Minggu, 07 November 2010

Menyambut Pagi

Menyiapkan Jiwa Agar Tangkas Dan Jernih
Bangunlah sebelum fajar dan berdzikir, segera setelah itu, lalu berwudhu, kemudian shalat. Rasûlullâh  bersabda:
يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ عَلَى مَكَانِ كُلِّ عُقْدَةٍ: عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيْلٌ فَارْقُدْ. فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذِكْرَ اللهَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ تَوَضَّأَ اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ صَلَّى اِنْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيْطاً طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيْثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ
“Syaithan mengikat tengkuk salah seorang dari kalian saat ia tidur dengan tiga ikatan. Pada tiap-tiap ikatan itu, Syaithan menghembuskan: Tidurlah terus, malam masih larut. Maka, jika ia terbangun, hendaklah ia berdzikrullâh, sehingga terputuslah satu ikatan Syaithan itu. Jika ia (melanjutkannya dengan) berwudhu, maka terputus lagi satu ikatan Syaithan itu. Jika ia (meneruskannya dengan mengerjakan) shalat, maka terputus lagi satu ikatan Syaithan itu (sehingga ikatan Syaithan itu terputus seluruhnya). Dengan demikian, niscaya memancarlah ketangkasan dan kebersihan dari jiwanya, namun jika ia tidak melakukan hal-hal tersebut, maka memancarlah dari jiwanya kekotoran dan berbagai kemalasan.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriyi, Muslimii, Ahmadiii, Ibnu Mâjjaĥiv, Abû Dâwûdv dan Mâlikvi). Ini lafaz dari Al-Bukhâriy dalam Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu t-Tahajjud.


Suci Lahir
Sebelum berwudhu, seyogyanya mencuci dulu kedua tangan di luar bejana dan beristintsâr (menghirup air ke dalam hidung lalu menghembuskannya) serta menggosok gigi. Rasûlullâh  bersabda:
إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِى وُضُوئِهِ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
“Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidur, maka cucilah tangannya sebelum ia mencelupkannya ke dalam air untuk wudhunya, karena sesungguhnya ia tidak tahu di mana tangannya itu terletak ketika tidur.” (Dikeluarkan oleh Muslimvii, Ahmadviii, Ibnu Mâjjaĥix, Ad-Darâmiyx, Abû Dâwûdxi, At-Turmudziyxii, An-Nasâ-iyxiii dan Mâlikxiv). Ini lafaz dari Mâlik. Dalam hadîts yang diterima Ibnu Mâjjaĥ melalui jalur ‘Abdu r-Rahmân bin Ibrâhîm Ad-Dimasyqiy, pencucian tangan itu dilakukan sebanyak dua atau tiga kali. Kebanyakan riwayat menyatakan tiga kali, kecuali hadîts yang diriwayatkan oleh Mâlik serta sebagian dari yang diriwayatkan Ahmad dan Ibnu Mâjjaĥ, yang tidak menyebutkan banyaknya pencucian.
إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيْتُ عَلَى خَيَاشِيْمِهِ
“Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidur, maka ber-istintsâr-lah tiga kali, karena sesungguhnya Syaithan bermalam dalam rangga hidungnya.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriyxv, Muslimxvi dan An-Nasâ-iyxvii). Ini lafaz dari Muslim.
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
“Seandainya tidak memberatkan ummatku, aku benar-benar telah memerintahkan menggosok gigi setiap kali wudhu.” (Dikeluarkan oleh Ahmadxviii, An-Nasâ-iyxix dan Mâlikxx). Ini lafaz dari An-Nasâ-iy. Ibnu Khuzaimaĥ menilainya shahîh, sedangkan Al-Bukhâriy menilainya mu’allaq.

Jika berhajat ke kamar kecil atau WC, mencuci kedua tangan, beristintsâr serta menggosok gigi, dilakukan usai buang hajat.
Dalam membuang hajat, tetapilah dengan seksama aturan dan adab-adabnya; sebab, “tidak bersih” dalam kencing saja sudah cukup menjadi jalan datangnya siksa kubur. Rasûlullâh  pernah bersabda ketika melewati dua kuburan yang masih baru:
إِنَّهُمَا لَيُعَذِّبَانِ وَمَا يُعَذِّبَانِ فِى كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَنْزِهُ مِنْ بَوْلِهِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِى بِالنَّمِيْمَةِ
“Sesungguhnya dua penghuni kubur ini benar-benar tengah ditimpa siksa; dan tidaklah keduanya disiksa karena dosa besar. Salah seorang dari mereka, disiksa karena tidak bersuci dari kencingnya; sedangkan yang satunya karena ia senang melakukan namîmah.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriyxxi, Muslimxxii, Ahmadxxiii, Ibnu Mâjjaĥxxiv, Ad-Darâmiyxxv, Abû Dâwûdxxvi, At-Turmudziyxxvii dan An-Nasâ-iyxxviii). Ini lafaz dari Ibnu Mâjjaĥ.

Jika dalam keadaan junub, setelah mencuci kedua tangan, beristintsâr serta menggosok gigi, lakukanlah mandi secara sempurna, sesuai aturan dan adab-adabnya, dan tidak mengapa mencukupkan wudhu dengannya. Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyaĥ  meriwayatkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ
“Adalah Rasûlullâh  tidak lagi mengambil wudhu sesudah mandi.” (Dikeluarkan oleh Ahmadxxix, Ibnu Mâjjaĥxxx, At-Turmudziyxxxi dan An-Nasâ-iyxxxii). At-Turmudziy menyatakan hadîts yang diriwayatkannya: hasan shahîh. Ibnu Mâjjaĥ meriwayatkannya dengan lafaz: ba’da l-ghusli mina l-janâbaĥ (sesudah mandi junub).


Di Waktu Fajar
Usai berwudhu (atau mandi) dengan sempurna, mengikuti aturan dan adab-adabnya, tunaikanlah dua raka’at shalat sunat wudhu, dan apabila “fajar shadiq” belum lagi terbit, bagi yang berniat shaum bisa mengerjakan sahur. Rasûlullâh  bersabda:
اَلْفجْرُ فَجْرَانِ فَجْرٌ يُحَرِّمُ الطَّعَامُ وَتَحِلُّ فِيْهِ الصَّلاةُ وَفَجْرٌ تَحْرُمُ فِيْهِ الصَّلاَةُ وَيَحِلُّ فِيْهِ الطَّعَامُ
“Fajar itu ada dua: Fajar yang mengharamkan makan-minum, tetapi menghalalkan shalat; dan fajar yang mengharamkan di dalamnya mengerjakan shalat, tetapi menghalalkan makan-minum.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimaĥ dan Al-Hâkimxxxiii). Al-Hâkim men-shahîh-kan hadîts ini.
Fajar yang pertama itulah yang disebut “Fajar Shadiq”; dan yang kedua, disebut “Fajar Kidzib”.
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَتَوَضَّأُ فَيُحْسِنُ وُضُوْءَهُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ مُقْبِلٌ عَلَيْهِمَا بِقَلْبِهِ وَوَجْهِهِ إِلاَّ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Tidak seorang Muslim pun berwudhu dengan membaguskan wudhunya, kemudian berdiri menunaikan shalat dua raka’at dengan menghadapkan sepenuh hati dan wajahnya dalam shalat itu, melainkan wajib baginya Surga.” (Dikeluarkan oleh Muslimxxxiv, Ahmadxxxv, Abû Dâwûdxxxvi dan An-Nasâ-iyxxxvii).

