Senin, 21 Februari 2011

al-quran 2

4. Janganlah anda mengatakan : Saya telah lupa – ayat atau surah Al-Qur`an – akan tetapi katakanlah : Saya telah terlupakan, terjatuh hafalanku atau dilupakan.

Dalil akan hal itu, ada pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah –radhiallahu ‘anha -, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendengar seseorang yang membaca sebuah surah didalam Al-Qur`an pada waktu malam, lalu beliau bersabda : “ Semoga Allah merahmatinya, sungguh dia telah mengingatkan aku akan ayat ini dan ayat ini, yang sebelumnya saya telah terlupakan bahwa ayat tersebut berada pada surah ini dan surah ini “. Pada riwayat Muslim lainnya : “… Sungguh dia telah mengingatkan aku sebuah ayat yang saya telah jatuhkan penyebutannya dari surah ini dan surah ini “[1]

Dan pada hadits Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ alangkah buruknya seseorang diantara mereka yang mengatakan : Saya telah lupa ayat ini dan ayat ini, tetapi sesungguhnya dia telah terlupakan “[2].

An-Nawawi mengatakan: “Pada hadits tersebut, menunjukkan tercelanya perkataan : lupa akan ayat ini, dan celaan ini sifatnya suatu yang makruh, dan perkataan : saya terlupakan bukan suatu yang tercela. Adapun larangan mengatakan : saya lupa ayat ini , dikarenakan mengandung sikap memudah-mudahkan dan melailaikan ayat-ayat tersebut. Allah ta’ala berfirman:

“Dan ayat-ayat Kami telah datang kepada-mu lalu kamu melupakannya “

Al-Qadhli ‘Iyadh mengatakan: “Penafsiran yang paling tepat terhadap hadits tersebut bahwa maknanya adalah celaan yang ditujukan pada keadaan sipengucap, bukan pada ucapannya, yakni saya lupa keadaan tersebut, keadaan dalam mengahafal Al-Qur`an lalu diapun lalai hingga melupakannya “[3]

Masalah : Apakah hukum seseorang yang menghafal satu bagian dari Al-Qur`an lantas dia melupakannya ?

Jawab : Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan : … Tidaklah pantas bagi seseorang yang menghafal Al-Qur`an lalu dia lalai membacanya dan tidak pantas paula dia melalaikan penjagaan Al-Qur`an. Melainkan sepatutnya dia menyediakan suatu waktu bagi dirinya untuk membaca bacaan tertentu setiap harinya yang akan membantu dia menguatkan hafalannya dan menghalanginya dari kelupaan dengan mengharapkan phala serta faedah dari hukum-hukum yang terdapat didalam Al-Qur`an baik dalam permasalahan aqidah atau muamalah. Akan tetapi siapa saja yang telah menghafal salah satu bagian dari Al-Qur`an lantas dia melupakannya akibat kesibukan atau kelalaiannya, dia tidaklah berdosa. Adapun hadits-hadits yang menyebutkan tentang ancaman bagi yang lupa akan hafalan Al-Qur`an yang telah dihafalnya tidaklah shahih dari Nbai Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Wabillahu taufiq[4].

5. Wajib menghayati kandungan Al-Qur`an

Sekian banyak nash-nash syara’ yang mengharuskan penghayatan kandungan ayat-ayat Al-Qur`an Al-‘Aziz. Beberapa diantaranya telah dikemukakan sebelumnya. Dan juga pada firman Allah ta’ala :

“ Apakah mereka tidak memikirkan Al-Qur`an. Sekiranya Al-Qur`an datangnya dari selainAllah, niscaya mereka akanmendapatkan perselisihan yang sangat banyak “ (An-Nisaa` : 82 )

