil … dan anda telah mengetahui bahwa al-baraaz, adalah suatu penamaan terhadap padang yang luas dipermukaan bumi, lalu mereka mengkonotasikannya dengan hajat/kotoran manusia, dikatakan : tabrraza ar-rajulu, yaitu apabila dia buang hajat besar, walau itu penaman yang ditujukan untuk buang air besar akan tetapi buang air kecil juga termasuk[9].

Masalah : Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempergunakan penutup/penghalang sewaktu buang hajat dibalik rimbunan pohon kurma, sementara rimbunan pohon kurma memiliki naungan/bayang-bayang, maka bagaimanakah menyelaraskanantara perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan larangannya ?

Jawab : Tempat bernaung yang dilarang untuk buang hajat adalah tempat bernaung yang kaum manusia berkumpul dan duduk dibawahnya, dan mereka menjadikannya sebagai tempat berteduh. Adapun perbuatanNabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka dipahami bahwa tempat naungan ini bukan yang dinginkan dan bukan pula yang disenangi untuk berada dibawahnya.

1. Larang kencinga di air yang tergenang

Disebutkan pada hadits Jabi radhiallahu ‘anh, beliau berkata : Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang kencing diair yang tergenang “[10]

Dan sebab larangan tersebut suatu yang jelas, yaitu kencing diair yang tergenang akan memungkinkan menajisi air. Dan buang haja tbesa diair yang tergenang lebih parah lagi dan lebih buruk dan lebih utama untuk dilarang. Dan dpat dipahami dari hadits tersebut bahwa hukum larangan tersebut tidaklah berlaku pada air yang mengalir. An-Nawawi berkata : ‘ Apabila airnya dalam jumlah yang banyak dnamengalir, tidaklah diharamkan kencing pada air tersebut, sesuai yang tersirat pada hadits tersebut “[11]

1. Suatu yang makruh, masuk ketempat untuk buang hajat dengan sesuatu yang tercantum nama Allah padanya.

Tujuannya untuk menjaga nama Allah ta’ala dari penghinaan dan pelecehan, dan bukan suatu yang pantas bagi seorang muslim , masuk kedalam toilet dengan sesuatu yang tercantum padanya nama Allah kecuali karena suatu keperluan.

Ibnu ‘Utsaimin mengatakan didalam Syarh beliau : “ Perkataan : ( Kecuali karena suatu keperluan ) , ini adalah pengecualian dari hukum makruh, yaitu apabila dia butuh memasukkan kedalam toilet itu, seperti uang kertas yang bertuliskan bismillah, karena jikalau kami mengatakan untuk tidak memasukkannya lalu mengeluarkannya dan meletakkannya didepan pintu toilet, akan menjadikannya lupa kepada uant tersebut. Dan apabila ditempat yang terbuka, maka akan memungkinkan untuk tertiup angin, dan apabila berada ditempat orang banyak, maka akan memungkinkan untuk dicuri[12].

Adapun mushhaf Al-Qur`an, maka tidak diragukan lagi keharaman memasukkannya kedalam tempat buang hajat dan ini merupakan pendapat para ulama. Hanya saja mereka membolehkan memasukkannya kedalam toilet apabila khawatir dicuri. Namun walau begitu, seorang muslim sepatutnya takut kepada AllahRabbnya, dan tidak membiarkan Kalam Allah direndahkan. Dan wajib baginya untuk menjaga pekara itu semampunya , seperti menyerahkan mushhaf itu kepada seseorang yang lainnya hingga dia keluar dari toilet, dan cara-cara lainnya. Namun apabila tidak ada, maka Allah tidaklah membebani seseorang kecuali yang dia sanggup lakukan[13].

1. Larangan menghadap dan membelakangi kiblat

Pada pembahasan ini ada beberapa hadits diantaranya, hadits Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Apabila salah seorang diantara kalian buang hajat besar maka janganlah dia menghadap kekiblat dan janganlah dia mengarahkan punggungnya kekiblat, akan tetapi menghadaplah kearah timur atau barat “

Pada lafazh riwayat Muslim dan selainya :

“ … Janganlah kalian menghadap kearah kiblat dan janganlah kalian membelakanginya dengan kencing atau buang hajat besar, akan tetapi menghadaplah kearah timur atau barat “[14]

Dan diantaranya juga hadits Ibnu Umar radhiallhu ‘anhuma, diriwyatkan oleh Wasi’ bin Hibban beliau berkata : Dari Abdullah bin Umar, bahwa beliau pernah mengatakan : “ Sesungguhnya orang-orang mengatakan apabila anda duduk menunaikan hajat anda, maka janganlah anda menghadap kearah kiblat dan jangan pulakearah Bait Al-Maqdis. Maka Abdullah bin Umar berkata : “ Sungguh saya telah memanjat rumah kami, dan saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada pada dua batu sedang mengahdap kearah Baitu Al-Maqdis sedang menunaikan hajatnya … al-hadits”[15]

Dan diantaranya hadits Salaman , beliau berkata : “ Ada yang bertanya kepada beliau : Sesungguhnya Nabi kalian Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu hingga persoalan buang hajat. Beliau berkata : benar, beliau telah melarang kami menghadap kekiblat ketika buang hajat besar dan kencing … al-hadits “[16]