Apabila fajar shadiq telah terbit, tegakkanlah dua raka’at shalat sunat fajar. Mengenai shalat ini, ada riwayat dari Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyaĥ :
لَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدُّ مُعَاهَدَةً مِنْهُ عَلَى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ
“Tidak pernah Rasûlullâh  amat sangat mementingkan suatu nawafil seperti halnya terhadap dua raka’at sebelum fajar.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriyxxxviii, Muslimxxxix, Ahmadxl, Abû Dâwûdxli dan An-Nasâ-iyxlii). Ini lafaz dari An-Nasâ-iy.
Apabila luput dari melaksanakannya sebelum shalat shubh, laksanakanlah segera setelah shalat shubh, jika waktu shalat shubh belum berakhir. Qais bin ‘Amrû  meriwayatkan:
خَرَجَ إِلَى الصُّبْحِ فَوَجَدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الصُّبْحِ وَلَمْ يَكُنْ رَكَعَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ حِيْنَ فَرَغَ مِنَ الصُّبْحِ فَرَكَعَ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فَمَرَّ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَا هَذِهِ الصَّلاَةَ؟ فَأَخْبَرَهُ فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَضَى وَلَمْ يَقُلْ شَيْئاً
“Suatu hari, ia keluar ke Masjid untuk berjama’ah shalat shubh. Setibanya di sana, ia mendapatkan Nabi  telah shalat shubh, padahal ia belum menunaikan dua raka’at shalat fajar. Maka, ia pun shalat shubh bersama Nabi . Setelah selesai, segera ia melaksanakan dua raka’at shalat fajar. Nabi  lalu mendatanginya, dan bertanya: shalat apa ini? Ia pun memberitahu (bahwa itu shalat fajar). Nabi  pun diam dan berlalu, tidak mengatakan sepatah kata pun.” (Dikeluarkan oleh Ahmadxliii). Al-‘Irâqiy menyatakan hadîts ini isnadnya jayyid.
Jika waktu shubh sudah berakhir, matahari telah terbit, “qadhâ” shalat sunat fajar dilaksanakan sesudah matahari agak tinggi. ‘Imrân bin Hushain  meriwayatkan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِى مَسِيْرٍ لَهُ فَنَامُوْا عَنْ صَلاَةِ الْفَجْرِ فَاسْتَيْقَظُوْا بِحَرِّ الشَّمْسِ فَارْتَفَعُوْا قَلِيْلاً حَتَّى اسْتَقَلَّتِ الشَّمْسُ ثُمَّ أَمَرَ مُؤَذِّناً فَأَذَّنَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَقَامَ ثُمَّ صَلَّى الْفَجْرَ
“Dalam suatu perjalanan bersama Rasûlullâh , rombongan tertidur hingga luput melaksanakan shalat fajar. Mereka terbangun saat matahari telah terbit. Lalu mereka melanjutkan perjalanan hingga matahari agak tinggi. Setelah itu, Rasûlullâh  pun menyuruh Muadzdzin untuk mengumandangkan adzan, dan beliau pun menunaikan dua raka’at shalat sunat fajar. Lalu dikumandangkanlah iqamah, maka kemudian beliau menunaikan shalat fajar.” (Dikeluarkan oleh Ahmadxliv, Abû Dâwûdxlv dan An-Nasâ-iyxlvi). Ini lafaz dari Abû Dâwûd.
Shalat fajar (dan, secara umum, shalat-shalat sunat lainnya) seyogyanya dilaksanakan di rumah. Rasûlullâh  bersabda:
صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى بَيْتِهِ تَطَوُّعاً نُوْرٌ فَمَنْ شَاءَ نَوَّرَ بَيْتِهِ
“Shalat tathawwu’ seseorang di rumahnya laksana cahaya; maka barangsiapa yang mau, cahayailah rumahnya.” (Dikeluarkan oleh Ahmadxlvii).


Menuju Jama’ah
Usai shalat sunat fajar, jika shalat shubh belum lagi di-iqamah-kan, atau jika diperkirakan cukup waktu untuk berjalan ke Masjid, berbaringlah sejenak pada lambung kanan, atau, bercakap-cakap sejenak dengan anggota keluarga yang telah bangun. Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyah  meriwayatkan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ فإِنْ كُنْتُ نَائِمَةً اضْطَجَعَ وَإِنْ كُنْتُ مُسْتَيْقِظَةً حَدّثَنِي
“Adalah Nabi  apabila telah menunaikan dua raka’at fajar, dan saya masih tidur, beliau pun berbaring; apabila saya sudah bangun, beliau bercakap-cakap dengan saya.” (Dikeluarkan oleh Muslimxlviii dan Abû Dâwûdxlix). Ini lafaz dari Abû Dâwûd.
Lalu pergi menuju Masjid untuk menunaikan shalat shubh berjama’ah. Berjalanlah dengan tenang, tidak terburu-buru, serta tidak mempersilangkan jari jemari atau bersidekap, dan berdo’alah sepanjang jalan. Rasûlullâh  bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقَامَةَ فَامْشُوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ والْوَقَارِ وَلاَ تُسْرِعُوْا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا
“Apabila kalian mendengar seruan shalat akan ditegakkan, maka pergilah shalat. Jagalah cara berjalan kalian, setenang dan setegap mungkin. Jangan terburu-buru. Maka yang kalian dapatkan dari shalat secara berjama’ah, lakukanlah, dan yang ketinggalan, sempurnakanlah.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriyl, Muslimli, Ahmadlii, Ibnu Mâjjaĥliii, Abû Dâwûdliv, At-Turmudziylv dan Mâliklvi). Ini lafaz dari Al-Bukhâriy.
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوْءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِداً إِلَى المَسْجِدِ فَلاَ يُشَبِّكَنَّ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِى صَلاَةٍ (وفى لفظ) فَلاَ يُشَبِّكَنَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Apabila salah seorang dari kalian berwudhu, sempurnakanlah wudhunya. Kemudian, apabila ia keluar menuju Masjid dengan sengaja, maka janganlah ia bersidekap, atau, mempersilangkan jari jemari, karena saat berjalan itu ia berada dalam shalat.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûdlvii dan At-Turmudziylviii).
CATATAN: Berjama’ah di Masjid bagi wanita dibolehkan dengan syarat, walaupun bagi mereka lebih baik shalat di rumah. Sabda Rasûlullâh :
لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang para wanita ke Masjid, namun di rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.” (Dikeluarkan oleh Ahmadlix dan Abû Dâwûdlx). Ini lafaz dari Abû Dâwûd.
لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ
“Janganlah kalian melarang para wanita ke Masjid-masjid Allâh, namun hendaklah mereka keluar tanpa wewangian.” (Dikeluarkan oleh Ahmadlxi, Ad-Darâmiylxii dan Abû Dâwûdlxiii).