Ibnu Sa’diy mengatakan : “ Allah ta’ala memerintahkan untuk menghayati Kitab-Nya yaitu dengan menelaah makna-makna yang terkandung didalamnya, memikirkannya lebih mendalam, tentang hal-hal yang prinsipil serta perkara-perkara yang mengikutinya dan hal-hal yang berkaitan erat dengan hal itu. Dikarenakan penghayatan akan Kitabullah merupakan kunci pembuka bagi setiap ilmu dan pengetahuan, dan akan menghasilkan setiap kebaikan dan setiap ilmu akan dapat disadur dari Kitab-Nya. Dan dengan penghayatan ini akan menambah keamanan didalam hati, dan akan mengokohkan pohon keamanan tersebut. Dan dengan itu, akan diketahui Siapakah Ar-Rabb Al-Ma’buud – yang disembah dengan haq – , beserta sifat-sifat-Nya yang sempurna dan sifat-sifat yang kurang mesti dijauhkan dari-Nya. Dan dengan itu juga, akan dikenali jalan yang akan mengantarkan kepada-Nya, sifat kaum yang meniti jalan tersebut, dan balasan pahala bagi mereka setelah tiba dihadapan-Nya. Dan juga akan dikenali musuh Al-Qur`an, musuh Al-Qur`an yang sebenarnya, dan jalan yang akan mengantarkan kepada siksa, dan sifat kaum yang berada diatas jalan tersebut, serta apa saja yang ditimpakan bagi mereka disaat sebab-sebab datangnya adzab ada pada mereka. Dan setiap kali seorang hamba semakin menelaah kandungan Al-Qur`an, maka akan bertambah ilmu, amal dan keyakinannya. Oleh karena itulah Allah ta’ala memeritahkan hal itu, menganjurkanya dan Allah ta’ala telah mengabarkan, bahwa inilah maksud dengan diturunkannya Al-Qur`an, sebagaimana firman Allah ta’ala :

“ Inilah Kitab yang Kami telah turunkan kepada engkau , kitab yang penuh berkah, agar suapay mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan agar supaya orang-orang yang berpikir merenunginya “[5] ( Shad : 29 )

Ulama As-Salaf dari generasi sahabat –radhiallahu ‘anhum – dan generasi setelahnya telah mempraktikkan hal itu dalam amal perbuatan mereka. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Abdirrahman, beliau berkata : Telah menceritakan kepada kami salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membacakan Al-Qur`an kepada kami , bahwa mereka – para sahabat – mengambil bacaan Al-Qur`an dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak sepuluh ayat, dan mereka tidaklah mengambil sepuluh ayat berikutnya sebelum mereka mengetahui kandungan ilmu dari ayat-ayat ini kemudian mengamalkannya. Mereka berkata : Maka kami mempelajari ilmu Al-Qur`an dan mengamalkannya[6].

Dan pengecualian dari itu juga, dengan hadits yang diriwyatkan oleh Malik didalam Al-Muwaththa’ beliau dari jalan Yahya bin Sa’id, bahwa beliau berkata : Saya dan Muhammad bin Yahya bin Hibban pernah duduk , lalu Muhammad memanggil seseorang, dan mengatakan : Kabarkanlah kepadaku apa yang telah engkau dengan dari bapakmu. Orang itu berkata : Bapaku telah mengabarkan kepadaku bahwa dia telah mendatangi Zaid bin Tsabit, lalu berkata kepadanya : Bagaiman pendapatmu mengenai seseorang yang membaca Al-Qur`an dalam tujuh hari. Zaid berkata : Suatu yang baik, namun saya membacanya dalam setengah buan atau dalam waktu sepuluh hai lebih saya sukai daripadanya, dan tanyakan kepadaku mengapa demikian ? . Dia berkata : Saya bertanya kepada engkau ? Zaid mengatakan : Agar saya dapat menghayatinya dan memahaminya[7].