Diantaranya hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : “ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menghadap kearah kiblat sewaktu kencinga , namun saya melihat beliau setahun sebelum beliau wafat menhadap kearh kiblat “[17]

Dan dari Marwan Al-Ashfar, beliau berkata : “ Saya telah melihat Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, menambatkan tungangannyamnghadap kearah kiblat, lalu beliau duduk dankencing kearah tunggannya. Maka saya berkata : Wahai Abu Abdirahman : Bukankah perbuatan ini telah dilarang? Beliau berkata : benar, namun pebuatan tersebut dilarang apabila dilakukan ditengah-tengah padang terbuka, namun apabila antara engkau dan kiblat ada suatu penghalang maka tidak mengapa “[18]

Hadits-hadits diatas secarazhahir nampak kontradiktif satu dengan lainnya, dan karena inilah par aulama berbeda persepsi dalam menentukan hukummenghadap kearah kiblat dan membelakangunya sewaktu menunaikan hajat, baik itu disuatu ruangan/toilet atau diluar ruangan. Hadits Abu Ayyub radhiallahu ‘anhu menunjukkan larangan menghadap kearah kiblat dan membelakanginya secara mutlak, baik itu di padang terbuka atau didalam ruangan tertutup.

Sedangkan hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma , ketika beliau memanjat atap rumah Hafshah radhiallahu ‘anha menunjukkan bolehnya membelakangi kiblat namun tidak boleh menghadap kearah kiblat dibalik ruangan tertutup atau tempat yang semisalnya, dan sebagaimana juga perbuatan Ibnu Umar yang menempatkan tungganannya antara dia dan kiblat sewaktu menunaikan hajatnya.

Dan hadits Salman radhiallahu ‘anhu berisi larangan menghadap kearah kiblat secara mutlak, baik didalam ruangan atau ditempat lainnya.

Dan hadits Jabir radhiallahu ‘anhu menunjukkan bahwa akhir perkara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pembolehan menghadap kearah kiblat.

Madzhab-madzhab ulama dalam masalah ini sangatlah banyak, mengikuti zhahir nash-nash yang saling bertentangan akan tetapi menyelaraskan hadits-hadits tersebut suatu yang memungkinkan.

An-Nawawi mengatakan : “ Dan tidak ada perbedaan dikalangan ulama bahwa apabila memungkinkan untuk menyelaraskan hadits-hadits tersebut maka meninggalkan sebagian hadits-hadits tersebut tidak dilakukan, melainkan wajib untuk menyelaraskannya dan mengamalkan kesemua hadits-hdist tersebut[19].

Dan pendapat yang kami pilih, adalah ahramnya menghadap kearah kiblat dan membelakanginya ketika berada dipadang terbuka, namun diperbolehkan ketika berada diruangan tertutup atau ketika ada penghalang antara seseorang yang buang hajat dengan kiblat, baik dia menghadap kearah kiblat maupun membelakanginya. Dan inilah pendapat tyang dikuatkan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah[20].

1. Bacaan yang dibaca ketika masuk dan keluar dari toilet

Tempat-tempat buang hajat adalah tempat-tempat yang najis dan kotor. Dan syaithan sudah makruf keberadaannya menempati tempatptempat najis dan menyukai tempat-tempat itu. Olehnya itu, syaithan banyak menempati rimbunan dan pohon-pohon kurma yang menyemak – sebagai tmepat buang hajat -.

Dari Zaid bin Arqam dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

“ Sesungguhnya pohon-pohon kurma yang menyemak ini adalah tempat hadirnya syaithan … al-hadits “[21]

Dan syaithan adalah musuh kaum manusia, dan dia tidak akan berpisah dari permusuhannya dan menyakiti kaum manusia, dan dia mendapatkan kesempatan berbuat jahat dirimbunan dan pohon-pohon kurma yang menyemak. Olehnya itu syariat datang untuk memberi penjagaan kepada badan dan akal kaum manusia. Allah mensyra’iatkan kepada kaum manusia untuk membaca sejumlah doa yang akan menjaganya seiring dengan perintah Allah subahanahu wata’ala.

Seseorang yang hendak masuk kedalam tempat buang hajat, hendaknya mendahulukan kaki kirinya. Syaikhul Islam mengatakan : “ Qawa’id Syar’iyah telah menetapkan bahwa segala perbuatan yang mana anggota tubuh bagian kanan dan kiri bersamaan pengerjaannya, maka bagian kanan didahulukan apabila perbuatan tersebut suatu yang mulia seperti wudhu’, mandi, mendahulukan bagian kanan disaat bersiwak, mencabut bulu ketiak, memakai pakaian, memakai sandal, menyisir rambut, masuk kedalam masjid dan rumah, dan keluar dari tempat buang hajat dan lain sebagainya. Dan kaki kiri didahulukan pada perbuatan yang sebalknya, seperti masuk kedalam tempat buang hajat, melepaskan sandal, dan keluar dari masjid[22].

