Senin, 18 April 2011

Hidup dengan Berkerendahan Hati

Hidup dengan Berkerendahan Hati

“Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya Tuhan, tunjukkan itu kepadaku. Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku, sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku. Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari.” (Mazmur 25: 4-5)

Jangan ajari ikan untuk berenang. Ungkapan sederhana, namun kaya makna, sering kita dengar saat kita berhadapan tidak hanya dengan kesombongan, tetapi juga kerendahan hari.

Pertama, kesombongan. Orang yang sombong adalah orang yang selalu menganggap orang lain lebih ‘bodoh-tulalit-tidak paham apapun, Dengan merasa diri lebih pandai-cerdas-mumpuni, sering kita memandang rendah orang, tidak menganggap orang lain, berkemampuan, tidak menghargai kelebihan-keunggulan orang lain. Dengan memandang diri lebih hebat-superior, kesombangan tidak dianggap sebagai perilaku menyimpang, tetapi sebuah kewajaran.

Kedua, kerendahan hati. Orang yang rendah hati selalu menempatkan orang lain sebagai orang yang berkemampuan-bertalenta. Itu sebabnya, orang yang rendah hati selalu melihat orang dari kelebihan-keungguhan-ssisi positif-sisi baik. Maka, ungkapan ‘jangan ajari ikan berenang’ bernuansa bijak untuk penyadaran. Untuk mengingatkan seseorang agar tulus-ikhlas melihat aspek positif-baik-benar-mulia dari orang lain.

Refleksi kita, tentu saja, kerendahan hati atau kesombonganlah yang mendominasi pergumulan dan pergulatan hidup kita? Masih adakah makna, “Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya Tuhan, tunjukkan itu kepadaku. Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku, sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku. Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari.” (Mazmur 25: 4-5) dalam hidup dalam bermasyarakat-berbangsa-bernegara sebagai umat beriman, apa pun agama dan kepercayaan yang kita yakini?

Realitas keseharian, kesombonganlah yang mendominasi kehidupan kita. Ada cerita lucu yang dilakukan oleh seorang yang mempersembahkan diri pada Tuhan, sebagai seorang biarawati. Suatu hari menegur anak buahnya. “Mengapa nama saya tidak ditulis lengkap?” ‘Sang bawahan’ pun bingung kesalahan apa yang telah dilakukan. Belum sempat menemukan kesalahan, sang biarawati membentak, “Akhir nama saya tertulis apa?” ‘Sang bawahan’ baru menyadari tidak menuliskan GELAR pada namanya.

Sebuah contoh yang sederhana, tetapi itulah realitas yang kita temukan karena menganggap gelar akan menciptakan karisma-wibawa. Tidak mengherankan, karena kesombongan pula, kita menjadi bangsa ‘pengejar gelar’ demi menunjukkan kehebatan-kepandaian.

Demikian pula dengan kedudukan-jabatan-kekuasaan mampu mengubah karakter-penampilan seseorang, karena kesombongannya. Lupa bahwa sebuah jabatan-kedudukan-kekuasaan hanyalah sekadar ‘amanah’ untuk melayani hingga orang lain menemukan berkat melimpah.

Sahabat, kini-sini, kerendahan hati sangat langka dan mahal. Kerendahan hati seolah hilang dalam kehidupan kita sebagai makhluk beriman. Kita tertawa-tersenyum-gembira-bersorak bila orang lain menderita-sengsara. Dan, kita pun menutup maka,. Semakin susah ditemukan orang yang mau menjadi ‘teman seperjalanan’ mereka yang sedang dirundung duka-masalah-keputusasaan-kegagalan.

Marilah, dalam pergumulan dan pergulatan hidup, kita berkerendahan hati. Ada dan berada sebagai orang yang cerdas menerima dan memaklumi kesalahan-kekurangan orang lain. Biarlah ‘kerendahan hati’ menjadi ‘matahari’: menghangatkan-menghidupkan orang-orang yang kita jumpai kapan pun dan di mana pun. Inilah iman. Dan, inilah sikap yang Tuhan rindukan…