Di Rumah Allâh
Sesampainya di Masjid, masuklah ke dalamnya dengan kaki kanan terlebih dahulu seraya membaca do’a. Mengenai mendahulukan kaki kanan dalam suatu urusan, ada riwayat dari Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyaĥ :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ مَا اسْتَطَاعَ فِى شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Adalah Nabi  amat mementingkan bagian kanan dalam setiap urusannya.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriylxiv, Muslimlxv, Ahmadlxvi dan Abû Dâwûdlxvii). Ini lafaz dari Al-Bukhâriy dan Abû Dâwûd.
Setibanya di dalam, berusahalah menempati shaff paling depan sebelah kanan, dan jangan melangkahi pundak-pundak orang lain, kecuali jika orang-orang menyia-nyiakannya (membiarkannya tidak terisi) –Pengecualian ini adalah pendapat sebagian Ahlu l-‘Ilmi lihat Al-Ghazâliy: Ihyâ` ‘Ulûma d-Dîn, Kitâb Asrâri sh-Shalât wa Mahmâtihâ, al-Bâbu l-Khâmis fî Fadhli l-Jum’ati wa Âdâbihâ wa Sunnanihâ wa Syurûtihâ, Bayânu Âdâbi l-Jum’ati ‘alâ Tartîbi l-‘Âdat, fî Hay-ati d-Dukhûli). Rasûlullâh  bersabda:
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الصَّفِّ اْلأَوَّلِ
“Sesungguhnya Allâh dan para Malaikat-Nya bershalawat bagi shaff pertama.” (Dikeluarkan oleh Ahmadlxviii, Ibnu Mâjjaĥlxix dan Ad-Darâmiylxx). Dalam buku Mishbâhu z-Zujâjah fî Zawâ-idin Ibni Mâjjaĥ disebutkan bahwa hadîts mengenai ini dari ‘Abdu r-Rahmân bin ‘Auf  yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjjaĥ, shahîh dan rijal-rijalnya tsiqât. Hadîts lain dari Al-Barâ` bin ‘Âzib  yang diriwayatkan oleh Ahmad dan An-Nasâ-iy menggunakan lafaz: ’alâ sh-shaffi l-muqaddami (atas shaf yang lebih awal).
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوْفِ
“Sesungguhnya Allâh dan para Malaikat-Nya bershalawat bagi shaff sebelah kanan.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjjaĥlxxi dan Abû Dâwûdlxxii).
مَنْ تَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ اتَّخِذَ جِسْراً إِلَى جَهَنَّمَ
“Barangsiapa yang melangkahi pundak-pundak orang pada hari jum’at, ia telah mengambil jalan lintas menuju Jahannam.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjjaĥlxxiii dan At-Turmudziylxxiv).
Kemudian, tunaikanlah dua raka’at shalat sunat tahiyyatul masjid, sebelum duduk, kecuali jika shalat sudah di-iqamah-kan. Jika tidak (hendak) melakukannya, cukup membaca al-bâqiyyâtu sh-shâlihât satu, tiga atau empat kali (lihat Al-Ghazâliy: Bidâyatu l-Hidâyah, Âdâbu Dukhûli l-Masjid dan An-Nawawiy: Al-Adzkâr An-Nawawiyyah, Bâb Mâ Yaqûlu fî l-Masjid.). Rasûlullâh  bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلِيَرْكِعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Apabila salah seorang dari kalian memasuki Masjid maka hendaklah ia tunaikan dua raka’at shalat, sebelum ia duduk.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriylxxv, Muslimlxxvi, Ahmadlxxvii, An-Nasâ-iylxxviii dan Mâliklxxix). Ibnu Mâjjaĥ meriwayatkannya dengan lafaz: fa l yushalli rak’ataini (maka hendaklah shalat dua raka’at).
إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَةُ
“Apabila telah di-iqamah-kan shalat, maka tidak ada shalat kecuali yang diwajibkan.” (Dikeluarkan oleh Muslimlxxx, Ahmadlxxxi, Ibnu Mâjjaĥlxxxii, Ad-Darâmiylxxxiii, Abû Dâwûdlxxxiv dan An-Nasâ-iylxxxv).

Sesudah menunaikan shalat tahiyyatul masjid, dan shalat fardhu belum diserukan, berdzikirlah dan bertasbih, atau membaca Al-Qur-ân. Firman Allâh :
فِى بُيُوْتٍ أَذِنَ اللهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيْهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ وَاْلأَصَلِ رِجَالٌ
“Bertasbih kepada Allâh para Rijâl di masjid-masjid yang telah diperintahkan-Nya untuk dimuliakan dan disebut-sebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang.” (An-Nûr 36-37).
Apabila adzan dan iqamah diperdengarkan, hentikanlah semua aktifitas itu, dan jawablah seruan adzan atau iqamah, lalu di penghujungnya memanjatkan do’a. Rasûlullâh  bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ
“Apabila kalian mendengar seruan adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh Muadzdzin.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriylxxxvi, Muslimlxxxvii, Ahmadlxxxviii, Abû Dâwûdlxxxix, At-Turmudziyxc, An-Nasâ-iyxci dan Mâlikxcii).
Dan menurut keterangan dari Abû Umâmah :
أَنَّ بِلاَلاً أَخَذَ فِى اْلإِقَامَةَ فَلَمَّا أَنْ قَالَ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَقَامَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا وَقَالَ فِى سَائِرِ اْلإِقَامَةِ
“Adalah Bilâl menyerukan iqamah. Maka, tatkala sampai pada seruan qad qâmati sh-shalâh, Nabi  pun menjawab: aqâmahâ llâhu wa adâmahâ; dan Nabi  menjawab seluruh seruan iqamah.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûdxciii). Menurut Al-Mundziriy, dalam sanad hadîts ini ada orang yang majhul dan Syahr bin Hausyab sendiri diperselisihkan statusnya.
Antara adzan dan iqamah adalah waktu mustajab bagi do’a, karena itu panjatkanlah do’a yang berisi permohonan untuk keafiatan di dunia dan akhirat, dan jika tidak ada keperluan yang mendesak, tetaplah di tempat, jangan keluar dari Masjid. Rasûlullâh  bersabda:
اَلدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ اْلأَذَانِ واْلإِقَامَةِ. قَالُوْا فَمَاذَا نَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ سَلُوا اللهَ الْعَافِيَةَ فِى الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
“Do’a yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak. Mereka (para shahabat yang mendengar sabda beliau  itu pun) bertanya: Apa yang kami mohonkan, Ya Rasûlullâh ? Jawab Rasûlullâh : Mohonlah kepada Allâh keafiaatan di dunia dan akhirat.” (Bagian pertamanya dikeluarkan oleh Ahmadxciv, Abû Dâwûdxcv, At-Turmudziyxcvi dan An-Nasâ-iyxcvii; sedangkan tambahan pertanyaan: fa mâ dzâ naqûlu dan jawabannya dikeluarkan oleh At-Turmudziyxcviii). Menurut At-Turmudziy, hadîts ini hasan, dan tambahan tersebut dari yang disampaikan oleh Yahyâ bin Al-Yamâni.
مَنْ أَدْرَكَهُ اْلأَذَانُ فِى الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ لَمْ يَخْرُجْ لِحَاجَةٍ وَهُوَ لاَ يُرِيدُ الرّجْعَةَ فَهُوَ مُنَافِقٌ
“Barangsiapa yang telah berada di Masjid mendengar adzan, lalu ia keluar bukan karena suatu keperluan mendesak, dan tidak bermaksud kembali lagi, maka ia seorang Munâfiq.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûdxcix). Dalam buku Mishbâhu z-Zujâjaĥ fî Zawâ-idin Ibni Mâjjaĥ disebutkan bahwa Ibnu Abî Farwaĥ dan ‘Abdu l-Jabbâr bin ‘Umar yang terdapat dalam sanad hadîts ini, dhaîf. Namun demikian, Ath-Thabrâniy dalam Al-Wasith meriwayatkan hadîts yang semakna dengan ini melalui perawi-perawi yang shahîh lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy: Koleksi Hadits-Hadits Hukum 2 (Semarang: PT Pustaka Rizki Putera, 2001) “Masalah 196: Keluar Mesjid Sesudah Azan Dikumandangkan”, h.203.