Dan sewaktu masuk kedalam tempat buang hajat, disneangi seseorang yang hendak masuk untuk mengucapkan: Bismillah Sebagaimana riwayat Ali bin Abi Thlaib radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Penghalang antara jin dan aurat bani Adam apabila dia masuk kedalam empat buang hajat adalah ucapan : Bismillah “[23]

Dan disunnahkan membaca :

“ A’udzi billah min al-khubuts wal-khabaa`its “[24]

Abdul Azis bin Shuhaib meriwayatkan , bahwa beliau pernah mendengar Anas mengatakan : Bahwa apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak masuk kedalam tempat buang hajat, beliau mengucapkan : Allahumman inni ‘audzu bika min al-khubuts wal-khabaa`its “ … Al- Bukhari mengatakan : Sa’id bin Zaid mengatakan : “ Apabila beliau hendak masuk “[25]

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Apabila beliau hendak masuk “. Memberikan faedah bahwa yang masuk kedalam tempat buang hajat mengucapkan bacaan ini sebelum dia masuk bukan setelahnya.

Faedah dari membaca doa al-isti’adzah – meminta perlindungan – ini adalah al-iltija’ – kembali berserah diri – kepada Allah ‘azza wajalla dari segala al-khubtsi wal-khabaa`its. Dikarenakan tempat ini adalah tempat yang kotor, dan tempat yang kotor adalah tempat kediaman segala yang buruk. Dan meruapak empat berdiamnya pra syaithan. Maka tepat kiranya apabila seseorang hendak masuk kedalam tempat buang hajat dia mengucapkan : A’udzu billah minal-khubuts wal-khabaits agar dia tidak tertimpa keburukan, dan tidak juga al-khabaa`its yaitu jiwa yang keji. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu ‘Utsaimin[26].

Dan setelah keluar dari tempat buang hajat seseorang hendaklah mengucapkan “Gufraanaka”. Dari Aisyah radhiallahu anha : “Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari buang hajat mengucapkan “ Gufraanaka”, dan pada riwayat At-Tirmidzi :” Apabila keluar dari tempat buang hajat”. [27]Dan perkataan Aisyah :” Ketika keluar”, maksudnya disini adalah setelah keluar dari tempat buang hajat.

Faedah : Adab ini tidaklah membatasi hanya pada tempat-tempat yang dipakai untuk buang hajat, akan tetapi disenangi melakukannya hingga dipadang pasir sekalipun. Apabila seseorang yang akan buang hajat sudah dekat dengan tempat yang dia pilih untuk melaksanakan hajatnya atau dia akan duduk maka hendaklah dia membaca doa masuk, dan ketika sudah selasai menunaikan hajatnya maka dia membaca doa keluar. Berkat Imam An-Nawawi : “ Adab ini adalah kumpulan atas sunah, dan tidak ada perbedaan padanya antara bangunan dan padang pasir wallahu a’lam.[28]

1. Menutup diri ketika Buang Hajat

Ini adalah adab Nabi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk atas hal ini kepada umat beliau agar supaya menutup diri ketika mereka membuang hajat, dikarenakan buang hajat adalah penyebab untuk menampakkan aurat, dan syariat menyuruh untuk menutup dan menjaga aurat bukan malah membukanya. Diriwayatka dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu beliau berkata : ” Aku pernah bersafar bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau berkata :” Wahai Mughirah ambillah bejana air maka sayapun mengambilnya, kemudian Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak pergi hingga tidak nampak olehku dan beliau menyelesaikan hajatnya dan ditutupi oleh jubah Syamiyah … al-hadits”. Dan pada riwayat Muslim : “ Lantas beliau berjalan hingga tersamarkan oleh kegelapan malam” , dan pada riwayat Ahmad :” Lalu kami beranjak pergi hingga kami tidak terlihat oleh kaum manusia, lalu beliau turun dari tungangannya kemudian beranjak pergfi dan tidak terlihat olehku … “[29]

Dan dari Al-Mughirah bin Syu’bah, beliau berkata : “ Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ketempat buang hajat[30] beliau ketempat yang jauh “[31]

Dari Abdullah bin Ja’far radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Saya membonceng kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari dibelakang beliau, dan beliau membisikkan suatu hadits kepadaku yang saya tidak ceritakan kepada seorangpun diantara kaum manusia. Dan tempat yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam paling senangi untuk menutup diri disaat buang hajat adalah hadfu dan haa`isy kurma[32] , Ibnu Asma mengatakan pada haditsnya : yaitu dinding pohon kurma “[33]

An-Nawawi berkata : “ Fiqh hadits ini diantaranya : Sunnahnya menutupi diri sewaktu menunaikan hajat baik dengan dinding pohon kurma, rimbunan pohon, atau lempengan tanah agak turun/rendah atau lainnya. Diamna dia tidak terlihat oleh pandangan kaum manusia dan ini merupakan Sunnah yang muakkadah, wallahu a’lam “[34]

Dan seseorang yang buang hajat dibalik bangunan ( toilet ), sudah mencukupkan dari upaya untuk menjaga agar aurat tidak tersingkap, karena adanya kamar kecil dan toilet yang tertutup Falillahil hamdu wal-minnah atas segala kemudahan-Nya.