6. Bolehnya membaca Al-Qur`an sambil berdiri, berjalan, berbaring dan diatas kendaraan.

Dalil akan hal itu adalah firman Allah ta’ala :

“ Mereka yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan berdiri dan duduk, Dan dalam keadaan berbaring “ (Ali Imran : 191 )

Dan firman Allah ta’ala :

“ Supaya kamu duduk diata punggungmu kemudian kalian ingat nikmat Rabb kalian, apabila kalian telah duduk diatasnya. Dan suapaya kalian mengucapkan :Maha suci Dia yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya “ (Az-Zukhruf : 13 – 14 )

Dan As-Sunnah juga telah menerangkan hal ini seluruhnya. Dari hadits Abdullah bin Mughaffal –radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam paha hari penaklukan Makkah, dimana beliau sedang membaca surah al-Fath diatas tunggangan beliau “[8]

Dan dari hadits Aisyah Ummul mukminin –radhiallahu ‘anha – beliau berkata : Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersandar di kamarku dan saya dalam keadaan haidh, lalu beliau membaca Al-Qur`an “[9]

Adapun bagi seorang yang sedang berjalan, dapat dianalogikan kepada seseorang yang sedang berada diatas kendaraan dan keduanya tidak ada perbedaan.

Faedah : Pada hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, menunjukkan bolehnya membaca Al-Qur`an di kamar seorang wanita yangtengah haidh atau nifas. Dan yang dimaksud dengan bersandar disini adalah meletakkan kepala dikamar. Ibnu Hajar mengatakan : Pada hadits ini menunjukkan bolehnya membaca Al-Qur`an didekat tempat yang najis, sebagaimana dikatakan oleh an-Nawawi[10].

7. Tidak menyentuh Al-Qur`an kecuali dalam keadaan suci

Dalil akan hal tersebut adalah firman Allah ta’ala :

“ Tidaklah ada yang menyentuhnya selain kaum yang suci “ ( Al-Waqi’ah : 79 )

Dan larangan menyentuh Al-Qur`an kecuali bagi seseorang yang telah bersuci dengan tegas disebutkan pada sebuah kitab yang ditulis oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Amru bin Hazm, dan paa kitab tersebut tercantum : “ Dan janganlah seseorang menyentuh Al-Qur`an kecuali dia dalam keadaan bersih/suci “[11]

Masalah : Apakah boleh membawa mushaf Al-Qur`an jika menggunakan pembungkus (kantung)[12] atau diantara kain bagi seorang yang berhadats?

Jawab : Iya, diperbolehkan membawa Al-Qur`an dengan menggunakan pembungkus/kantung, karena yang seperti itu tidak termasuk menyentuh.[13] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “Dan barang siapa yang membawa mushaf , maka sebaiknya dia membawanya diantara kainnya, yang terletak pada pelananya maupun barang bawaannya. Dan tidak dibedakan apakah kain tersebut teruntuk bagi kaum laki-laki , wanita ataukah anak kecil dan walau kain tersebut berada diatasnya atau dibawahnya, wallahu a’lam.”[14]

Faedah : Bolehnya membawa mushaf dengan meletakkannya pada saku, dan tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk masuk wc dengan membawa mushaf. Akan tetapi dia harus meletakkan mushaf pada tempat yang sesuai dengannya dalam rangka mengagungkan kitabullah dan menghormatinya. Akan tetapi jika terpaksa masuk ke wc dan takut mushhaf tersebut akan dicuri jika ditinggal di luar, boleh baginya masuk wc dengan membawa mushaf dengan alasan darurat.[15]

8. Boleh membaca Al-Qur`an dari hafalannya bagi orang yang berhadats kecil.

Adapun orang-orang yang junub, maka tidak diperkenankan baginya membaca Al-Qur`an dalam keadaan bagaimanapun. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ali radhiallahu ‘anhu yang mengatakan : “ Dahulu Rasulullah biasa membacakan kepada kami ayat-ayat Al-Qur`an selama beliau tidak dalam keadaan junub.”[16]

Jika hadatsnya hanya sekedar hadats kecil, maka boleh membaca Al-Qur`an melalui hafalannya, hal ini sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ketika beliau menginap dibibi beliau Maimunah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkta, “Hingga ketika sampai pada pertengahan malam kurang atau lebih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjaga lalu beliau duduk dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan beliau, kemudian beliau membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Ali Imran, lantas beliau bangun dan menuju ketempat air yang tergantung lalu berwudhu` darinya dan membaguskan wudhu`nya”.[17]

Bacaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , setelah beliau terbangun dari tidur dan belum berwudhu` adalah dalil diperbolehkannya membaca Al-Qur`an bagi orang yang berhadats kecil seperti kencing, buang air besar, atau tidur. Sedangkan yang lebih utama dan sempurna adalah membaca Al-Qur`an dalam keadaan suci dari hadats.