Amalan Usai Shalat Shubh
Sesudah menunaikan shalat shubh berjama’ah, hingga matahari terbit isi dengan berdo’a, berdzikir, bertasbih, membaca Al-Qur-ân, atau bertafakkur. Rasûlullâh  bersabda:
لأَنْ أقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللهَ تَعَالَى مِنْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أُعْتِقَ أَرْبَعَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ
“Sungguh dudukku bersama suatu kaum yang berdzikir kepada Allâh sejak dari shalat shubh hingga terbit matahari, lebih aku sukai daripada membebaskan empat puluh budak keturunan Ismâ’îl.” (Dikeluarkan oleh Ahmadc dan Abû Dâwûdci). Ini lafaz dari Abû Dâwûd. Al-‘Irâqiy menyatakan hadîts Abû Dâwûd ini isnadnya jayyid. Ahmad meriwayatkannya dengan lafaz: adzkara llâha wa ukabbiruhu wa uhammiduhu wa usabbihuhu wa uhalliluhu (berdzikir kepada Allâh dan bertakbir, bertahmid, bertasbih serta bertahlil kepada-Nya), tanpa menyebut lafaz: min shalâti l-ghadât.
Kemudian, hingga matahari naik setengah tombak, sehingga jelas benderang cahayanya (kira-kira 3 jam setelah terbitnya), isilah waktu dengan 4 hal: (1) Meneruskan berdo’a, berdzikir, bertasbih, membaca Al-Qur-ân, atau bertafakkur, (2) menuntut Ilmu, (3) melakukan tindakan-tindakan yang menguntungkan sesama dan membahagiakan orang-orang beriman serta turut aktif dalam berbagai usaha meninggikan Kalimatillâh di tengah masyarakat, dan (4) mencukupi kebutuhan diri dan keluarga. Rasûlullâh  bersabda:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ سَيُكَلِّمُهُ اللهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تُرْجُمَانٌ وَلاَ حِجَابً يَحْجُبُهُ فَيَنْظُرُ أَيْمَنَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ أَشْأَمَ مِنْهُ فَلاَ يَرَى إِلاَّ مَا قَدَّمَ وَيَنْظُرُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلاَ يَرَى إِلاَّ النَّارَ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ فَاتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ وَلَوْ بِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Tiada seorang pun dari kalian kecuali kelak Allâh akan berbicara kepadanya tanpa penerjemah dan tanpa hijab yang menutupinya. Lalu ia berpaling ke sisi kanannya, maka tidak ada yang ia lihat selain amal perbuatannya yang telah lalu. Begitu pula ketika ia berpaling ke sisi kirinya, tidak ada yang ia lihat selain amal perbuatannya yang telah lalu. Dan ketika ia berpaling ke muka, maka tidak ada yang ia lihat selain Neraka yang tepat berada di hadapan wajahnya. Karena itu, hindarilah Neraka itu oleh kalian walaupun dengan sebiji kurma dan kalimat thayyibah.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriycii, Muslimciii, Ahmadciv, Ibnu Mâjjahcv dan At-Turmudziycvi). Ini gabungan lafaz dari Muslim dan Al-Bukhâriy. Ahmad, Ibnu Mâjjaĥ dan At-Turmudziy meriwayatkannya dengan lafaz: mani s-tathâ’a min kum an yaqiya wajhahu hurri n-nâra walaw bi syiqqin tamratin wa bi kalimatin thayyibatin fa l yaf’al (barangsiapa sanggup di antara kalian untuk melindungi wajahnya dari panas api Neraka, walau hanya dengan sebiji korma dan dengan kalimah thayyibah, maka lakukanlah). At-Turmudziy menilai hadîts mengenai ini yang diriwayatkannya, hasan shahîh.


Bagian Dua
Menghidupkan Pagi

Shalat-Shalat Sunnah Pagi Hari
Apabila matahari telah terbit dan naik setengah tombak, sehingga jelas benderang cahayanya, kira-kira 3 jam setelah terbitnya, tunaikanlah shalat sunat dua raka’at. Rasûlullâh  bersabda:
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةُ فِى جَمَاعَةِ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وعُمْرةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
“Barangsiapa yang shalat shubh berjama’ah, lalu ia duduk berdzikir kepada Allâh hingga terbit matahari, kemudian ia shalat dua raka’at, maka balasan baginya seperti pahala haji dan ‘umrah. Sempurnakanlah, sempurnakanlah, sempurnakanlah.” (Dikeluarkan oleh At-Turmudziycvii dan beliau menyatakan hadîts ini hasan gharîb).
Sesudah itu, hingga masuk waktu dhuha (kira-kira apabila telapak kaki telah merasakan panasnya tanah atau benda-benda penyekat panas lainnya yang terkena cahaya matahari langsung), isilah waktu dengan 4 hal yang telah dikemukakan pada bagian akhir “Menyambut Pagi”. Bisa juga diisi dengan menunaikan empat raka’at shalat tasbih. Mengenai shalat ini Rasûlullâh  bersabda kepada Al-‘Abbâs bin ‘Abdi l-Muthallib :
يَا عَمِّ أَلاَ أُعْطِيْكَ؟ أَلاَ أَمْنَحُكَ؟ أَلاَ أَحْبُوْكَ؟ أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إذا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيْمَهُ وَحَدِيْثَهُ خَطْأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيْرَهُ وَكَبِيْرَهُ سِرَّهُ وَعَلاَنِيَتَهُ أَنْ تُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُوْرَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِى أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشَرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْراً ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوْعِ فَتَقُوْلُهَا عَشْراً ثُمَّ تَهْوِيْ سَاجِداً فَتَقُوْلُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْراً ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُوْدِ فَتَقُوْلُهَا عَشْراً ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُوْلُهَا عَشْراً ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُوْلُهَا عَشْراً فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُوْنَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيْهَا فِى كُلِّ يَوْمٍ فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِى عُمُرِكَ مَرَّةً
“Wahai Paman, maukah engkau saya beri, saya hadiahi, saya anugerahi suatu amalan bagimu yang menghasilkan sepuluh kebaikan, apabila engkau mengamalkannya? Yaitu Allâh mengampuni dosamu, yang awal dan akhir, yang terdahulu dan terkemudian, yang berupa kekeliruan dan kesengajaan, yang kecil dan besar, yang tersembunyi dan terang-terangan, yaitu engkau menunaikan shalat empat raka’at, dimana dalam setiap raka’atnya engkau membaca Fâtihatu l-Kitâb dan sebuah surat, dan setelah itu dalam keadaan berdiri engkau membaca: subhâna llâhi wa l-hamdu li llâhi wa lâ ilâha illâ llâhu wa llâhu akbar, lima belas kali; kemudian engkau ruku’, dan engkau membaca kalimat itu sepuluh kali dalam keadaan ruku’; lalu engkau bangkit dari ruku’, dan engkau membaca kalimat itu sepuluh kali dalam keadaan berdiri; lalu engkau sujud, dan engkau membaca kalimat itu sepuluh kali dalam keadaan sujud; lalu engkau bangun dari sujud, dan engkau membaca kalimat itu sepuluh kali dalam keadaan duduk; lalu engkau sujud kembali, dan engkau membaca kalimat itu sepuluh kali dalam keadaan sujud; lalu engkau bangun dari sujud, dan engkau membaca kalimat itu sepuluh kali. Itulah tujuh puluh lima (tasbih) dalam setiap raka’at. Lakukanlah olehmu hal seperti itu dalam empat raka’at. Jika engkau mampu melakukannya setiap hari, lakukanlah. Jika tidak, lakukanlah setiap jum’at. Jika masih juga tidak sanggup, lakukanlah sebulan sekali. Jika masih tidak sanggup juga, lakukanlah setahun sekali. Jika tidak juga, lakukanlah seumur hidup sekali.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjjahcviii, Abû Dâwûdcix dan At-Turmudziycx). Ini lafaz dari Abû Dâwûd. Dalam riwayat Ibnu Mâjjah dan At-Turmudziy ada keterangan bahwa setelah sujud akhir pada setiap raka’at, kalimat itu dibaca sepuluh kali sebelum berdiri. Menurut Ibnu l-Mubarak, dan yang menurut Al-Ghazâliy adalah cara yang lebih baik, pada awal shalat membaca terlebih dahulu: subhânaka llâhumma wa bi hamdika wa tabâraka s-muka wa ta’âlâ jadduka wa taqaddasat asmâ-uka wa lâ ilâha ghairuka, lalu membaca kalimat tersebut lima belas kali sebelum membaca Al-Fâtihah, dan sesudahnya membaca kalimat itu sepuluh kali; selanjutnya dibaca sepuluh kali-sepuluh kali dalam tiap-tiap gerakan shalat, dan tidak membaca kalimat tersebut setelah sujud akhir, sebelum berdiri.
CATATAN: Shalat tasbih ini shalat yang tidak tertentu waktu dan sebabnya (artinya, bisa dilaksanakan pada siang atau malam hari, pagi atau petang hari), kecuali dalam waktu-waktu yang dimakruhkan. Ibnu ‘Abbâs, tidak pernah meninggalkan shalat tasbih ini pada hari jum’at setelah tergelincir matahari. Jika dilaksanakan pada pagi atau siang hari, cukup dengan satu salam, sedangkan jika dilaksanakan pada malam hari, lebih baik dengan dua salam; hal ini mengingat sabda Rasûlullâh :
صَلاَةَ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriycxi, Muslimcxii, Ahmadcxiii, Ibnu Mâjjahcxiv, Abû Dâwûdcxv, At-Turmudziycxvi, An-Nasâ-iycxviicxviii dan Mâlik). Lihat juga Al-Ghazâliy: Ihyâ` ‘Ulûma d-Dîn, Kitâb Asrâri sh-Shalât wa Mahmâtihâ, al-Bâbu s-Sâbi’ fî n-Nawâfili mina sh-Shalawât, al-Qismu r-Râbi’ mina n-Nawâfili mâ Yata’alliqu bi Asbâbi ‘Âridhah wa Lâ Yata’allaqu bi l-Mawâqît.