Faedah : Dan sepatutnya seseorang yang buang hajat di padang pasir terbuka agar tidak mengangkat pakaiannya sebelum dia mendekati tanah, dan lebih khusus lagi apabila ada yang mungkin melihat kepadanya.

1. Kencing berdiri dan duduk

Asal posisi ketika kencing adalah smabil duduk. Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan : “ Barang siapa yang menceritakan kepada kalian bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kencing berdiri maka janganlah kalian membenarkanyya. Tidaklah beliau kencing kecuali smabil duduk”[35]

Hal itu dikarenakan seseorang yangkecing smabil berdiri biasanya tidak akan aman dari terkena percikan kencing pada tubuh dan pakaiannya, akan tetapi apabila memang perlu untuk kencing berdiri mka tidaklah mengapa. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : “ Dan saya telah melahat diriku dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan-jalan , hingga beliau mendatangi subathah[36] kaum, dibelakang tembok. Lalu beliau berdiri sebagaimana salah seorang diantara kalian berdiri kemudian beliau kencing dan saya menyingkir menjauhi dari beliau, namun beliau mengisyaratkan kepadaku, maka saya datang dan berdiri disamng belakang beliau hingga beliau selesai “[37]

Dan hadits Hudzaifah tidaklah saling bertentangan dengan perkataan Aisyah radhiallah ‘anhuma. Perkataan Aisyah dapat diinterpretasikan sebagai kebiasaan yangpaling sering dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kami katakan demikian karena telah shahih abhwa beliau kencing sambil berdiri. Dan para ulama memahami kencing Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menerangkan suatu yang diperbolehkan, atau hal tersebut beliau lakukan ditempat dimana beliau tidak memungkinkan untuk kencing sambil duduk.

Faedah : Boleh kencing berdiri mesti memenuhi dua syarat :

1. Aman dari terkena percikan najisnya
2. Aman dari pandangan orang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Utsaimin[38].

Masalah : Apakah boleh kencing sambil berdiri tanpa adanya hajat/keperluan ?

Jawab : Al-Lajnah Ad-Daa`imah berpendapat : Seandainya dia kencing sambil berdiri, maka orang tersebut tidak berdosa akan tetapi telah menyelisihi teladan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih utama dalam buang hajat yang paling utama dan yang sering beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kerjakan[39].

1. Larangan mempergunakan tangan kanan ketika buang hajat

Ketahuilah, bagi siapa yang menelaah nash-nash syara’, maka dia akan mendapati bahwa syariat datang untuk memuliakan tangan kanan dan juga kaki kanan dari kai iri dan tangan kiri. Dan mengarahkan semua hamba agar mempergunakan tangan kanan mereka dalam melakukan perbuatan yang muli, sementara tangan kiri mereka untuk perbuatan yang sebaliknya.

Dan berkaitan dengan pembahasan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memegang kemaluan dan ber-istinja` dengan tangan kanan.

Ibnul Jauzi mengatakan : “ Larangan menyentuh kemaluan dan ber-istinja` dengan tangan kanan karena dua makna :

Pertama : Untuk menghindarkan tangan kanan pada hal-hal yang kotor, olehnya itu bagian kanan dijadikan yang paling akhir masuk kedalam toilet dan yang paling awal ketika masuk kedalam masjid, dan tangan kanan dijadikan alat untuk makan, minum dan mengambil sesuatu dan bagian kiri diperuntukkan bagi hal-hal yang kotor

Kedua : Sekiranya tangan kanan ini bersentuhan langsung dengan najis, maka seorang manusia akan mengingatnya ketika dia hendak mengambil makanannya dengan tangan kanannya apa yang telah bersentuhan dengan tangan kanannya dan yang telah dipegangnya. Maka tabiat manusia akan merasa jijik dan menghindar. Dan dia akan membayangkan bekas dati najis itu pada tangannya, maka syariat bertujuan untuk membersihkan hal ini agar makanannya menjadi baik untuk disantap[40].

Abu Qatadah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda : “ Apabila salah seorang diantara kalian kencing maka janganlah dia memegang kemaluannya dengan tangan kanannya dan janganlah dia ber-istinja` dengan tangan kanannya dan janganlah dia menghembuskan nafas didalam bejana air . Dan pada riwayat Muslim dan selainnya : “ Janganlah salah seorang diantara kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanannya sewaktu kencing dan janganlah dia membasuh setelah buang hajat dengan tangan kanannya … “[41]

An-Nawawi mengatakan : “ Para ulama sepakat bahwa suatu yang terlarang beristinja` dengan mempergunakan tangan kanan, dan mayoritas dari para ulama berpendapat bahwa larangan tersebut hanya sebatas makruh dan sebagai tuntunan adab bukan pengharaman[42].

Masalah : Tidak ada hadits yang menyatakan larangan memegang dubur dengan tangan kanan ketika buang hajat besar ?