Tidak ada celaan maupun pengingkaan bagi seseorang yang membaca Al-Qur`an dalam keadaan seperti ini. Bahkan celaan tertuju bagi orang yang mengingkari masalah ini dan kepada orang-orang yang menolak sunnah yang shahih yang menerangkan perkara ini. Diriwayatkan didalam Al-Muwaththa` karya Imam Malik bahwa Umar bin Khaththab sedang berada pada suatu kaum dan mereka sedang membaca Al-Qur`an. Kemudian beliau buang hajat dan kembali lalu membaca Al-Qur`an. Maka berkatalah salah seorang diantara mereka : “ Wahai Amirul Mu`minin, apakah engkau membaca Al-Qur`an sedangkan engkau tidak berwudhu`?”, maka Umar mengatakan :”Siapakah yang memberimu fatwa seperti itu? Apakah Musailamah?”[18]

Masalah : Apakah boleh bagi orang yang berhadats kecil membaca Al-Qur`an dari mushaf?

Jawab : Al-Lajnah Ad-Daimah dalam salah satu jawabannya mengatakan :”Tidak diperbolehkan bagi orang yang sedang junub membaca Al-Qur`an sampai dia mandi. Baik membaca dengan mushaf maupun dari hafalannya. Juga tidak boleh baginya membaca Al-Qur`an memakai mushaf kecuali setelah suci secara sempurna dari hadats besar maupun kecil.[19]

Masalah : Manakah yang lebih utama, membaca Al-Qur`an dari hafalan atau dengan mushaf?

Jawab : Terdapat perbedaan pendapat diantara ulama tentang hal ini. Sebagian mereka mengutamakan membaca Al-Qur`an dari hafalan dari pada membaca melalui mushaf. Ulama lainnya menolak pendapat ini, mereka mengatakan :”Sesungguhnya membaca melalui mushaf lebih utama, karena dengan begitu berarti mencermati Al-Qur`an. Akan tetapi pendapat ini didukung oleh atsar-atsar yang tidak shahih. Ulama lainnya lagi merinci permasalahan ini.

Ibnu Katsir mengatakan : ”Sebagian ulama mengatakan, inti perkara ini adalah masalah kekhusyu’an. Jika membaca Al-Qur`an melalui hafalan lebih khusyu’, maka ini yang utama. Sedangkan jika membaca dengan mushaf lebih khusyu’, maka inilah yang utama. Jika membaca dengan hafalan sama khusyu’nya dengan membaca menggunakan mushaf, maka membaca melalui mushaf lebih utama. Karena akan lebih cermat dan mendapatkan kelebihan dengan melihat mushaf.

Abu Zakariya An-Nawawi rahimahullah dalam kitab At-Tibyan mengatakan : ”Zhahir perkataan dan amalan ulama Salaf dapat dipahami dengan perincian ini.[20]

Ibnul Jauzi mengatakan : ”Sudah sepantasnya bagi orang-orang yang memiliki mushaf untuk membaca setiap hari ayat-ayat yang mudah agar tidak menjadikan Al-Qur`an terabaikan.[21]

9. Bolehnya Membaca Al-Qur`an bagi perempuan yang sedang haidh maupun nifas.

Hal ini dikarenakan tidak dijumpai dalil yang menunjukkan secara langsung tentang pelarangannya, akan tetapi harus membaca dengan tanpa menyentuh mushaf. Al-Lajnah Ad-Daimah menyatakan :”Adapun bagi perempuan haidh maupun nifas, tidak mengapa membaca Al-Qur`an dengan tanpa menyentuh mushaf. Ini menurut pendapat yang paling shahih dari para ulama, dikarenakan tidak tsabitnya dalil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang perempuan haid maupun nifas untuk membaca Al-Qur`an.”[22]

10. Disunnahkan membersihkan mulut sebelum membaca Al-Qur`an dengan siwak.

Yaitu dalam rangka beradab dengan Kalamullah. Maka sesungguhnya seorang qari’ ketika menghendaki untuk membaca Kalamulah, sangat baik baginya jika membarsihkan dan membuat harum mulutnya dengan siwak atau dengan apa saja yang bisa dipakai untuk membersihkan mulut.