Apabila waktu dhuha telah masuk, tunaikanlah shalat Dhuha, sekurang-kurangnya dua raka’at (para shahabat ada yang terus mengerjakannya sampai tengah hari, lebih dari dua belas raka’at; lihat Sayyid Sabiq: Fikih Sunnah 2 (Bandung: PT Al-Ma’arif, Cet.17; Alih Bahasa: Mahyuddin Syaf) “Shalat Dhuha: Bilangan Raka’atnya”, h.83-84). Rasûlullâh  bersabda:
يُصْبِحُ عَلَىَ كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيَجْزِى مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
“Hendaklah masing-masing dari kalian setiap pagi bershadaqah untuk tiap-tiap ruas tulang tubuhnya. Maka (ketahuilah) setiap tasbîh itu shadaqah, setiap tahmîd itu shadaqah, setiap tahlîl itu shadaqah, setiap takbîr itu shadaqah, amr ma’rûf itu shadaqah, nahy munkar itu shadaqah; dan cukuplah sebagai pengganti semua itu dua raka’at shalat dhuha.” (Dikeluarkan oleh Muslimcxix, Ahmadcxx dan Abû Dâwûdcxxi). Ini lafaz dari Muslim.
Rasûlullâh  menjelaskan bahwa jumlah ruas tulang yang setiap diri diharuskan bershadaqah itu sebanyak 360 ruas (Sebagaimana hadîts yang dikeluarkan oleh Ahmadcxxii dan Abû Dâwûdcxxiii). Dalam buku ‘Awn Al-Ma’bûd bi Syarhi Sunan Abî Dâwûd dijelaskan bahwa hadîts tersebut juga dikeluarkan oleh Ibnu Hibbân dalam Shahîhnya, dan Al-Munâwiy dalam Syarh Al-Jâmi’ Ash-Shaghîr mengatakan bahwa isnad hadîts ini hasan.


Usai Dhuha
Sesudah itu, hingga masuk waktu zhuhr, isilah waktu dengan 4 hal yang telah dikemukakan pada bagian akhir “Menyambut Pagi”, dan disunahkan untuk qailûlah (tidur siang hingga tengah hari atau sesaat sebelum waktu zhuhr). Rasûlullâh  bersabda:
اِسْتَعِيْنُوْا بِطَعَامِ السَّحَرِ عَلَى صِيَامِ النّهَارِ وَبِالْقَيْلُوْلَةِ عَلَى قِيَامِ اللَّيْلِ
“Harapkanlah bantuan dengan sahur untuk dapat melaksanakan shaum di siang hari, dan dengan qailûlah untuk dapat melaksanakan shalat di malam hari.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjjahcxxiv).


Bagian Tiga
Menjalani Siang

Memasuki Zhuhr
Jika melakukan qailûlah, bangunlah sebelum waktu zhuhr dan berdzikir, segera setelah itu, lalu mencuci kedua tangan di luar bejana dan beristintsâr serta menggosok gigi, kemudian berwudhu.
Sesudah menunaikan dua raka’at shalat sunat wudhu, lalu pergi menuju Masjid untuk menunaikan shalat zhuhr berjama’ah. Berjalanlah dengan tenang, tidak terburu-buru, serta tidak mempersilangkan jari jemari atau bersidekap, dan berdo’alah sepanjang jalan.
Sesampainya di Masjid, masuklah ke dalamnya dengan kaki kanan terlebih dahulu seraya membaca do’a. Dan setibanya di dalam, berusahalah menempati shaff paling depan sebelah kanan, dan jangan melangkahi pundak-pundak orang lain, kecuali jika orang-orang menyia-nyiakannya (membiarkannya tidak terisi).
Kemudian, tunaikanlah dua raka’at shalat sunat tahiyyatul masjid, sebelum duduk, kecuali jika shalat sudah di-iqamah-kan. Jika tidak (hendak) melakukannya, cukup membaca al-bâqiyyâtu sh-shâlihât satu, tiga atau empat kali.
Sesudah itu, jika waktu zhuhr belum masuk, berdzikirlah dan bertasbih, atau membaca Al-Qur-ân. Apabila adzan diperdengarkan, jawablah, lalu di penghujungnya panjatkanlah do’a.
Antara adzan dan iqamah adalah waktu mustajab bagi do’a, karena itu panjatkanlah do’a yang berisi permohonan untuk keafiatan di dunia dan akhirat, dan jika tidak ada keperluan yang mendesak, tetaplah di tempat, jangan keluar dari Masjid.
CATATAN : Keterangan dari Rasûlullâh  mengenai semua ini telah dikemukakan pada bagian awal “Menyambut Pagi”.
Kemudian, tunaikanlah shalat sunat zhuhr dua hingga delapan raka’at (yang utama adalah empat raka’at), dan seyogyanya untuk memperpanjang setiap raka’atnya. ‘Abdullâh bin As-Sâ-ib  meriwayatkan:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى أَرْبَعاً بَعْدَ أَنْ تَزُوْلَ الشَّمْسُ قَبْلَ الظُّهْرِ وَقَالَ إِنَّهَا سَاعَةٌ تُفْتَحُ فِيْهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَأُحِبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِى فِيْهَا عَمَلٌ صَالِحٌ
“Bahwa Rasûlullâh  selalu menunaikan shalat empat raka’at sesudah tergelincirnya matahari, sebelum zhuhr, dan beliau bersabda: Sesungguhnya saat ini adalah saat dibukakannya pintu-pintu langit, dan aku sangat suka apabila ada amal salehku yang naik ke sana.” (Dikeluarkan oleh At-Turmudziycxxv. Ahmadcxxvi juga mengeluarkannya dari Abû Ayyûb Al-Anshâriy ). At-Turmudziy menyatakan hadîts ‘Abdullâh bin As-Sâ-ib , hasan gharîb.
Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyah  meriwayatkan:
كَانَ يُصَلِّى أَرْبَعاً قَبْلَ الظُّهْرِ يُطِيْلُ فِيْهِنَّ الْقِيَامَ وَيُحْسِنُ فِيْهِنَّ الرُّكُوْعَ وَالسُّجُوْدَ
“Adalah Rasûlullâh  selalu menunaikan shalat empat raka’at sebelum zhuhr, dan beliau, dalam tiap-tiap raka’atnya, memperpanjang berdiri serta memperbagus ruku’ dan sujudnya.” (Dikeluarkan oleh Ahmadcxxvii dan Ibnu Mâjjahcxxviii). Dalam Mishbâhu z-Zujâjah fî Zawâ-id Ibni Mâjjah diterangkan bahwa Qâbûs, salah seorang perawi dalam jalur sanad hadîts ini, diperselisihkan; Ibnu Hibbân, An-Nasâ-iy, Ad-Dâruquthniy dan As-Sâjiy men-dha’if-kannya, sedangkan Ibnu Ma’în dan Ahmad bin Sa’îd bin Abî Maryam menyatakannya tsiqat; dan menurut ‘Abdu l-‘Azhîm Al-Mundziriy: At-Turmudziy, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hâkim men-shahih-kannya. Meskipun demikian, hadîts ini memiliki syâhid berupa hadîts Ummu Habîbah  yang diriwayatkan oleh Abû Dâwûd dan An-Nasâ-iy, dan hadîts ‘Aliy bin Abî Thâlib  yang diriwayatkan oleh At-Turmudziy, dengan para rijâl yang tsiqât.
Jika terlewat untuk menunaikan shalat sunat sebelum zhuhr ini, tunaikanlah ia sesaat sesudah shalat sunat ba’da zhuhr. Ummu l-Mu˙minîn ‘Âîsyah  meriwayatkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَاتَتْهُ اْلأَرْبَعُ قَبْلَ الظُّهْرِ صَلاَّهَا بَعْدَ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ
“Adalah Rasûlullâh  apabila luput menunaikan shalat empat raka’at sebelum zhuhr, beliau kerjakan itu sesudah dua raka’at ba’da zhuhr.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjjahcxxix dan At-Turmudziycxxx). At-Turmudziy meriwayatkannya tanpa lafaz: shallâhâ ba’da r-rak’ataini ba’da zh-zhuhri, tetapi dengan lafaz: shalâhunna ba’dahu, dan ia menyatakan hadîts ini hasan gharîb.