Jawab : Larangan memegang dubur dengan mempergunakan tangan kanan ketika buang hajat besar lebih utama dari pada memegang kemaluan dengan tangan kanan ketika kencing, dan ini merupakan bentuk qiyas al-aula – analogi yang lebih utama -. Dan bisa jadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan akan suatu yang lebih ringan hukumnya dan mencukupkannya dari suatu yang lebih berat, karena penunjukannya lebih keras lagi. Terlebih lagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Lebih malu dari pada seorang gadis yang dipingit “ [43]

Dan bukanlah sanggahan bagi kami, jikalau rasa malu beliau menjadi penghalang bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyampaikan agama Islam, dikarenakan penyampaian sudah terpenuhi dengan penyebutan hukum yang lebih ringan sebagai peringatan akan suatu hukum yang lebih berat. Wallahu a’lam.

Masalah lainnya : Thalq bin Hubaib radhiallahu ‘anhu mengatakan : Kami mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu seseorang sepertinya dia seorang badui, menjumpai beliau dan berkata : Wahai Nabi Allah, Bagaimanakah pendapat anda tentang seseorang yang memegang kemaluannya setelah berwudhu’ . Beliau bersabda : “ Tidaklah kemaluan itu melainkan salah satu anggota tubuhnya “, atau beliau bersabda : “ Bagian dari tubuhnya “[44].

Yang ditanyakan disini : Zhahir hadits Thalq menunjukkan bolehnya seseorang memegang kemaluannya disetiap keadaan, maka bagaimanakah menyelaraskannya dengan hadits : “ Barang siapa yang memegang kemaluannya maka hendaknya dia berwudhu’ “[45]?

Jawab : Al-Lajnah Ad-Daa`imah mengatakan : yang tepat diantara skeian pendapat paa ulama pada masalah ini, adalah pendapat mayoritas ulama, yakni bahwa wudhu’ akan batal dengan menyentuh kemaluan, dikarenakan hadits :” Dan tidaklah kemluan itu kecuali bagian dari ubuhmu “ adalah hadits yang dha’if, tidak akan kuat untuk dipertenangkan dengan hadits-hadits yang shahih yang menunjukkan bahwa barang siapa yang memegang kemaluannya maka wajib baginya untuk berwudhu’. Dan kaidah yang belaku, bahwa setiap perintah menunjukkan kewajiban . Dan jikalaupun dianggap hadits Thalq tidak dha’if, tetap hadits tersebut mansukh dengan hadits : “ Baang siapa yang memegang kemaluannya maka haruslah dia berwudhu’ “

1. Seputar al-Istinja’ dan al-Istijmar – memakai batuan untuk membersihkan setelah uang hajat –

Diantara kebaikan-kebaikan syariat Islam, bahwa syariat datang membawa kemudahan dan keringanan, meniadakan kesulitan pada saat mendapat suatu yang berat dan tidak sanggup untuk direalisasikan. Allah ta’ala berfirman :

“ Allah menghendaki bagi kalian kemudahan dan tidak menghendaki bagi kalian kesulitan “

Diantara kemudahan yang Allah anugrahkan kepada setiap hamba yang telah mukallaf, Allah membolehkan bagi mereka untuk membersihkan diri memakai batu-batuan dan yang semisalnya seperti kertas dan serbet dan yang serupa dengannya setelah selesai dari menunaikan hajat. Dan dapat menggantikan air dalam bersuci. Dan tidak disangsikan lagi bahwa ini adalah suatu kemudahan dikarenakan penggunaan air belum tentu sanggup bagi mereka pada setiap keadaan.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , beliau berkata : “ Saya telah mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau keluar untuk menunaikan hajatnya, dan beliau sama sekali tidak menoleh, maka sayapun mendekati beliau. Beliau bersabda : “ Carikanlah aku beberapa batu untuk saya gunakan ber-istinja`[46] – atau yang semisal kalimat tersebut – dan janganlah engkau mendatangkan tulang atau kotoran hewan yang telah kering. Maka saya mendatangkan beberapa batu dengan ujung pakaianku dan saya letakkan dismaping beliau, dan saya sodorkan kepada beliau, seelah beliau menyelesaikan hajatnya, beliau membersihkannya dengan batu-batuan tersebut “[47]

Faedah : Al-Istinja`, dapat dengan mempergunakan air dan dapat pula dengan mempergunakan batu. Dan dapat pula dengan mempergunakan kedua-duanya. Adapun yang pertama dan yang kedua telah ada beberapa atsar yang shahih menerangkannya. Sedangkan yang ketiga : Saya tidak mengetahui ada atsar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut, akan tetapi dari kandungan maknanya , hal tersebut lebih sempurna dalam pembersihan.Seperti yang diaktakan oleh Ibnu ‘Utsaimin[48].

1. Makruh istijmar dengan mempergunakan tulang dan kotoran hewan yang telah kering

Dan tatkala Allah ta’ala telah membolehkan melalui lisan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam pemakaian batu-batuan dan yang semisalnya sebagai ganti pemakaian air dalam membersihkan kotoran, Allah ta’ala melarang pemakaian kotoran hewan yang telah kering dan tulang karena adanya makna dari larangan tersebut, baik itu karena ditinjau sebagai peribadatan ataukah pada kotoran hewan dan tulang tidak memiliki kekhususan sebagai pembersih sebagaimana yang terdapat pada batu-batuan dan yang semisalnya.