Tidak ada keraguan bahwa hal ini merupakan perilaku penuh adab terhadap kalamullah. Rasulullah mencontohkan hal ini sebagaimana dalam hadits Hudzaifah yang menyatakan :”Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun untuk shalat tahajjud pada malam hari, beliau membersihkan mulut beliau dengan siwak.”[23] [24]

=====
footnote:

[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 5038 ) dan Muslim ( 788 )

[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 5039 ) danMuslim ( 790 )

[3] Syarh Muslim ( jilid ketiga – 6 / 63 ), cet. Daar Al-Fikr

[4] Fatawa Al-Lajnah Ad-Daa`imah lil-Buhuts al-‘Ilmiyah waal-Ifta’ ( 4/ 64 ), cet. Ar-Riasah Al-‘Ammah li-Idaraat Al-Buhuts Al-‘Ilmiyah wa Al-Ifta’ wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad.

[5] Taisir Al-Karim Ar-Rahman fii Tafsir Kalam Al-Mannan ( 2 / 112 ) cet. Ar-Riasah Al-‘Ammah li-Idaraat Al-Buhuts Al-‘Ilmiyah wa Al-Ifta’.

[6] Al-Musnad ( 22971 )

[7] Al-Muwaththa’ Malik ( 320 ) ( 1 / 136 ) cet. Daar Al-Kitab Al-‘Arabi

[8] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 5034 ) dan Muslim ( 794 )

[9] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari ( 297 ) dan Muslim ( 301 )

[10] Fathul Baari ( 1 / 479 )

[11] Diriwayatkan oleh Malik didalam Al-Muwaththa’ eliau ( 468 ). Kitab ini adalah kitab yang dituliskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Amru bin Hazm bagi penduduk Yaman tentang sunnah-sunnah, permasalahan warisan, dan pembayaran diyat. Ibnu Abdil Barr berkatan tentang kitab ini : Kitab ini adalah kitab yang populer dikalangan ulama dan ketenaran kitab ini telah mencukupkan dari sanad periwayatannya ( At-Tamhid 17 / 396 ) cet. Daar Ath-Thayyibah. Al-Albani telah menshahihkan hadits ini didalam Al-Irwa’ ( 122 ), dan beliau menyebutkan bahwa Imam Ahmad telah menjadikannya sebagai hujjah dan Ishaq bin Rahawaih juga menshahihkannya ( 1 / 158 ) cet. Al-Maktab Al-Islami.

[12] ‘Ilaqah, dengan dikasrah, seperti ungkapan ‘ilaqah as-saif – pedang- dan as-sauth – cambuk -. Yang dimaksud dengan ‘ilaqah as-sauth adalah sesuatu yang dipergunakan untuk menaruh cambuk didalam perjalanan. Demikian pula dengan ‘ilaqah al-qadh – bejana – , mushhaf dan al-qauus – cerek – dan lain sebagainya. A’laqa as-sauth, al-mushhaf, as-saif wa al-qadh maknanya adalah membuat gantungan bagi barang-barang tersebut.

[13] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah no.557 (4/76)

[14] Fatwa An-Nisa` halaman 21 terbitan Daar Al-Qalam.

[15] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah no.2245 (4/40)

[16] HR. Ahmad (627), dan pentahqiqnya mengatakan :”Sanadnya hasan”, dan meyebutkan perkataan Al-Hafidz :”Yang benar, dia itu pada tingkatan hasan yang dapat dipakai sebagai hujjah.” Lihat Al-Musnad Imam Ahmad cetakan Muasasah Ar-Risalah halaman 61, 62. HR. At-Tirmidzi (131) dan beliau mengatakan :”Hadits hasan shahih.”