Kamis, 24 Februari 2011

Keharmonisan Rumah Tangga Rasulullah SAW

“ Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah “ (Qs : Al-Ahzab : 21)

Telah menjadi kesepakatan bersama bahwa Rasulullah adalah hamba Allah yang patut diteladani dan dicontoh, maka tak salah kalau kemudian Allah mengutusnya ke bumi ini hanya semata membawa satu misi yaitu membentuk kepribadian kaffah dhahir dan bathin menyempurnakan akhlaq mulia (HR. Muslim)

Rasulullah telah mengajari kita akan makna hidup yang sebenamya serta membawa kita menuju jalan hikmah yang diridloi Allah SWT, beliau memberikan ilmu yang belum kita ketahui dan mewariskan Islam sebagai agama yang patut diagungkan. Beliau pulalah yang memberikan kepada kita keteladanan dalam membina rumah tangga yang dipenuhi keharmonisan. Di bawah naungan rumah tangga yang bersahaja di situlah tinggal sang istri, pahlawan di balik layar pembawa ketenangan dan kesejukan.

Rasulullah saw bersabda: “Dunia itu penuh dengan kenikmatan. Dan sebaik-baik kenikmatan dunia adalah istri yang shalihah.” Di antara keelokan budi pekerti Rasulullah saw dan keharmonisan rumah tangga beliau ialah memanggil istri-istrinya dengan panggilan yang membahagiakan dengan nama kesayangan. Aisyah r.a. menuturkan: “Pada suatu hari Rasulullah saw berkata kepadanya: “Wahai ‘Aisy (panggilan kesayangan ‘Aisyah r.a.), Malaikat Jibril tadi menyampaikan salam buatmu.” (Muttafaq ‘alaih).

Bahkan beliau selaku Nabi umat ini yang paling sempurna akhlaknya dan paling tinggi derajatnya telah memberikan sebuah contoh yang berharga dalam hal berlaku baik kepada sang istri dan dalam hal kerendahan hati, serta dalam hal mengetahui keinginan dan kecemburuan wanita. Beliau menempatkan mereka pada kedudukan yang diidam-idamkan oleh seluruh kaum hawa. Yaitu menjadi seorang istri yang memiliki kedudukan terhormat di samping suaminya.

Aisyah r.a. menuturkan: Suatu ketika aku minum, dan aku sedang haidh, lantas aku memberikan gelasku kepada Rasulullah saw dan beliau meminumnya dari mulut gelas tempat aku minum. Dalam kesempatan lain aku memakan sepotong daging, lantas beliau mengambil potongan daging itu dan memakannya tepat di tempat aku memakannya.” (HR. Muslim).

Dalam berkeluarga, kehidupan yang penuh cinta dan keharmonisan yang dihiasi kasih sayang bisa beliau gapai. Hal ini membuktikan bahwa beliau berhasil membina dan memimpin rumah tangga yang beliau hadapi. Beliau selalu mengedepankan keadilan dan kejujuran, tranformasi ilmu dari Allah dilakoni dengan sebenamya. ini bukan karena beliau menjadi kekasih Allah tetapi beliau lebih menginginkan apa yang beliau praktekkan nantinya bisa dicontoh oleh umatnya. Dari sekian banyak perempuan yang beliau nikahi, tak satupun yang pemah dikecewakan, perlakuan baik selalu mengumbar damai dari kelembutan bicara dan keindahan akhlaqnya, malah beliau tidak segan-segan mencuci baju sendiri manakala sang istri sibuk dan terlupakan untuk mencucinya. Dalam berbicara tak pemah berkata dusta, hal yang hak dan bathil disampaikan sebagaimana mestinya, dalam melangkah dan bertindak beliau penuh keadilan, setiap permasalahan yang beliau hadapi ataupun pengaduan istri beliau tidak serta merta memutuskan dimana yang benar ataupun yang salah, karena beliau mengedepakankan tabayyun dan sering berkomunikasi.

Beliau berkeyakinan bahwa dengan seringnya berkomunikasi dengan kekuarganya akan menemukan titik terang yang baik. Walaupun tidak hanya sekali Rasulullah menikahi perempuan, beliau tetap memperlakukan istri-istri sebagaimana yang telah disyariatkan Allah. Hak dan kewajiban terlaksana sesuai aturan dan keadilan selalu menghiasi pernak-pernik keluarganya. Kewajiban memberi makan dan menafkahkan keluarganya beliau kerjakan sendiri tanpa meminta bantuan sedikitpun pada sahabat, sedang kan hak-hak isteri beliau berikan penuh cinta dan keikhlasan.

Begitulah kehidupan Rasulullah dalam membangun dan memimpin keluarganya sehingga istri-istri Rasulullah dibuat tak berdaya menghadapi kelembutan akhlaqnya. Mereka tidak menegur Rasul karena memang tidak ada kesalahan yang pantas ditegur. Pernah suatu malam Rasulullah terlambat pulang karena dakwah yang beliau lakukan sedikit mengalami kesulitan, sesampai dirumah beliau tidak menemukan pintu karena telah ditutup oleh Siti Aisyah, Rasulullah merasa kasihan untuk membangunkan Siti Aisyah kerena beliau yakin istrinya lelah menunggu kedatangannya. Akhirnya Rasulullah tidur didepan pintu sampai pagi datang. Dan Aisyah r.a. merasa bersalah atas kejadian itu.