Abdullah bin Mas’ud radhialahu ‘anhu meriwayatkan, bahwa beliau telah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang menunaikan hajat, maka beliau memerintahkan saya mendatangkan untuk beliau tiga buah batu, sayapun mendapatkan dua buah batu dan sudah mencari yang ketiga akan tetapi saya tidak mendapatkannya, kemudian aku mengambil kooran hewan yang telah kering lalu saya datangkan kepada beliau. Maka beliau mengambil kedua batu tersebut dan melemparkan kotoran hewan tersebut dan bersabda : Sesungguhnya kotoran hewna ini adalah najis “[49]

Dan pada hadist Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, yang terdahulu – ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya : “ Carikanlah aku beberapa batu untuk membersihkan diri dengannya, dan janganlah engkau datangkan tulang atau kotoran hewan yang telah kering “ … Abu Huraiah berkata : “ Maka saya berkata : Ada apakah dengan tulang dan kotoran hewan ? .Beliau bersabda : Keduanya adalahmakanan jin. Dan sesungguhnya dia telah mendatangiku kelompok jin dalam dua kelompok – dan sebaik-baik jin mereka – lalu mereka bertanya kepadaku tentang bekal makanan mereka, maka saya berdoa kepada Allah bagi mereka agar tidaklah mereka melintassebuah tulang atau kotoran hewan yang telah kering kecuali mereka mendapatkan makanan padanya“[50]

Dengan riwayat ini semakin jelas sebab larangan mempergunakan tulang dan kotoran hewan untuk membersihkan diri .

Faedah : Terlarang ber-istinja` ataukah istjmar dengan memakai tulang bani Adam, dianalogikan kepada makanan jin, sebagai analogi yang lebih utama. Sebagaimana diharamkan ber-istinja` ataukah istijmar dengan kembaran-lebaran kertas yang dimuliakan, seperti kitab-kitab imu syariat, dikarenakan lembaran-lembaran tersebut tentulah akan berisi ayat-ayat Al-Qur`an , lafazh-lafazh l-Jalalah, dan Al-qur`an lebih utama lagi.

1. Disenangi istijmar dengan hitungan ganjil

Dan tujuannya adalah untuk membersihkan tempat keluarnya kotoran. Dan yang paling minimal adalah dengan tiga kali basuhan yang menyapu seluruh bagian tempat keluarnya kotoran. Berdaarkan hadits Salman radhiallahu ‘anhu : “ Janganlah salah seorang diantara kalian ber-istinja’ kurang dari tiga batu “[51]

Dan apaila telah bersih dengan kurang dari tiga kali basuhan, maka mestilah untuk disempurnakan, dan apabila telah bersih dengan lebih dari tiga kali basuhan, dan menjadi genap seperti empat dan enam, maka disenangi untuk dijadikan ganjil, berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits Abu Huriarah radhiallahu ‘anhu : “ Apabila salah seorang diantarakalian beristijmar, maka hendaknya istijmar dengan hitungan ganjil … al-hadits “[52]

1. Makruh berbicara ketika berada ditempat buang hajat

Sebagian besar ulama membenci pembicaraan sewaktu buang hajat, dan mereka berargumen akan hal itu dari hadits Ibnu Umar :” bahwa seseorang melintas sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang kencing, dan ornag itu mengucapkan salam, dan beliau tidak menjawabnya “[53]

Dan mereka mengecualikan dari hal itu apabila dalam keadaan daurat atau karena suatu keperluan seperti mengarahkan seorang yang buta yang hampir terjatuh didalam sumur atau meminta air dan semisalnya[54].

[1] Dan juga sering disebutkan dengan judul : Adab Qadha’il Hajat atau Al-Istithabah.

[2] HR. Muslim ( 262 ), Ahmad ( 23191 ), At-Tirmidzi ( 16 ), Abu Daud ( 7 ), An-Nasa`I ( 41 ), Ibnu Majah ( 316 ). Dan pada beberapa lafazh-lafazhnya dengan tambahan : “ Sebagian kaum msuyrikin dan mereka mengejek dengan perkataan mereka : Sesungguhnya saya telah melihat bahwa kawan kalian telah mengajarkan kepada kalian hingga persoalan buang hajat, Salman berkata : … al-hadits” Perhatikanlah kepada para pemuja berhala, betapa dada mereka terasa sesak, dan mengatakan apa yang telah mereka katakan. Sewaktu mereka melihat dakwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan dakwah beliau tidaklah meninggalkan sedikitpundari perkara dunia dan akhirat kecuali diterangkan ilmunya oleh beliau. Sebagaimana perkataan Abu Dzar radhiallahu ‘anhu : “ Sungguh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meningalkan kami dimana tidak ada seekor burungpun yang mengepakkan kedua sayapnya dilangit kecuali beliau telah mneyebutkannya kepada kami ilmunya. ( HR. Ahmad ( 20854 ) )

[3] HR. Abu Daud ( 26 ) Al-Albani mengatakan : hadits ini hasan, dan Ibnu Majah ( 328 )

[4] HR. Muslim ( 269 ), Ahmad ( 8636 ) dan Abu Daud ( 25 )

[5] Lisan Al-‘Arab ( 3 / 456 ) , bahasan: و ر د

[6] ‘Aun Al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud jilid 1 ( 1 / 31 )

[7] Syarh Muslim karya An-Nawawi jilid 2 ( 3/ 132 )

[8] Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zaad Al-Mustaqni’ ( 1 / 102 ), Daar Aazaam, cet. 2 1414.

