Jumat, 19 November 2010

cahaya iman

Seberkas cahaya iman terdiri dari unsur – unsur kesabaran, syukur nikmah, tawadhu’, tawakal, waspada dan tabayun. Dapat dibandingkan kaum sufi yang mengenal beberapa tempat perhentian perjalanan hidup (‘maqamat’/‘terminal stop over’) mulai dari tobat, zuhud, sabar, kefakiran, kerendahan hati, taqwa, tawakal, ridho, mahabah dan ma’rifah.
Cahaya iman selamanya memancar dari sifatNya ‘arrahmanirahiim’ yang menerangi kegelapan dan kesamaran hati manusia. Setiap hambaNya mendapat kelimpahan nur-cahayaNya tanpa kecuali, hanya saja masing-masing memasang ‘hijab’atau penghalang disekitar kalbunya dengan ketebalan yang berbeda-beda. Semakin tebal dan semakin banyak ‘hijab dunya’ yang dipasangnya, semakin gelap hatinya, semakin sulit mencapai tujuan hidup dunia dan akhirat. Ketidak jelasan arah serta ketiadaan pata denah dan kompas petunjuk membawa orang pada kondisi kebingungan yang pada akhirnya menjurus pada kesesatan.
Dalam Al Qur’an gerak manusia mencapai kebahagiaan dilukiskan sebagai perjalanan dari kegelapan menuju tempat yang terang-benderang, dari hitam pekat melewati gradasi warna abu-abu menuju tempat yang putih bersih, namun sebagian orang bergerak terbalik tanpa kesadaran bergerak dari cahaya terang menuju kegelapan. Mereka tidak bisa menemukan jalan kembali dan malah ada yang tersesat untuk selama-lamanya.
Surat Al Baqarah ayat 257 berbunyi: “Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir, pelindung mereka adalah syaitan mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal didalamnya.”
Jalan persimpangan antara yang hak dan batil ini dipenuhi oleh syaitan dan staffnya serta pengikut-pengikut setianya. Mereka memberikan ‘applause’ tepuk tangan keriangan bagi mereka yang berjalan meninggalkan kebenaran dan menciptakan suasana hiruk pikuk kebingungan bagi mereka yang berusaha bergerak kearah panggilan Illahirabbi. Godaan bujukan dan tekanan terus dilancarkan agar mereka berbelok kearah kesamaran warna-warni yang diiringi dentam kemaksiatan dan kemesuman.
Hamba-hamba Allah yang ‘istiqamah’ tanpa menghiraukan bujuk-rayu, terus konsisten berjalan menuju kumandang suara firmanNya: “Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan puas lagi diridhoiNya, Maka masuklah dalam hamba-hambaKu, Dan masuklah ke dalam surgaKu.” Sementara mereka yang terbujuk hingga tidak mampu dan tidak mau melakukan amal ibadah, meneriakkan penyesalan yang mendalam: “Alangkah baiknya seandainya aku (dahulu) mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku”, sedangkan yang jelas-jelas menentang kekuasaan Allah swt. dan menghalang-halangi orang dijalan Allah akan meneriakkan suara: “Alangkah baiknya seandainya aku dahulu dijadikan tanah saja”, suatu penyesalan dan ketakutan luar biasa melihat dahsyatnya siksa neraka, dimana penghuninya diberi kondisi untuk merasakan penderitaan berkepanjangan tanpa diberi kesempatan untuk tidak sadarkan diri atau mati yang bisa melepaskannya dari pedih sakitnya siksa.