Sabtu, 20 November 2010

Menilai manusia.

Menilai manusia
Menilai orang lain sesungguhnya merupakan perilaku yang telah menyatu pada fitrah setiap manusia dari sejak kecil hingga dewasa, bahkan sepanjang umurnya. Secara sadar ataupun tidak, saat berinteraksi dengan orang lain, seketika itu juga benak kita akan menilai lawan interaksi kita tersebut. Sejumlah faktor yang bisa memunculkan penilaian atas diri orang lain antara lain bisa berupa: penampilan, cara berpakaian, merk busana, paras wajah, gambar tato dikulit, gelang tangan, gaya bicara, bahasa tubuh, tingkat tanggung jawab, tingkat komitmen, track record, latar belakang pendidikan, kedudukan, salary/harta, tingkat perhatian/empati, sikap ataupun cara penyelesaian terhadap suatu persoalan, dan banyak ragam lagi faktor yang bisa dinilai. Jadi, aktivitas menilai orang lain bukanlah hal yang asing ataupun aneh dan tabu. Di rumah, di lingkungan tempat tinggal, di sekolah, di kampus, di perusahaan, di instansi pemerintah baik yang departemen maupun yang non departemen, bahkan hampir didalam semua institusi formal, yang namanya mekanisme fit and proper test lazim dilakukan pada sejumlah orang kandidat dalam rangka promosi jabatan ataupun sekedar rekrutment karyawan atau anggota baru. Semua itu tak lain adalah bentuk aktifitas menilai manusia yang dilakukan oleh manusia yang lain. Sebuah contoh kejadian menilai manusia bisa dibaca pada kisah berikut ini (silakan klik disini).
Menilai manusia adalah keniscayaan. Itulah bentuk ikhtiar manusiawi yang bisa dilakukan. Namun begitu, ada sebagian orang yang berfikir dan berpandangan bahwa mestinya yang berhak menilai seseorang hanyalah Tuhan sang pencipta manusia tersebut. Tepat sekali!! Namun kita sama sekali tidak tahu apa-apa tentang penilaian Tuhan terhadap seseorang. Tak ada wahyu lagi yang turun setelah Nabi Muhammad SAW. Sikap seperti ini cenderung membuat orang untuk pasif dan enggan menerima penilaian atas diri seseorang meskipun penilaian itu dilakukan oleh banyak orang dan berdasarkan data temuan yang akurat. Padahal pada saat yang sama dirinya sama sekali tidak tahu apa-apa nilai dari Tuhan terhadap orang tersebut. Selanjutnya, tanpa disadari dan akibat ketidaktahuannya, akan mendorongnya untuk memunculkan pembenaran demi pembenaran atas pilihan tindakan yang sebenarnya sarat akan muatan subyektifitas dirinya dalam menilai dan didominasi oleh perasaan (bukan lagi oleh logika/nalar yang obyektif). Ujung-ujungnya, itulah cara yang dia pilih dalam rangka memberi nilai. Suatu cara menilai yang menutup semua pandangan dan masukan dari luar dirinya. Dalam situasi seperti itu, apakah bisa dijamin nyawa keadilan dan rasionalitas masih tertinggal disana?

Dalam lingkup dakwah, khususnya dalam suatu halaqoh (yang tentu saja di dalamnya terdiri dari manusia-manusia), seorang da’i murabbi memerlukan proses taqwim dakwah (penilaian atas diri seseorang sebagai evaluasi dakwah) secara berkesinambungan terhadap para mutarobbi-nya ataupun terhadap orang lain yang punya kaitan masalah dengan mutarobbi-nya, dalam rangka komitmen Islam secara umum. Proses taqwim ini memiliki dua bentuk yaitu jarh (menilai sisi kelemahan) atau ta’dil (menilai sisi kebaikan), atau bahkan terkadang mencakup keduanya, yang disampaikan secara garis besar atau secara rinci. Proses taqwim bertujuan untuk mengetahui ahliyyah (kapabilitas) seseorang. Proses ini juga bertujuan untuk mengevaluasi pencapaian muwashafat pada diri mutarobbi ataupun orang lain yang punya kaitan masalah dengan mutarobbi, misalnya dalam hal memilih pasangan yang sesuai untuk mutarobbi; atau misalnya ketika akan memilih seseorang untuk didudukkan pada posisi jabatan tertentu.

Untuk mengetahui tingkat ahliyyah (kapabilitas) seseorang, diperlukan adanya proses taqwim yang serius, jujur, obyektif, jauh dari ifrath (terlalu memudahkan) dan tafrith (terlalu menyulitkan), dan memiliki tingkat akurasi yang baik. Karenanya, peran pihak yang lebih dekat dan tahu kepada seseorang yang sedang dievaluasi dan diseleksi harus lebih diutamakan dibandingkan dengan pihak yang jauh darinya. Penilaian itu hendaknya dilakukan secara jama’i melalui mekanisme syura, agar tingkat akurasi penilaiannya lebih terjamin.