[9] Lihat : Syarh Muslim jilid 2 ( 3 / 132 ), ‘Aun Al-Ma’bud jilid 1 ( 1 / 30 – 31 )

[10] HR. Muslim ( 281 ), Ahmad ( 14258 ), An-Nasa`I ( 35 ) dan Ibnu Majah ( 343 ).

[11] SyarhMuslim jilid 1 ( 2 / 152 ), Dan para ulama mempunyai perincina seputar masalah ini, namun saya tidak berkeinginan untuk berpanjang lebar mengulasnya.

[12] Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zaad Al-Mustaqni’ ( 1 / 91 )

[13] Lihat : Asy-Syarh Al-Mumti’ ( 1 / 91 )

[14] HR. Al-Bukhari ( 144 ), dan lafazh hadits diatas adalah lafazh riwayat beliau, Muslim ( 264 ), Ahmad ( 23003 ), Abu Daud ( 9 ), an-Nasa`I ( 21 ) dan Ibnu Majah ( 318 )

[15] HR. Al-Bukhari ( 145 ) dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat beliau, Muslim ( 266 ), Ahmad ( 4592 ), An-Nasa`I ( 23 ), Abu Daud ( 12 ), Ibnu Majah ( 322 ), Malik ( 455 ) dan Ad-Darimi ( 667 )

[16] Takhrijnya telah disebutkan

[17] HR. At-Tirmidzi ( 9 ), dan beliau berkata : hadits ini hadits hasan gharib, abu Daud ( 13 ), dan Al-Albani menghasankannya , Ahmad ( 14458 ) dan Ibnu Majah ( 325 )

[18] HR. Abu Daud ( 11 )

[19] Syarh Muslim jilid 2 ( 2 / 126 )

[20] Lihat : Al-Fatwa no. ( 4480 ) ( 5 / 97 – 99 )

[21] HR. Abu Daud ( 6 ), Al-Albani menshahihkannya, Ahmad ( 18800 ) dan Ibnu Majah ( 296 )

[22] Al-Fatawa ( 21 / 108 – 109 )

[23] HR. Ibnu Majah ( 297 ), al-albani menshahihkannya no. ( 245 ), Lihat didalam Irwa’ Al-Ghalil ( 50 ) dan juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi ( 606 )

[24] Ibnu ‘Utsaimin mengatakan : “ al-khubts pada riwayat dengan sukun berarti segala bentuk keburukan, dan al-khabaa`its adalah jiwa yang keji. Sedangkan al-khubuts dengan riwayat dhommah, adalah kaum laki-laki dari kaum syaithan, dan al-khabaa`its bentuk plural : al-khabiitsah, yang dimaksud adalah kaum wanita kaum syaithan. Riwayat dengan sukun lebih umum maknanya. Dan lafazh ini yang paling banyak diriwayatkan oleh para masyaikh sebagaimana yang katakan oleh Al-Khaththabi rahimahullah ( Asy-Syarh Al-Mumti’ 1 / 82 – 83 )

[25] HR. Al-Bukhari ( 142 ), Muslim ( 375 ), Ahmad ( 11536 ), At-Tirmidzi ( 5 ), An-Nasa`I ( 19 ), Abu Daud ( 4 ), Ibnu Majah ( 296 ) dan Ad-Darimi ( 669 ). Sedangkan perkataan Al-Bukhari : Sa’id bin Zaid mengatakan :… , ini diriwayatkan oleh beliau sendiri secara maushul didalam Al-Adab Al-Mufrad. Lihat Fathul Bari ( 1/ 294 )

[26] Asy-Syarh Al-Mumti’ ( 1 / 83 )

[27] HR. Abu Daud ( 30 ) dan syaikh Al-Albaani menshahihkannya, HR. Ahmad ( 24694 ), At-Tirmidzi ( 7 ) dan Ibnu Majah ( 300).

[28] Syarh Muslim, jilid kedua ( 4 / 60 )

[29] HR. Al-Bukhari ( 363 ), Muslim ( 274 ), Ahmad ( 17668 ), An-Nasa`I ( 82 ), Abu Daud ( 151 ), Ibnu Majah ( 545 ), Malik ( 73 ) dan Ad-Darimi ( 713 )

[30] Al-Kasaa`i mengatakan : Untuk tempat buang hajat dinamakan : al-khalaa`, al-madzhab, al-marfaq, al-marhadh ( Lisan Al-‘Arab ( 1 / 394 ) bahasan : ذهب

[31] HR. Abu Daud ( 1 ), Al-Albani mengatakan : Hadits hasan shahih. An-Nasa`I ( 17 ), Ibnu Majah ( 331 ) dan Ad-Darimi ( 660 )