Dari istri-istri Rasulullah, tak satupun yang mengalami kecemburuan, sebab Rasulullah membagi cinta dan kasih sayang penuh keadilan. Beliau tetap mempertahankan keimanan dari pada mengikuti kata nafsu serakah. Suatu hari siti Aisyah pernah bertanya tentang siapa istri beliau yang paling dicintai, beliau tidak menyebutkan nama melainkan hanya memberikan isyarah bahwa istri yang paling dicintai adalah yang menerima cincin darinya. Sudah barang tentu semua isteri Rasulullah berdo’a semoga dirinya nanti malam yang akan dikasih cincin olehnya. Namun apa yang diprediksi mereka (isteri Rasul) tepat karena mereka yang mengharap dikasi cincin oleh Rasul betul-betul dikasih, namun ada satu yang mereka tidak ketahui yaitu Rasulullah memberikan cincin dengan cara mendatangi satu persatu isterinya.

Disinilah letak keadilan Rasulullah dalam membina keluarga. Sehingga mereka semua menganggap dirinya yang paling dicintai. Beliau saw tidaklah seperti yang diduga oleh kaum munafikin atau seperti yang dituduhkan kaum orientalis dengan tuduhan-tuduhan palsu dan pengakuan-pengakuan bathil. Bahkan beliau saw lebih memilih etika berumah tangga yang paling elok dan sederhana. Dalam berbagai kesempatan, beliau selalu menjelaskan dengan gamblang tingginya kedudukan kaum wanita. Mereka kaum hawa memiliki kedudukan yang agung dan derajat yang tinggi. Rasulullah saw pernah menjawab pertanyaan ‘Amr bin Al-‘Ash r.a. seputar masalah ini, beliau jelaskan kepadanya bahwa mencintai istri bukanlah suatu hal yang tabu bagi seorang lelaki yang normal.

Rasulullah saw tidak melewatkan kesempatan sedikit pun kecuali beliau manfaatkan untuk membahagiakan dan menyenangkan istri melalui hal-hal yang dibolehkan. Aisyah r.a. mengisahkan: Pada suatu ketika aku ikut bersama Rasulullah saw dalam sebuah lawatan. Pada waktu itu aku masih seorang gadis yang ramping. Beliau saw memerintahkan rombongan agar bergerak terlebih dahulu. Mereka pun berangkat mendahului kami. Kemudian beliau berkata kepadaku: “Kemarilah! sekarang kita berlomba lari.” Aku pun meladeninya dan akhirnya aku dapat mengungguli beliau. Beliau saw hanya diam saja atas keunggulanku tadi. Hingga pada kesempatan lain, ketika aku sudah agak gemuk, aku ikut bersama beliau dalam sebuah lawatan. Beliau saw memerintahkan rombongan agar bergerak terlebih dahulu. Kemudian beliau menantangku berlomba kembali. Dan akhirnya beliau dapat mengungguliku. Beliau tertawa seraya berkata: “Inilah penebus kekalahan yang lalu!” (HR. Ahmad).

Sungguh! merupakan sebuah bentuk permainan yang sangat lembut dan sebuah perhatian yang sangat besar. Beliau perintahkan rombongan untuk berangkat terlebih dahulu agar beliau dapat menghibur hati sang istri dengan mengajaknya berlomba lari. Kemudian beliau memadukan permainan yang lalu dengan yang baru, beliau berkata: “Inilah penebus kekalahan yang lalu!” Bagi mereka yang sering bepergian melanglang buana serta memperhatikan keadaan orang-orang yang terpandang pada tiap-tiap kaum, pasti akan takjub terhadap perbuatan Rasulullah saw. Beliau adalah seorang Nabi yang mulia, pemimpin yang selalu berjaya, keturunan terhormat suku Quraisy dan Bani Hasyim. Pada saat-saat kejayaan, beliau kembali dari sebuah peperangan dengan membawa kemenangan bersama rombongan pasukan besar. Meskipun demikian, beliau tetap seorang yang penuh kasih sayang dan rendah hati terhadap istri-istri beliau para Ummahaatul Mukiminin radhiyallah ‘anhun.

Kedudukan beliau sebagai pemimpin pasukan, perjalanan panjang yang ditempuh, serta kemenangan demi kemenangan yang diraih di medan pertempuran, tidak membuat beliau lupa bahwa beliau didampingi para istri-istri kaum hawa yang lemah yang sangat membutuhkan sentuhan lembut dan bisikan manja. Agar dapat menghapus beban berat perjalanan yang sangat meletihkan. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa ketika Rasulullah saw kembali dari peperangan Khaibar, beliau menikahi Shafiyyah binti Huyaiy r.a. Beliau saw mengulurkan tirai di dekat unta yang akan ditunggangi untuk melindungi Shafiyyah r.a. dari pandangan orang. Kemudian beliau duduk bertumpu pada lutut di sisi unta tersebut, beliau persilakan Shafiyyah r.a. untuk naik ke atas unta dengan bertumpu pada lutut beliau.

Pemandangan seperti ini memberikan kesan begitu mendalam yang menunjukkan ketawadhu’an beliau. Rasulullah saw selaku pemimpin yang berjaya dan seorang Nabi yang diutus memberikan teladan kepada umatnya bahwa bersikap tawadhu’ kepada istri, mempersilakan lutut beliau sebagai tumpuan, membantu pekerjaan rumah, membahagiakan istri, sama sekali tidak mengurangi derajat dan kedudukan beliau. Barangsiapa yang mengidamkan kebahagiaan rumah tangga, hendaklah ia memperhatikan kisah-kisah kehidupan rumah tangga Rasulullah saw. Wallahu a’lam bish showab.