Sabtu, 20 November 2010

Jiwa yang stabil

“Sungguh hati ini berduka dan air mataku mengalir karena kepergianmu. Akan tetapi aku tidak akan mengucapkan selain apa yang Allah ridhoi.” Itulah kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Rasulullah saw. saat Ibrahim, puteranva,meninggal dunia.
Di lain kesempatan, Rasulullah saw. melihat seorang ibu yang sedang meraung-raung menangisi kematian anaknya. Rasulullah saw. menasihatinya, “Bersabarlah dan carilah ridho Allah." Dengan nada marah – karena tidak menyadari bahwa yang memberinya nasihat adalah Rasulullah saw,- si wanita itu menyahut, “Kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan." Setelah sadar siapa sesungguhnya orang yang menasihatinya itu, segera ia menghampiri Rasulullah saw. seraya mengatakan, “Saya tadi tidak tahu bahwa yang menasihati saya itu adalah engkau.” Jawaban Rasulullah saw. adalah, “Sabar itu justru pada benturan pertama."


Apa yang diperankan oleh Rasulullah saw. itu adalah gambaran jiwa yang stabil: sabar, penuh perhitungan, pengendalian penuh terhadap emosi. Dan dalam nasihatnya kepada ibu yang kehilangan anaknya itu beliau menjelaskan bahwa kesabaran yang sebenarnya adalah kemampuan mengendalikan perasaan, emosi sejak saat-saat pertama terjadi ujian itu.

Antara kita dan permasalahan ada ruang yang bebas kita isi. Ruang itu bernama hati. Jika hati dibiarkan kosong, atau diisi dengan nilai-nilai yang busuk seperti iri, dengki, cinta dunia, persaingan tidak sehat, kemusyrikan, maka respon terhadap peramasalahan-permasalahan yang muncul adalah kegelisahan, kecemasan, bahkan frustrasi. Inilah orang-orang yang jiwanya labil.

Sebaliknya, manakala ruang hati itu diisi dengan iman, maka respon-respon terhadap problematika hidup – apa pun bentuknya- selalu positif. Inilah ciri orang yang jiwanya stabil. Allah swt. meng-gambarkan orang seperti itu dengan firman-Nya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Qs. 6:82).

Orang yang beriman selalu mengembalikan segala persoalan yang dihadapinya dalam hidup ini kepada Allah swt.: "Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan; “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun" (sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhkan kami kepada-Nya akan kembali). (Qs. 2:155-156)

Itulah orang-orang mukmin sejati. Diri dan kehidupannya tidak akan dikuasai atau dikendalikan oleh emosi, stres dan depresi. Tidak ada rasa takut yang menghantuinya. Firman Allah swt.: "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada akan merasa khawatir dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (Qs. 10:62-63). Bahkan hati mereka selalu dipenuhi ketenteraman dan kedamaian. “Ingatlah bahwa dengan dzikir kepada Allah hati-hati menjadi tenang.” (Qs. Ar-Ra’du 28).

Mengomentari ayat di atas, Ustadz Sayyid Qutuhb mengatakan, “Hati-hati mereka menjadi tenang sebab merasakan adanya hubungan dengan Allah, nyaman berada di dekat-Nya, merasa aman dalam lindungan-Nya. Ia merasa tenteram karena jauh dari kegalauan akibat menyendiri dan dari kebingungan perjalanan. Dengan iman mereka mengetahui hikmah dari penciptaan, permulaan, dan akhir kehidupan ini. Mereka merasa tenteram karena merasakan adanya perlindungan dari segala yang akan menyakitinya dan dari segala bahaya. Semua itu hanya akan terjadi manakala Allah memperkenankan. Dan apabila ujian itu tiba ia menerimanya dengan penuh rasa ridho dan sabar. Ia merasa tenteram karena mendapat rahmat-Nya berupa hidayah, rezeki, dan perlindungan-Nya di dunia dan akhirat. Ketenteraman -akibat mengingat Allah- yang ada pada hati orang-orang beriman itu merupakan hakikat yang dalam yang hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang hatinya yang secara langsung berinteraksi dengan iman, hingga terhubung kepada Allah, mereka dapat merasakannya. Namun mereka tidak dapat melukiskannya dengan kata-kata kepada orang lain yang tidak merasakannya. Sebab perasaan tenang itu tidak dapat ditransfer dengan kata-kata. Ia mengalir dalam hati dan kemudian menyebabkan hati itu merasa nyaman, damai, dan tenteram. Ia merasa bahwa di alam semesta ini ia tidaklah menyendiri tanpa teman. Sebab segala yang ada di sekitarnya adalah teman. Sebab mereka semua adalah karya Allah swt."
Ia melanjutkan, “Tidak ada orang yang lebih celaka di muka bumi ini selain dari orang yang tidak memiliki ketenteraman jiwa dalam kedekatan dengan Allah. Tidak ada orang yang lebih celaka dari orang yang terputus hubungannya dengan alam sekitar akibat ia memutuskan hubungan dengan pencipta alam itu. Tidak ada yang lebih celaka dari orang yang hidup tanpa tahu mengapa ia ada? Mengapa ia pergi? Mengapa ia mengalami segala yang ia rasakan dalam hidup ini! Tidak ada yang lebih celaka dari orang iang berjalan di muka bumi dalam keadaan serba takut oleh segala sesuatu akibat tidak adanya hubungan antara dirinya dengan segala sesuatu yang ada di alam ini. Tidak ada yang lebih celaka di dalam kehidupan ini selain dari orang yang menempuh jalan sendirian terlunta-lunta di padang yang luas. Ia harus berjuang sendirian tanpa penolong, tanpa penuntun, dan tanpa pembantu.