Sesudah menunaikan shalat zhuhr dan menyempurnakan dzikir-dzikir sesudahnya, tunaikanlah dua raka’at shalat sunat sesudah zhuhr, dan jika terlewat, tunaikanlah ia sesudah shalat ‘ashr. Ummu l-Mu˙minîn Ummu Salamah  meriwayatkan:
صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَقَدْ أُتِيَ بِمَالٍ فَقَعَدَ يَقْسِمُهُ حَتَّى أَتَاهُ الْمُؤَذِّنُ بِالْعَصْرِ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ انْصَرَفَ إِلَيَّ وَكَانَ يَوْمِى فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ فَقُلْتُ: مَا هَاتَانِ الرَّكْعَتَانِ يَا رَسُوْلَ اللهِ أُمِرْتَ بِهِمَا؟ قَالَ: لاَ وَلَكِنَّهُمَا رَكْعَتَانِ كُنْتُ أَرْكَعُهُمَا بَعْدَ الظُّهْرِ فَشَغَلَنِى قَسْمُ هَذا الْمَالِ حَتَّى جَاءَنِى الْمُؤَذِّنُ بِالْعَصْرِ فَكَرِهْتُ أَنْ أَدَعَهُمَا
“Rasûlullâh  sehabis shalat zhuhr kedatangan harta, lalu beliau pun duduk membagi-bagikannya hingga terdengar seruan Muadzdzin untuk shalat ‘ashr, maka beliau pun shalat ‘ashr. Kemudian, beliau menemuiku, karena hari itu hariku. (Di rumahku) beliau shalat dua raka’at yang ringan. Aku pun bertanya: Shalat dua raka’at apakah tadi itu, ya Rasûlullâh? Apakah engkau menerima perintah baru mengenainya? Jawab beliau: Tidak, ini hanya sebagai ganti kedua raka’at yang biasa saya kerjakan sesudah zhuhr. Saya tadi sibuk membagi-bagikan harta sampai datang seruan Mu-adzdzin untuk shalat ‘ashr. Maka sesungguhnya saya tidak suka meninggalkan kedua raka’at itu.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriycxxxi, Muslimcxxxii, Ahmadcxxxiii, Ad-Darâmiycxxxiv dan Abû Dâwûdcxxxv). Ini lafaz dari Ahmad.


Hingga Tiba Waktu ‘Ashr
Kemudian, hingga tiba waktu ‘ashr, kira-kira saat bayangan sesuatu setingginya, isilah waktu dengan 4 hal yang telah dikemukakan pada bagian akhir “Menyambut Pagi”.


Di Waktu ‘Ashr
Apabila waktu ‘ashr telah tiba, Muadzdzin telah menyerukan adzan untuk shalat, segeralah berwudhu, lalu tunaikan dua raka’at shalat sunat wudhu, kemudian pergi menuju Masjid untuk menunaikan shalat ‘ashr berjama’ah. Berjalanlah ke Masjid dengan menetapi keadaan-keadaan sebagaimana yang telah diterangkan di muka, begitu pula apa yang mesti dikerjakan sesampainya di Masjid, dan setibanya di dalam Masjid, serta memanjatkan do’a yang berisi permohonan untuk keafiatan di dunia dan akhirat antara adzan dan iqamah.
Sesudah itu, tunaikanlah dua atau empat raka’at shalat sunat ‘ashr, dan jika terlewatkan, karena shalat telah di-iqamah-kan, misalnya, tunaikanlah ia sesudah shalat ‘ashr. Muhammad bin Abî Harmalah meriwayatkan:
أَخْبَرَنِى أَبُوْ سَلَمَةَ أَنّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ عَنِ السَّجْدَتَيْنِ اللّتَيْنِ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْهِمَا بَعْدَ الْعَصْرِ؟ فَقَالَتْ: كَانَ يُصَلِّيْهِمَا قَبْلَ الْعَصْرِ ثُمَّ إِنَّهُ شُغِلَ عَنْهُمَا أَوْ نَسِيَهُمَا فَصَلاَّهُمَا بَعْدَ الْعَصْرِ ثُمَّ أَثْبَتَهُمَا وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلاَةً أَثْبَتَهَا
“Bahwasanya Abû Salamah pernah bertanya kepada ‘Âîsyah  tentang dua raka’at shalat yang senantiasa dikerjakan Rasûlullâh  sesudah ‘ashr. Jawab ‘Âîsyah : Sebenarnya beliau selalu mengerjakannya sebelum ‘ashr, namun kemudian beliau sibuk atau lupa sehingga tidak mengerjakannya, maka beliau pun mengerjakannya sesudah ‘ashr, lalu secara tetap beliau mengerjakannya demikian, karena beliau, apabila mengerjakan suatu shalat, niscaya beliau mendawamkannya.” (Dikeluarkan oleh Muslimcxxxvi dan An-Nasâ-iycxxxvii).
Rasûlullâh  bersabda mengenai shalat sunat ‘ashr ini:
رَحِمَ اللهُ اَمْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا
“Semoga Allâh merahmati seseorang yang mengerjakan empat raka’at shalat sebelum ‘ashr.” (Dikeluarkan oleh Ahmadcxxxviii, Abû Dâwûdcxxxix dan At-Turmudziycxl). At-Turmudziy menyatakan hadîts ini gharîb hasan.


Hingga Cahaya Matahari Menguning
Kemudian, hingga cahaya matahari menguning, isilah waktu dengan 4 hal yang telah dikemukakan pada bagian akhir “Menyambut Pagi”. Atau, mengisinya dengan berdo’a, berdzikir, bertasbih, membaca Al-Qur-ân, atau bertafakkur hingga matahari terbenam. Rasûlullâh  bersabda:
وَلأَنْ أقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللهَ مِنْ صَلاَةِ الْعَصْرِ إِلَى أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أُعْتِقَ أَرْبَعَةً
“Dan sungguh dudukku bersama suatu kaum yang berdzikir kepada Allâh sejak dari shalat ‘ashr hingga terbenam matahari, lebih aku sukai daripada membebaskan empat puluh budak.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûdcxli). Al-‘Irâqiy menyatakan hadîts Abû Dâwûd ini isnadnya jayyid.