[32] Didalam Al-Lisan : Hadfu : adalah gundukan kerikil yang meinggi. Ada yang berpendapat bahwa hadfu adlah segala sesuatu yang tinggi, seperti gundukan kerikil yang meninggi … Al-Jauhari mengatakan : al-hadfu adalah segala sesuatu yang meninggi baik berupa bangunan, bukit pasir atau gunung. ( /346 ), bahasan : هدف

Sedangkan al-haa`isy : Al-Jauharimengatakan kumpulan kurma bukan secara satu persatu terpisah … Dan asal dari kata al-haa`isy adalah rimbunan pohon baik kurma atau pohon lainnya. Dikatakan haa`isy untuk suatu yang memiliki ranting/rerimbunan … Dan pada sebuah hadits beliau masuk kedalam haa`isy pohon kurma lalu beliau menunaikan hajatnya “.Yaitu pohon kurma yang saling bersilangan yang dinamakan berkumpul sebagian dengan sebagian lainnya. ( 6 / 291 ) Lihat bahasan : ( حوش )

[33] HR. Muslim ( 342 ), ahmad ( 1747 ),Abu Daud ( 2549 ) dan Ibnu Majah ( 340 )

[34] Syarh Muslim jilid 2 ( 4 / 30 )

[35] HR. An-Nasa`I ( 29 ) dan Al-Albani menshahihkannya, At-Tirmidzi ( 12 )dan Ibnu Majah ( 307 )

[36] As-subathah : adalah al-kunasah …, yaitu tempat orang-orang membuang tanah dan kotoran dan sesuatu yang disapu dari dalam rumah. ( Lisan Al-‘Arab 7 / 309 ) bahasan : سبط

[37] HR. Al-Bukhari ( 225 ), Muslim ( 273 ), Ahmad ( 22730 ), At-Tirmidzi ( 13 ), An-Nasa`I ( 18 ) dan Abu Daud ( 23 ), Ibnu Majah ( 305 ) dan Ad-Darimi ( 668 )

[38] Asy-Syarh Al-Mumti’ ( 1 / 92 )

[39] ( 5/ 89 – 90 ) no. ( 4213 )

[40] Musykil Ash-Shahihain ( 2 / 138 ) no. ( 604 )

[41] HR. Al-Bukhari ( 153 ), Muslim ( 267 ), Ahmad ( 18927 ), At-Tirmidzi ( 15 ), An-Nasa`I ( 24 ), Abu Daud ( 31 ) , Ibnu Majah ( 310 ) dan Ad-Darimi ( 673 )

[42] Syarh Muslim jilid 2 ( 3 / 127 )

[43] HR. Al-Bukhari ( 3562 ), Muslim ( 2320 ), Ahmad ( 11286 ), Ibnu Majah ( 4180 ).

[44] HR. Abu Daud ( 182 ), Ibnu Hajar mengatakan : Hadist tersebut shahih atau hasan ( Fathul Bari 1 / 306 ), Al-Albani menshahihkannya, Ahmad ( 15857 ), At-Tirmidzi ( 85 ) dan Ibnu Majah ( 483 ).

[45] HR. Abu Daud ( 181 ), dan Al-Albani menshahihkannya, Ahmad ( 26749 ), An-Nasa`I ( 163 ), At-Tirmidzi ( 82 ), Ibnu Majah ( 479 ), Malik ( 91 ) dan Ad-Darimi ( 725 ).

[46] Ibnu Mandzur mengatakan : Pada hadits disebutkan ( Carikanlah aku beberapa batu-batuan untuk aku pakai membersihkan/menghilangkan kotoran dengannya ) yakni untuk ber-istinja`, berasal dari kara nafdhu ats-tsaub – membersihkan baju -, karena seseorang yang ber-istinja` dia menghilangkan kotoran dari dirinya dengan mempergunakan batu yaitu menghilangkannya dan membersihkannya ( Al-Lisan 7 / 241 ) bahasan : ( نفض )

[47] HR. Al-Bukhari ( 155 )

[48] Asy-Syarh Al-Mumti’ ( 1 / 105 )

[49] HR. Al-Bukhari ( 156 ), Ahmad ( 3677 ), At-Tirmidzi ( 17 ), An-Nasa`I ( 42 ), Ibnu Majah ( 314 ).

[50] HR. Al-Bukhari didalam al-Manaqib ( 3860 )

[51] Takhrijnya telah disbeutkan didepan.

[52] HR. Al-Bukhari ( 161 ), Muslim ( 237 ) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Ahmad ( 7180 ), An-Nasa`I ( 88 ), Abu Daud ( 35 ), Ibnu Majah ( 409 ), Malik ( 34 ) dan Ad-Darimi ( 703 ).

[53] HR. Muslim ( 370 ), An-Nasa`I ( 37 ), Abu Daud ( 16) dan Ibnu Majah ( 353 )

[54] Lihat : Syarh Shahih Muslim karya An-Nawawi jilid 2 ( 4 / 55 ) dan Asy-Syarh Al-Mumti’ ‘ala Zaad Al-Mustaqni’ karya Ibnu ‘Utsaimin ( 1 / 95 ).