Bagaimanapun ada saat-saat dalam kehidupan ini dimana seseorang tidak mungkin bertahan kecuali jika ia bersandar kepada Allah dan merasa tenteram dengan perlindungannya, betapapun ia memiliki kekuatan, keteguhan, dan kekokohan. Dalam kehidupan ini ada saat-saat di mana segala kekuatan itu tidak punya makna sama sekali. Lalu tidak ada yang mampu bertahan selain orang yang merasa tenteram dengan .Allah swt. ”Ingatlah bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tenang."

Orang yang beriman selalu melibatkan Allah swt. dalam menghadapi segala permasalahan. Jadi antara dirinya dengan permasalahan, sebesar apa pun, ada Allah yang Maha Besar dan mampu menyelesaikan segala persoalan. Karenanya orang yang beriman selalu berpikir positif, berbicara positif dan bertindak positif. Rasulullah saw. bersabda:

“Sungguh mengagumkan urusan orang beriman itu. Sesungguhnya segala urusannya baginya menjadi kebaikan. Jika ia menerima karunia (hal-hal vang menggembirakan) ia bersyukur, maka hal itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika ia mendapatkan musibah ia bersabar. Dan hal itu menjadi kebaikan bagi dirinya." (Al-Bukhari)

Bila dalam ayat-ayat dan hadits di atas dijelaskan bahwa keimanan yang hakiki akan melahirkan ketenteraman maka sebaliknya, kegelisahan, keresahan, depresi, stres, atau frustasi mengindikasilian adanya cacat atau error dalam keimanan. Cacat-cacat inilah yang menyebabkan hati tidak mampu merespon rangsangan-rangsangan secara positif. Oleh karena itu, setelah menegaskan bahwa manusia memiliki sifat dasar berkeluh-kesah, Allah swt. memaparkan sikap dan perilaku yang mampu menekan labilitas jiwa agar menjadi stabil dan mampu bersikap proporsional. Firman-Nya;

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). Dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan. Dan orang-orang yang takut terhadap azab Rabb-nya. Karena sesungguhnya azab Rabb mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya). Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. (Qs. 70:19-34)

Di sinilah arti penting dari proses tazkiyatunnafs (pensucian jiwa) yang berkesinambungan. Stabilitas jiwa seseorang bukanlah ditandai dengan kehidupan yang datar seperti tidak ada gejolak perasaan atau sekedar kekecewaan. Bukan itu. Stabilitas jiwa seseorang diukur oleh kemampuan mengelola jiwa dalam merespon persoalan-persoalan kehidupan. Sehingga kehidupannya dikomandani oleh sabar, tawakkal, dan syukur dan bukannya oleh hasrat-hasrat liar. Dalam hal ini Allah menegaskan: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, (Qs. 91: 7-9).

Orang yang jiwanya stabil dengan iman dan selalu disucikan dengan ibadah akan menjadi pemenang dalam kehidupan dunia dan meraih sukses hakiki di akhirat: mendapat ridho dan sorga-Nya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Qs. 89:27-30). Allahu a’lam.