Bagian Empat
Menjelajah Malam

Bersiap
Jika cahaya matahari telah menguning, bersiaplah untuk menyambut malam. Berwudhu, lalu menunaikan dua raka’at shalat sunat wudhu, kemudian pergi menuju Masjid untuk menanti datangnya malam di sana dengan berdzikir dan bertasbih, atau membaca Al-Qur-ân. Firman Allâh :
وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوْبِ
“Sucikanlah Rabbmu dengan memuji-Nya sebelum matahari terbit dan sebelum tenggelam.” (ThâHâ 130).
Berjalanlah ke Masjid dengan menetapi keadaan-keadaan sebagaimana yang telah diterangkan, begitu pula apa yang mesti dikerjakan sesampainya di Masjid, dan setibanya di dalam Masjid, serta memanjatkan do’a yang berisi permohonan untuk keafiatan di dunia dan akhirat antara adzan dan iqamah. Dan seyogyanya pada saat ini untuk melakukan muhâsabatun nafs, memperhatikan keadaan diri dan memperhitungkannya, karena telah menempuh setengah perjalanan sehari dalam hidupnya di dunia ini. Kalau-kalau penempuhan itu tidak mengalami kemajuan dari hari kemarin, atau, bahkan menjadi lebih buruk. Jika demikian, berharaplah penempuhan setengah perjalanan berikutnya hari itu bisa mengganti keburukan-keburukan tersebut, seizin Allâh. Rasûlullâh  bersabda:
وَعَلَى الْعَاقِلِ أَنْ تَكُوْنَ لَهُ أَرْبَعُ سَاعَاتٍ سَاعَةٌ يُنَاجِى فِيْهَا رَبَّهُ وَسَاعَةٌ يُحَاسِبُ فِيْهَا نَفْسَهُ وَسَاعَةٌ يَتَفَكَّرُ فِيْهَا فِى صُنْعِ اللهِ وَسَاعَةٌ يَخْلُو فِيْهَا لِلْمَطْعَمِ وَالْمَشْرَبِ
“Dan seyogyanya bagi orang yang berakal itu mempunyai empat saat. Saat dimana ia bermunajat kepada Rabbnya; saat dimana ia menghisab diri; saat dimana ia mentafakkuri tentang ciptaan Allâh; dan, saat dimana ia meninggalkan makan dan minum.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Hibbân dan Al-Hâkim). Al-‘Irâqiy dalam Kitabnya, Al-Ma’nâ ‘an Hamli l-Asfâr fî l-Asfâr fî Takhrîj Mâ fî l-Ihyâ-i mina l-Akhbâr, menerangkan bahwa hadîts ini merupakan kelanjutan dari hadîts Abû Dzârr  diriwayatkan oleh Ibnu Hibbân dan Al-Hâkim.


Antara Maghrib dan ‘Isya
Sesudah menunaikan shalat maghrib dan menyempurnakan dzikir-dzikir sesudahnya, tunaikanlah dua raka’at shalat sunat sesudah maghrib. Kemudian, isilah waktu hingga datangnya ‘isya, dengan shalat sunat awwabin atau membaca Al-Qur-ân. Rasûlullâh  bersabda:
مَنْ عَكَفَ نَفْسَهُ فِيْمَا بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِى مَسْجِدٍ جَمَاعَةً لَمْ يَتَكَلَّمْ إِلاَّ بِصَلاَةٍ أَوْ بِقُرْآنٍ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يَبْنِيَ لَهُ قَصْرَيْنِ فِى الْجَنَّةِ مَسِيْرَةُ كُلِّ قَصْرٍ مِنْهُمَا مِائَةُ وَيَغْرِسُ لَهُ بَيْنَهُمَا غَرَاسًا لَوْطَافَهُ أَهْلُ اْلأَرْضِ لَوَسَعَهُمْ
“Barangsiapa yang menahan dirinya antara maghrib dan ‘isya dari apa-apa yang diperbuat oleh jama’ah, dimana ia tidak bercakap-cakap kecuali dengan shalat atau membaca Al-Qur-ân, maka hak di sisi Allâh untuk membangunkan baginya dua istana di Surga, yang jarak masing-masingnya seratus tahun perjalanan, dan Allâh menumbuhkan tanam-tanaman baginya di masing-masing istana tersebut yang seandainya penduduk bumi dijajarkan mengelilingi (kebun tanam-tanaman itu) niscaya (kebun itu) tetap mencakup mereka.” (Dikeluarkan oleh Abû l-Walîd Ash-Shaffâr). Al-‘Irâqiy menerangkan bahwa hadîts ini diriwayatkan oleh Abû l-Walîd dalam Kitab Ash-Shalât, melalui jalur ‘Abdu l-Malik bin Habîb dengan tidak terputus hingga kepada ‘Abdullâh bin ‘Umar r.a..


Di waktu ‘Isya
Apabila Mu-adzdzin menyerukan adzan untuk shalat ‘isya hentikanlah semua aktifitas itu, dan jawablah seruan adzan, lalu di penghujungnya memanjatkan do’a. Sesudah itu, tunaikanlah dua raka’at shalat sunat sebelum ‘isya. Kemudian, setelah menunaikan shalat ‘isya dan menyempurnakan dzikir-dzikir sesudahnya, tunaikan pula dua atau empat raka’at shalat sunat ‘isya. Rasûlullâh  bersabda:
مَنْ صَلَّى فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثنْتَى عَشْرَةَ رَكْعَةً بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعاً قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ
“Barangsiapa menunaikan shalat dua belas raka’at dalam sehari semalam, dibangunkan baginya rumah di Surga, yaitu empat raka’at sebelum zhuhr dan dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah maghrib dan dua raka’at sesudah ‘isya, serta dua raka’at sebelum shalat fajr.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjjahcxlii, At-Turmudziycxliii dan An-Nasâ-iycxliv). Ini lafaz dari At-Turmudziy yang dinyatakannya sebagai hadîts hasan shahîh.


Selepas ‘Isya
Kemudian, tunaikan shalat malam dan, jika khawatir tidak dapat bangun malam, tunaikan pula shalat witr sebelum tidur. Rasûlullâh  bersabda:
مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُوْمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفَضَلُ
“Barangsiapa yang khawatir tidak dapat bangun pada akhir malam, maka hendaklah berwitr pada awal malam, dan barangsiapa yang sanggup untuk bangun pada akhir malam, hendaklah berwitr pada akhir malam, sesungguhnya shalat di akhir malam itu disaksikan dan lebih utama.” (Dikeluarkan oleh Muslimcxlv, Ahmadcxlvi dan Ibnu Mâjjahcxlvii). Ini lafaz dari Muslim.
Apabila bermaksud melaksanakan shalat malam dan witr sesudah tidur terlebih dahulu, seyogyanya sebelum tidur membaca surat-surat Al-Qur-ân yang disunahkan dibaca pada malam hari atau pada shalat malam dan witr. Sesudah itu berbaringlah untuk tidur dengan memenuhi adab dan aturan-aturannya dengan tidak lupa berdzikr. Rasûlullâh  bersabda:
مَنْ قَعَدَ مَقْعَداً لَمْ يَذْكُرِ الله فِيهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ الله تِرَةً وَمَنِ اضْطَجَعَ مَضْجِعاً لا يَذْكُرُ الله فِيهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ الله تِرَةً
“Barangsiapa duduk di suatu tempat, lalu tidak sekali pun berdzikr kepada Allâh di dalamnya, penyesalanlah yang ia dapatkan dari Allâh. Barangsiapa berbaring di suatu tempat, lalu tidak sekali pun berdzikr kepada Allâh di dalamnya, penyesalanlah yang ia dapatkan dari Allâh.” (Dikeluarkan oleh Abû Dâwûdcxlviii dan An-Nasâ-iycxlix). An-Nawâwiy mengatakan riwayat Abû Dâwûd isnadnya jayyid.

Bangunlah sebelum fajar jika sudah melaksanakan shalat malam dan witr sebelum tidur, atau bangunlah sepertiga malam yang akhir jika belum melaksanakan shalat malam dan witr, dan inilah yang paling utama. Rasûlullâh  bersabda:
أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ كَانَ يَصُوْمُ يَوْماً وَيُفْطِرُ يَوْماً وَأَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ
“Shaum yang amat disukai Allâh adalah shaum Dâud, beliau shaum selang sehari; dan shalat yang amat disukai Allâh adalah shalat Dâud, beliau tidur tengah malam, bangun mendirikan shalat pada sepertiga malam, dan tidur lagi pada seperenam malam.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhâriycl, Ahmadcli, Ibnu Mâjjahclii, Ad-Darâmiycliii, Abû Dâwûdcliv dan An-Nasâ-iyclv). Ini lafaz dari Al-Bukhâriy dalam Shahîhu l-Bukhâriy: Kitâbu t-Tahajjud.
Segera setelah bangun malam ini lakukan pula hal-hal yang disunahkan pada saat bangun di pagi hari, sebagaimana yang telah dikemukakan keterangannya pada bagian awal “Menyambut Pagi”.


Pengingat
Jangan Terhalang Maupun Menjadi Halangan

Allâh  berfirman :
وَهُوَ الَّذِى جَعَلَكُمْ خَلآئِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَا اٰتٰكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيْعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيْمٌ
“Dan Dialah yang telah menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi, dan Dia meninggikan sebahagian kalian atas sebahagian yang lain beberapa derajat, untuk menguji kalian atas apa yang telah dianugerahkan-Nya kepada kalian. Sesungguhnya Tuhan kalian amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia benar-benar Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (Al-An’âm 165).
Dan Firman-Nya :
وَاللهُ يُقَدِّرُ الَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوْهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْاٰنِ
“Dan Allâh menetapkan ukuran malam dan siang (berbeda-beda lama waktunya); Dia tahu bahwa kalian sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batasnya (secara pasti), maka Dia memberi keringan kepada kalian, karena itu bacalah oleh kalian apa yang mudah dari Al-Qur-ân.” (Al-Muzammil 20).
عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضٰى وَاٰخَرُوْنَ يَضْرِبُوْنَ فِى الْأَرْضِ يَبْتَغُوْنَ مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاٰخَرُونَ يُقَاتِلُوْنَ فِى سَبِيْلِ اللهِ فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَأَقْرِضُوا اللهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Dia tahu bahwa ada di antara kalian yang tengah sakit, yang tengah bekerja di bumi mencari sebagian karunia Allâh, dan yang tengah berperang fî sabîlillâh, karena itu bacalah oleh kalian apa yang mudah dari Al-Qur-ân dan tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat, serta berikanlah pinjaman kepada Allâh pinjaman yang baik; dan kebaikan apa saja yang kalian perbuat untuk diri kalian sendiri, niscaya kalian memperoleh balasannya di sisi Allâh berupa kebaikan dan seagung-agungnya balasan; dan mohonlah ampunan kepada Allâh; sesungguhnya Allâh Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (Al-Muzammil 20).


Ibn ‘Abbâs bercerita bahwa Nabi  pernah menempatkan ‘Abdullâh bin Rawâhah di sebuah satuan tempur, lalu karena saat itu bertepatan dengan tibanya pelaksanaan jum’at, ‘Abdullâh pun bergegas meninggalkan teman-teman sepasukannya untuk melaksanakan jum’at bersama Nabi  dulu.
Ketika Nabi  melihat ‘Abdullâh menghadiri jum’atan, beliau pun bertanya kepadanya : “Apa yang mencegahmu pergi sesegera mungkin bersama kawan-kawan sepasukanmu?” Jawab ‘Abdullâh : “Keinginanku untuk shalat jum’at bersama anda.”
Sabda Nabi  :
لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِى الْأَرْضِ مَا أَدْرَكْتَ غَدْوَتَهُمْ
“Seandainya engkau infaqkan semua yang ada di bumi, tidaklah semua itu dapat menyampaikan engkau kepada pahala bersegera pergi bersama mereka, kawan-kawan sepasukanmu.” (Dikeluarkan oleh Ahmadclvi). Dalam riwayat lain disebutkan bahwa satuan tempur tersebut adalah satuan tempur yang dikirim ke Mu’tah, dan kepada ‘Abdullâh bin Rawâhah, Rasûlullâh  berkata :
لَغَدْوَةٌ أَوْ رَوْحَةٌ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Bersegera pergi lebih baik bagimu dari dunia dan segala isinya.”

Diriwayatkan oleh At-Turmudziy bahwa Nabi  berdoa :
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لِاُمَّتِي فِى بُكُوْرِهَا
“Ya Allâh, berkahilah umatku di pagi buta.”
Dan Shakkâr Al-Ghâmidiy, râwiy hadîts ini, mengatakan bahwa Rasûlullâh  apabila mengirim satuan tempur, beliau mengirimnya di pagi buta. Shakkâr sendiri, yang menurut At-Turmudziy adalah seorang saudagar kaya, jika mengirim dagangan, selalu melakukannya di pagi buta.clvii


Nash-nash serupa itu kiranya dapat membuat kita lebih cermat dan bijaksana dalam memilih waktu-waktu kita, memanaj hari-hari kita. Janganlah “rutinitas” ibadat sebagaimana yang telah dikemukakan dalam “Menyambut Pagi”, “Menghidupkan Pagi”, “Menjalani Siang” dan “Menjelajah Malam” menjadi penghalang untuk mengerjakan kebaikan yang lain pada saat yang sama. Tetapi, jangan pernah meninggalkan “rutinitas” tersebut hanya karena memperturutkan hawa nafsu dan kemalasan!!!
Al-Junaid, Abû l-Qâsim ibn Muhammad (w.298 H/910-11 M). Maha guru para Shufi, disamping seorang ahli teologi dan hukum bermadzhab Abû Tsawr, berkata : “Andaikata seorang yang shiddîq menghadapkan dirinya kepada Allâh selama sejuta tahun, lalu berpaling barang sekejap saja, maka dia lebih banyak kehilangan daripada memperoleh kebaikannya.”
Yûsuf ibn l-Husain, Abû Ya’qûb Ar-Râziy (w. 304 H/961 M). Guru besar di Ar-Rayy dan Al-Jibâl pada masanya, disamping seorang penenun, ahli sastra dan ilmuwan yang brilian, berkata : “Jika seorang yang punya keinginan belajar menempuh jalan pengabdian (murîd) senang mengambil rukhshaĥ (keringanan) dalam beribadat, ketahuilah bahwa dia tidak memberikan manfaat apapun pada latihan dan pendisiplinan dirinya.”
Abû ‘Aliy Ad-Daqâq, Al-Hasan ibn ‘Aliy. Guru sekaligus mertua Al-Qusyairiy (penulis Ar-Risâlatu l-Qusyairiyyaĥ) berkata : “Barangsiapa menghiasi lahirnya dengan latihan dan disiplin keras dalam bersyari’at (mujâhadaĥ) maka Allâh akan memperbaiki sisi batinnya dengan penyaksian hakiki (musyâhadaĥ). Ketahuilah bahwa orang yang dalam awal perjalanan penghambaannya tidak pernah mujâhadaĥ maka dia tidak akan mendapatkan sesuatu yang dapat menerangi relung ruhaninya.”


Wallâhu l-ma’mûlu an yuqâbila jahda l-muqilli bi hasani l-qabûli wa l-hamdu lillâhi rabbi l-‘âlamîn.